Rabu, 03 Desember 2025

Konflik Perbatasan ChinaJepang di Kepulauan Senkaku, Tidak Ada Semangat Kompromi

 


Oleh  Harmen Batubara

I.     Kedaulatan Absolut di Laut China Timur

Konflik kedaulatan atas sekelompok pulau tak berpenghuni di Laut China Timur, yang dikenal sebagai Kepulauan Senkaku oleh Jepang, Kepulauan Diaoyu oleh Republik Rakyat China (RRC), dan Kepulauan Tiaoyutai oleh Taiwan, merupakan salah satu sengketa teritorial yang paling rentan dan berbahaya di Asia Timur. Sengketa yang telah berlangsung lama ini mencerminkan kegagalan fundamental untuk mencapai kompromi fungsional, di mana klaim kedaulatan mutlak oleh kedua belah pihak meniadakan ruang bagi resolusi damai atau pembagian wilayah.

Dualisme Nama dan Pentingnya Geostrategis

Kepulauan ini terdiri dari delapan pulau kecil, dengan Uotsuri-shima sebagai yang terbesar, yang total luasnya hanya sekitar tujuh kilometer persegi.1 Secara administratif, Jepang mengelola pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Prefektur Okinawa.1 Meskipun ukurannya kecil, signifikansi strategisnya jauh melampaui dimensi geografisnya. Kepulauan ini terletak di dekat jalur pelayaran utama yang vital, zona perikanan yang kaya, dan, yang paling penting, berada di wilayah perairan di mana potensi cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar teridentifikasi oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh (ECAFE) pada tahun 1969.1

Pengakuan atas potensi sumber daya hidrokarbon pada akhir tahun 1960-an berfungsi sebagai katalis utama yang mentransformasi pulau-pulau yang sebelumnya tidak penting menjadi aset geostrategis kritis. Sebelum periode ini, pulau-pulau tersebut jarang mendapat perhatian internasional. Namun, sejak penemuan ini, sengketa teritorial tersebut telah bergerak dari isu historis dan kolonial menjadi pertarungan hak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang didorong oleh kepentingan ekonomi.

Pendekatan Zero-Sum Gain

Analisis terhadap konflik Senkaku/Diaoyu menunjukkan bahwa kebuntuan yang terjadi saat ini berakar pada ketidakmampuan Beijing dan Tokyo untuk memisahkan isu kedaulatan dari potensi kerjasama fungsional. Kedua negara bersikeras pada pendekatan zero-sum di mana pengakuan terhadap kedaulatan salah satu pihak berarti kerugian total bagi pihak lainnya.2 Bagi China, mundur dari klaim Diaoyu berarti mengkhianati narasi sejarah tentang pemulihan wilayah yang "dicuri". Sementara bagi Jepang, menegosiasikan kedaulatan berarti meruntuhkan fondasi tatanan pasca-Perang Dunia II dan kontrol efektif de facto yang telah dipertahankan selama beberapa dekade. Ketegangan yang terjadi pada Desember 2025, yang menghubungkan sengketa pulau secara langsung dengan isu Taiwan, menegaskan bahwa konflik ini berfungsi sebagai arena reaksi geopolitik regional, menjadikannya semakin sulit untuk dikompromikan.


II. Pertarungan Narasi Sejarah dan Hukum

Klaim kedaulatan Jepang dan China didasarkan pada dua narasi hukum dan sejarah yang saling bertentangan, yang masing-masing mengacu pada interpretasi berbeda mengenai hukum internasional dan hasil Perang Dunia II.

Dasar Klaim Jepang (Senkaku): Kontrol Efektif dan Tatanan Pasca-Perang

Posisi Jepang bertumpu pada hukum positif, kontrol efektif, dan legitimasi tatanan internasional pasca-Perang Dunia II.

1. Akuisisi Terra Nullius 1895 dan Kontrol Efektif

Jepang mengklaim telah memasukkan pulau-pulau tersebut ke dalam wilayahnya pada Januari 1895, setelah melakukan penyelidikan yang cermat dan memastikan bahwa tidak ada jejak kendali oleh negara lain pada periode sebelumnya, sehingga pulau-pulau tersebut dianggap sebagai terra nullius (tanah milik tak seorang pun).1 Akuisisi ini diklaim sah di bawah kerangka hukum internasional yang berlaku pada saat itu.3

Setelah penggabungan tersebut, Jepang melaksanakan kontrol efektif (effectivité). Pemerintah Meiji memberikan izin kepada warga sipil, seperti Tatsushiro Koga, untuk menyewa pulau-pulau tersebut pada tahun 1896. Warga sipil Jepang kemudian menetap dan menjalankan bisnis seperti manufaktur cakalang kering dan mengumpulkan bulu, dengan populasi yang pernah mencapai lebih dari 200 penduduk, dan Jepang memungut pajak dari para penduduk tersebut.1 Tindakan ini menunjukkan administrasi dan kontrol yang valid, yang merupakan bukti penting di bawah hukum teritorial internasional.

2. Status Pasca-Perang dan Traktat San Francisco 1951

Setelah Perang Dunia II, Jepang berpendapat bahwa Kepulauan Senkaku tidak termasuk dalam wilayah yang dilepaskan di bawah Pasal 2 Traktat Perdamaian San Francisco (SFPT) tahun 1951, yang mendefinisikan batas wilayah Jepang secara legal pasca-perang.4 Jepang melepaskan Formosa (Taiwan) dan Pescadores, tetapi mengklaim Senkaku bukanlah bagian dari wilayah yang diserahkan kepada Jepang oleh Dinasti Qing dalam Perjanjian Shimonoseki 1895.1

Berdasarkan Pasal 3 SFPT, Kepulauan Senkaku ditempatkan di bawah administrasi Amerika Serikat sebagai bagian dari Kepulauan Nansei Shoto (Ryukyu).4 Status ini diperkuat lebih lanjut pada tahun 1972 melalui Perjanjian Reversi Okinawa, di mana hak administrasi atas Kepulauan Ryukyu dan Daito, yang secara eksplisit mencakup Senkaku, dikembalikan kepada Jepang.3 Bahkan, Kuba dan Taishō Islands disediakan untuk Angkatan Bersenjata AS sebagai area pengeboman di bawah perjanjian Status Pasukan AS-Jepang, yang semakin menegaskan kontrol administratif Jepang yang diakui AS.7

B. Historisitas dan Pemulihan Wilayah Curian

Posisi China (RRC dan ROC/Taiwan) didasarkan pada hak historis kuno dan prinsip keadilan restoratif yang ditetapkan oleh Deklarasi Sekutu setelah Perang Dunia II.

1. Yurisdiksi Kuno (Dinasti Ming dan Qing)

China mengklaim bahwa Diaoyu Dao telah berada di bawah yurisdiksi angkatan laut China sebagai pulau afiliasi Taiwan sejak Dinasti Ming (1368-1644). Selama dinasti Ming dan Qing, China disebut telah menjalankan kedaulatan atas pulau-pulau tersebut dan secara resmi mencantumkannya dalam peta.8 Argumen ini mendasarkan klaim China pada historisitas dan penggunaan awal, jauh sebelum akuisisi Jepang tahun 1895.

2. Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam

Pilar utama klaim hukum China terletak pada Deklarasi Kairo (1943) dan Proklamasi Potsdam (1945). Deklarasi Kairo, yang dikeluarkan oleh China, AS, dan Inggris, secara eksplisit menuntut agar semua wilayah yang "dicuri" Jepang dari China (termasuk Formosa dan Pescadores) harus dipulihkan.8 China berpendapat bahwa Diaoyu Dao diambil secara ilegal oleh Jepang bersama Taiwan.8

Proklamasi Potsdam, yang dikeluarkan pada Juli 1945, menegaskan kembali bahwa "ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan".8 Penggunaan kata "dicuri" (stolen) dalam Deklarasi Kairo, sebuah istilah yang jarang digunakan dalam instrumen hukum internasional, digunakan oleh Beijing untuk mendefinisikan sifat ilegal agresi Jepang dan secara moral serta hukum menempatkan China sebagai pemilik yang sah dan Jepang sebagai "pencuri".8 China memandang Deklarasi Kairo dan Potsdam sebagai dasar hukum tatanan internasional pascaperang yang memiliki otoritas dan legitimasi universal.8

3. Kontradiksi Pilar Hukum Pasca-Perang

Fakta bahwa kedua negara mendasarkan klaim mereka pada dua pilar hukum pasca-Perang Dunia II yang tidak dapat didamaikan merupakan inti dari kebuntuan ini. Jepang mengutamakan legalitas formal Traktat San Francisco dan status quo administrasi AS yang dikembalikan pada tahun 1972, sementara China mengutamakan prinsip moral-politik restorasi yang ditetapkan dalam Deklarasi Kairo dan Potsdam.4

Karena Tiongkok (saat itu RRC) tidak menandatangani SFPT, Beijing tidak merasa terikat oleh ketentuan perjanjian tersebut yang gagal mengembalikan Diaoyu bersama Taiwan. Kegagalan untuk menyelaraskan otoritas dokumen-dokumen ini (SFPT vs. Kairo) berarti bahwa tidak ada jalur arbitrase hukum yang dapat menyelesaikan sengketa tanpa salah satu pihak harus secara fundamental meninggalkan narasi sejarah dan legalitasnya. Inilah mengapa klaim kedaulatan ini secara inheren bersifat non-kompromis.


III. Kronologi Eskalasi Kebuntuan (1970-2012): Dari Potensi Sumber Daya hingga Nasionalisme

Meskipun China mengklaim kedaulatan sejak era Ming, aktivasi agresif klaim tersebut di era modern baru terjadi setelah adanya pergeseran nilai strategis pulau-pulau tersebut dan serangkaian tindakan di lapangan.

A. Katalisator Ekonomi dan Perubahan Sikap China

Sebelum penemuan potensi hidrokarbon, sikap China terhadap pulau-pulau tersebut relatif pasif. Bahkan, publikasi kartografi China pada tahun 1958 masih menyebutnya sebagai "Senkaku Group of Islands" dan mencantumkannya sebagai bagian dari Okinawa, Jepang.3

Titik baliknya adalah tahun 1969, ketika laporan ECAFE mengidentifikasi potensi cadangan minyak dan gas di bawah perairan sekitarnya.1 Setelah potensi ekonomi yang besar ini terungkap, China mulai secara aktif mengangkat masalah kedaulatan di paruh kedua tahun 1970-an.1 Pergeseran ini menunjukkan bahwa meskipun China memiliki argumen historis, penegasan klaim di panggung internasional modern didorong oleh kepentingan strategis ekonomi (ZEE dan sumber daya alam).

Di tengah peningkatan perhatian ini, muncul gerakan nasionalis China dan Taiwan, yang dikenal sebagai "Bao-Diao Movement" (Gerakan Pertahanan Kepulauan Diaoyu), yang dibentuk pada tahun 1970-an.9 Gerakan ini sering terlibat dalam protes dan upaya pendaratan di pulau-pulau tersebut, menandai transisi dari klaim kartografi pasif menjadi penegasan kedaulatan yang aktif secara fisik.

B. Peningkatan Koersi Maritim (2008-2010)

Sejak tahun 2008, China telah mengadopsi taktik koersif yang disebut grey zone dengan mengirimkan kapal pemerintah secara terus-menerus ke perairan sekitar Senkaku, dan berulang kali melakukan intrusi ke perairan teritorial Jepang.3 Strategi ini bukan perang terbuka, tetapi merupakan upaya untuk menantang kontrol efektif Jepang secara konsisten dan menciptakan "fakta di lapangan" bahwa perairan tersebut disengketakan dan tunduk pada yurisdiksi ganda.

Eskalasi besar pertama terjadi pada September 2010, ketika sebuah kapal ikan China menabrak dua kapal Penjaga Pantai Jepang (JCG) di perairan yang disengketakan. Kapten kapal China ditahan, yang memicu serangkaian protes anti-Jepang di seluruh China dan penangguhan pembicaraan tentang eksplorasi gas bersama.2 Insiden ini menunjukkan bagaimana konfrontasi paramiliter dapat dengan cepat memicu krisis diplomatik dan ekonomi.

C. The Tipping Point: Nasionalisasi 2012

Krisis yang lebih parah terjadi pada September 2012 ketika pemerintah Jepang memutuskan untuk menasionalisasi tiga pulau yang disengketakan dengan membelinya dari pemilik swasta.1 Tindakan ini sebagian didorong oleh politik domestik, sebagai upaya untuk menggagalkan rencana Gubernur Tokyo saat itu, Shintaro Ishihara, yang lebih provokatif untuk membeli dan mengembangkan infrastruktur di pulau-pulau tersebut.1

Bagi Beijing, nasionalisasi 2012 adalah pelanggaran radikal terhadap status quo. China merespons dengan mengirimkan kapal perang ke daerah tersebut sebagai unjuk kekuatan, memicu protes besar-besaran, dan secara signifikan meningkatkan kehadiran kapal Penjaga Pantai dan kapal sipil paramiliter di perairan sekitar Senkaku.2 Sejak saat itu, frekuensi dan agresivitas intrusi maritim China semakin meningkat.

Tabel 1: Kronologi Utama Klaim Kedaulatan dan Eskalasi Konfrontasi Senkaku/Diaoyu

Tahun

Pihak

Peristiwa Kunci

Signifikansi

1895 (Jan)

Jepang

Penggabungan pulau ke wilayah Jepang (klaim terra nullius).

Dasar klaim Jepang atas kontrol efektif.1

1943 (Des)

Sekutu

Deklarasi Kairo dikeluarkan.

Dasar klaim China untuk restorasi wilayah curian.8

1969

PBB (ECAFE)

Identifikasi potensi cadangan minyak/gas di sekitar pulau.

Katalis modernisasi klaim China.1

1972 (Mei)

AS/Jepang

Pengembalian hak administrasi Okinawa (termasuk Senkaku) ke Jepang.

Penguatan kontrol de facto Jepang dan awal sengketa modern.3

2010 (Sep)

China/Jepang

Tabrakan kapal ikan China dan JCG.

Eskalasi konfrontasi paramiliter dan dampak diplomatik.2

2012 (Sep)

Jepang

Nasionalisasi tiga pulau Senkaku dari pemilik swasta.

Puncak krisis dan pemicu peningkatan kehadiran militer/paramiliter China.1

2025 (Des)

China/Jepang

Konfrontasi kapal penjaga pantai di perairan Senkaku.

Insiden terbaru yang menghubungkan konflik Senkaku langsung dengan isu Taiwan.11

IV. Senkaku vs Diaoyu dalam Kebijakan Zero-Sum

Kebuntuan atas Senkaku/Diaoyu mencerminkan dilema di mana isu kedaulatan, yang merupakan high politics (politik tinggi) yang terkait dengan martabat nasional dan legitimasi rezim, sepenuhnya mendominasi kepentingan ekonomi dan keamanan maritim fungsional (low politics).

A. Kegagalan Manajemen Konflik Fungsional

Meskipun potensi konflik di laut lepas sangat tinggi, upaya untuk mengelola atau mengembangkan sumber daya bersama telah gagal total. Pada Juni 2008, China dan Jepang mencapai kesepakatan prinsip mengenai eksplorasi bersama gas dan minyak di Laut China Timur. Meskipun kesepakatan ini dibuat setelah bertahun-tahun sengketa, pelaksanaannya terhenti.1

Penyebab kegagalan ini adalah klausul yang melarang perjanjian tersebut merugikan klaim hukum salah satu pihak.6 Persyaratan untuk melindungi kedaulatan absolut menggagalkan manfaat ekonomi bersama. Kedua negara tidak dapat memisahkan kerjasama sumber daya dari isu kedaulatan teritorial yang mendasarinya. Akibatnya, proyek pengembangan bersama tidak pernah terwujud. Demikian pula, meskipun ada persetujuan pada tahun 2009 dan 2010 untuk membangun hotline komunikasi militer-ke-militer, mekanisme penting ini tidak pernah diimplementasikan.1 Kegagalan implementasi mekanisme manajemen krisis dan kerjasama fungsional menggarisbawahi kurangnya "semangat kompromi" yang sistemik.

B. Peran Jaring Pengaman AS dan Ketidakfleksibelan Jepang

Posisi Amerika Serikat sangat menentukan dinamika konflik ini, karena memberikan jaring pengaman strategis bagi Jepang. Amerika Serikat telah secara eksplisit dan berulang kali menegaskan bahwa Pasal 5 dari Perjanjian Keamanan AS-Jepang—yang mewajibkan AS untuk membela Jepang—mencakup administrasi Kepulauan Senkaku.6 Jaminan keamanan ini telah ditegaskan kembali oleh pemerintahan Obama, Trump, dan Biden.6

Namun, AS secara historis mempertahankan posisi netral mengenai kedaulatan pulau itu sendiri, hanya mengakui hak administrasi Jepang, dan menyatakan bahwa sengketa kedaulatan harus diselesaikan oleh pihak-pihak terkait.14 Jaminan Pasal 5 memberikan Jepang dukungan militer yang kuat untuk mempertahankan kontrol de facto tanpa menghadapi tekanan mendesak untuk berkompromi pada isu kedaulatan.

Dampak dari paradoks AS ini adalah menghilangkan insentif Jepang untuk negosiasi kedaulatan yang substansial. Bagi China, jaminan AS hanya memperkuat persepsi bahwa konflik ini adalah bagian dari strategi pengekangan yang dipimpin oleh AS.14 Karena jaminan Pasal 5 melindungi kontrol de facto Jepang, China terpaksa menggunakan taktik grey zone (koersi di bawah ambang batas perang) melalui Penjaga Pantai China (CCG) untuk menantang status quo secara operasional, tanpa memicu respons militer yang dijamin oleh AS. Strategi koersi bertahap ini dirancang untuk menciptakan status quo baru di mana kehadiran China dianggap normal, sementara Jepang terus mengklaim penegakan hukum di perairan teritorialnya.

Tabel 2: Perbandingan Dasar Hukum Utama Klaim Kedaulatan

Dasar Klaim

Jepang (Senkaku)

China (Diaoyu)

Implikasi terhadap Kompromi

Akuisisi Awal

Terra Nullius (1895) dan Penguasaan Efektif.

Yurisdiksi Dinasti Ming/Qing (1368-1644).

Saling meniadakan. Klaim Jepang berdasar hukum positif, China berdasar hak historis.

Hukum Pasca-Perang

Traktat San Francisco (1951) & Reversi Okinawa (1972).

Deklarasi Kairo/Potsdam (1943/1945). Pulau "dicuri" harus dikembalikan.

Sengketa tatanan pasca-perang. China menolak SFPT. Klaim kedaulatan non-negosiable.

Status AS

Jaminan Pasal 5 (Militer); Netralitas (Sovereignty).

Dianggap sebagai campur tangan yang melanggengkan agresi Jepang.

Dukungan AS memperkuat keengganan Jepang untuk bernegosiasi pada kedaulatan.

Sifat Klaim

Penguasaan efektif dan legal formal berdasarkan tatanan internasional kontemporer.

Hak sejarah, pemulihan kedaulatan, dan keadilan sejarah.

Kedua klaim bersifat absolut dan berdasarkan prinsip yang berbeda (efektivitas vs. historisitas).

V. Kasus Desember 2025: Senkaku sebagai Arena Reaksi Terhadap Isu Taiwan

Insiden pada awal Desember 2025 memberikan ilustrasi tajam mengenai betapa mudahnya ketegangan regional menyebar dan bagaimana Senkaku/Diaoyu berfungsi sebagai medan pertempuran pengganti untuk isu-isu geopolitik yang lebih besar.

A. Katalisator Geopolitik: Pernyataan Sanae Takaichi (November 2025)

Ketegangan diplomatik antara China dan Jepang meningkat tajam setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan di parlemen pada 7 November 2025, bahwa serangan hipotetis China terhadap Taiwan yang diperintah secara demokratis dapat memicu respons militer dari Tokyo.11 Takaichi mengaitkan potensi krisis Taiwan dengan "situasi yang mengancam kelangsungan hidup" (survival-threatening situation) bagi Jepang.15

Pernyataan ini sangat signifikan. Di bawah Konstitusi Pasca-Perang Jepang (Pasal 9), Angkatan Bela Diri Jepang (SDF) secara hukum dibatasi untuk bertindak hanya dalam konteks pertahanan diri. Mengklasifikasikan kontingensi Taiwan sebagai ancaman kelangsungan hidup Jepang secara drastis memperluas lingkup intervensi militer potensial Tokyo di luar perairan teritorialnya.

China merespons pernyataan ini dengan kemarahan besar, menuntut pencabutan.15 Beijing memandang pernyataan Takaichi sebagai tantangan terhadap tatanan internasional pascaperang yang diyakini China menegaskan Taiwan sebagai bagian dari wilayah China. China melancarkan upaya diplomatik, termasuk surat kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk mengungkap kontradiksi dalam posisi keamanan Jepang dan menegaskan kembali legitimasi Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam.15

B. Konfrontasi Maritim Desember 2025

Di tengah meningkatnya ketegangan diplomatik atas Taiwan, konfrontasi fisik pecah di perairan sekitar Senkaku/Diaoyu pada awal Desember 2025, melibatkan kapal patroli penjaga pantai dari kedua negara.

Insiden ini segera menghasilkan klaim yang bertentangan. Penjaga Pantai China mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa kapal ikan Jepang telah "ilegal memasuki perairan" Diaoyu dan telah diusir, sambil menegaskan kembali klaim kedaulatan China atas pulau-pulau tersebut.11 Sebaliknya, Penjaga Pantai Jepang menyatakan bahwa mereka mencegat dan mengusir dua kapal Penjaga Pantai China yang mendekati kapal nelayan Jepang di perairan teritorial yang diklaim Jepang.11

Kejadian ini menunjukkan kaitan kausal langsung dan eksplisit antara isu Taiwan dan Senkaku. Ketika ketegangan diplomatik China-Jepang memuncak karena pernyataan Tokyo terkait Taiwan (isu kedaulatan yang paling sensitif bagi Beijing), China merespons dengan meningkatkan tindakan koersif di Senkaku/Diaoyu. Dengan demikian, Senkaku berfungsi sebagai arena retaliasi yang relatif aman, atau "katup pelepas tekanan," di mana China dapat memproyeksikan kekuatan untuk membalas Tokyo tanpa memicu krisis militer langsung di Selat Taiwan.

C. Risiko Kesalahpahaman (Miscalculation) yang Meningkat

Konfrontasi Desember 2025 menyoroti bahaya utama dari konflik yang tidak terkelola: risiko kesalahpahaman. Dalam konteks di mana tidak ada kompromi kedaulatan yang mungkin dan hotline komunikasi belum diterapkan 1, kedua pihak beroperasi berdasarkan klaim teritorial yang bertentangan di lapangan.

Klaim yang saling bertentangan mengenai siapa yang agresif dan siapa yang membela—seperti yang terlihat dalam narasi insiden 2025 11—meningkatkan potensi tabrakan yang tidak disengaja (inadvertent collision) di antara kapal-kapal Penjaga Pantai. Karena China terus menggunakan taktik abu-abu dengan mengirimkan kapal paramiliter ke perairan teritorial Jepang, garis antara penegakan hukum dan agresi menjadi kabur. Kesalahan penilaian tunggal oleh komandan kapal dapat dengan cepat meningkatkan insiden lokal menjadi krisis militer yang lebih besar, terutama mengingat janji AS untuk membela Jepang di bawah Pasal 5.



VI. Jalan Buntu Kedaulatan dan Prospek Manajemen Konflik

Konflik perbatasan Kepulauan Senkaku/Diaoyu adalah studi kasus sempurna dari persaingan kekuatan besar yang dibingkai oleh narasi sejarah yang tak terdamaikan. Ketidakmampuan untuk mencapai kompromi tidak disebabkan oleh kurangnya kemampuan diplomatik, melainkan oleh sifat absolut dari klaim kedaulatan yang dipertaruhkan.

A. Reafirmasi Kebuntuan

Analisis menegaskan bahwa semangat kompromi gagal berakar karena:

1.             Kontradiksi Dasar Hukum: Klaim kedaulatan didasarkan pada dua interpretasi yang saling meniadakan dari tatanan pasca-Perang Dunia II (SFPT vs. Deklarasi Kairo/Potsdam).

2.             Kepentingan Ekonomi dan Geopolitik: Pulau-pulau tersebut telah berubah menjadi aset strategis sumber daya (hidrokarbon) dan merupakan perpanjangan dari persaingan geopolitik regional yang lebih besar (Taiwan Nexus).

3.             Jaminan AS: Jaminan Pasal 5 yang diberikan AS terhadap administrasi Jepang menghilangkan insentif Jepang untuk menanggalkan klaim kedaulatan, yang pada gilirannya mendorong China untuk terus menggunakan strategi koersif yang berisiko.

Konflik ini telah berevolusi menjadi pertarungan zero-sum di mana kedua negara terus mengesahkan undang-undang domestik yang menegaskan klaim mereka (misalnya, UU Laut Teritorial China 1992 3), menjadikan penegakan hukum maritim sebagai alat penegasan kedaulatan, dan bukan sebagai mekanisme ketertiban sipil.

B. Rekomendasi Manajemen Konflik yang Dibekukan

Mengingat resolusi kedaulatan tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, jalan ke depan harus fokus pada manajemen konflik dan mitigasi risiko. Ancaman terbesar saat ini bukan lagi pertempuran frontal, tetapi eskalasi yang tidak disengaja yang disebabkan oleh intrusi paramiliter China yang berkelanjutan.

Untuk mencegah insiden serupa, seperti konfrontasi Desember 2025, sangat mendesak agar kedua negara mengalihkan fokus dari negosiasi kedaulatan (yang terbukti buntu) ke pengaktifan kerangka kerja fungsional yang ditujukan untuk keselamatan maritim. Ini termasuk:

1.        Implementasi INCSEA: Perlu diimplementasikan mekanisme manajemen krisis, seperti perjanjian "Insiden di Laut" (INCSEA) yang telah disepakati untuk kapal perang, tetapi secara khusus ditujukan untuk kapal penegak hukum maritim (Penjaga Pantai China dan Penjaga Pantai Jepang).17 Protokol yang jelas untuk manuver, jarak aman, dan komunikasi yang wajib dapat secara signifikan mengurangi risiko tabrakan yang tidak disengaja.

2.        Pembekuan Sengketa: Satu-satunya jalan keluar yang realistis adalah secara informal menyetujui untuk "membekukan" sengketa kedaulatan—mengakui bahwa klaim akan tetap ada tetapi tidak akan secara aktif ditindaklanjuti dengan cara yang provokatif. Hal ini memungkinkan kedua belah pihak untuk kembali ke perundingan fungsional, seperti eksplorasi sumber daya bersama di wilayah yang jauh dari pulau-pulau inti, sambil memisahkan manfaat ekonomi dari isu kedaulatan yang tidak dapat dinegosiasikan.6

 


Tidak ada komentar: