Sabtu, 22 November 2025

China vs China Kekejaman Jepang Masa Lalu, Untuk Perdamaian Masa Kini

 

Oleh Harmen Batubara 

Di tengah ketegangan terkini antara China dan Jepang pada November 2025, yang dipicu oleh pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengenai kemungkinan intervensi militer jika China menyerang Taiwan, dunia kembali diingatkan akan bayang-bayang konflik masa lalu. Krisis diplomatik ini, yang melibatkan ancaman China untuk menghentikan impor seafood Jepang dan peringatan perjalanan, menunjukkan betapa rapuhnya hubungan tetangga di Asia Timur. Sebagai pencinta perdamaian, ini pesan saya untuk Jepang agar berbaik-baik dengan China sangat relevan. Sejarah menunjukkan bahwa agresi masa lalu sering kali berakar dari ketidakpekaan terhadap kepentingan negara tetangga, dan narasi berikut ini menggambarkan kekejaman Jepang pada era pra-Perang Dunia II serta ekspansi mereka, sebagai pengingat agar sejarah tidak terulang.

Ketika Jepang MengInvasi China

Pada era pra-Perang Dunia II, mulai dari Insiden Mukden pada 1931 yang memicu invasi Manchuria, Jepang menunjukkan pola ekspansi imperialis yang kejam, terutama terhadap China. Invasi penuh ke China dimulai pada 1937, memicu Perang Sino-Jepang Kedua. Puncak kekejamannya adalah Pembantaian Nanjing pada Desember 1937–Januari 1938, di mana pasukan Tentara Kekaisaran Jepang membantai ratusan ribu warga sipil dan prajurit China yang menyerah, dengan estimasi korban mencapai 100.000 hingga 300.000 jiwa. Mereka melakukan pemerkosaan massal, pembakaran hidup-hidup, dan penyiksaan brutal seperti menusuk bayi yang dilempar ke udara, menciptakan "Rape of Nanjing" yang dikenal sebagai salah satu kejahatan perang terburuk. Kebijakan ini mencerminkan strategi militer Jepang yang mengabaikan hak asasi manusia, dengan democide (pembunuhan massal oleh pemerintah) yang diperkirakan mencapai 6 juta jiwa di China saja, termasuk pembakaran desa dan eksperimen biologis oleh Unit 731. Sejarah ini mengilustrasikan ketidakpekaan Jepang terhadap penderitaan tetangganya, di mana ambisi sumber daya dan wilayah mengorbankan nyawa jutaan orang.



Ketika Jepang Menghancurkan Kehidupan Di Asia Tenggara

Ekspansi Jepang meluas ke Asia Tenggara dan Indonesia selama Perang Dunia II, dimulai dengan serangan simultan pada 8 Desember 1941 terhadap Hong Kong, Malaya, dan Filipina, diikuti penaklukan Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada Maret 1942. Di sini, kekejaman mereka tak kalah mengerikan: di Indonesia, pasukan Jepang memaksa kerja paksa romusha yang menewaskan ratusan ribu orang melalui kelaparan, penyiksaan, dan kondisi kerja brutal di proyek-proyek militer seperti rel kereta di Burma. Di seluruh Asia Tenggara, mereka membantai warga sipil, termasuk insiden Bangka Island pada 1942 di mana 21 perawat Australia ditenggelamkan hidup-hidup setelah dipaksa masuk ke laut. Di Filipina dan Burma, pembunuhan massal dan pemerkosaan menjadi rutinitas, dengan total korban sipil mencapai jutaan, termasuk 4 juta di Indonesia saja akibat kelaparan dan kekerasan. Jepang mempropagandakan "Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya" sebagai pembebasan dari kolonialisme Barat, tapi kenyataannya adalah penindasan baru yang mengabaikan aspirasi lokal, memperburuk penderitaan negara-negara tetangga demi minyak dan sumber daya.

Ketika Jepang Dengan Berani dan Nekat Menghantam Pearl Harbour Amerika

Keberanian dan kenekatan Jepang mencapai puncaknya dengan serangan mendadak ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, yang melibatkan 183 pesawat dari enam kapal induk yang menyerang pangkalan angkatan laut AS di Hawaii. Dalam waktu dua jam, mereka menenggelamkan atau merusak delapan kapal perang, menghancurkan 188 pesawat, dan membunuh 2.403 orang Amerika, sementara kerugian Jepang minim (kurang dari 100 personel). Serangan ini, yang direncanakan oleh Laksamana Isoroku Yamamoto selama 11 bulan, adalah tindakan berani tapi nekat untuk melumpuhkan armada Pasifik AS, memungkinkan ekspansi ke selatan tanpa hambatan. Namun, ini juga menunjukkan ketidakpekaan total terhadap konsekuensi global, karena memicu masuknya AS ke perang dan akhirnya kekalahan Jepang pada 1945. Sejarah ini membuktikan bahwa keberanian militer tanpa empati terhadap tetangga sering berujung pada kehancuran bersama.

Narasi ini bukan untuk membenci, melainkan untuk memperingatkan: Jepang modern telah berubah, dengan konstitusi pasifis dan permintaan maaf resmi atas masa lalu. Namun, di tengah konflik 2025 yang melibatkan drone China dekat pulau Yonaguni Jepang dan ancaman militer, pelajaran sejarah menekankan pentingnya dialog dan saling menghormati. Dengan mencinta perdamaian seperti Anda, Jepang dan China bisa membangun hubungan yang harmonis, menghindari bayang-bayang agresi dulu.



Tidak ada komentar: