Senin, 17 November 2025

China vs Jepang, Perbatasan Dua Tetangga dan Harga Diri Bangsa

 


Oleh Harmen Batubara

Dinamika hubungan China-Jepang bagai pendulum yang bergerak antara persaingan sengit dan kerja sama yang tak terhindarkan. Sebagai dua raksasa Asia, hubungan mereka tidak hanya menentukan stabilitas kawasan, tetapi juga menjadi cermin dari pergeseran kekuatan global. Konflik yang belakangan ini memanas, dipicu oleh pernyataan pro-Taiwan dari politisi Jepang seperti Sanae Takaichi, bukanlah fenomena baru. Ia berakar pada sejarah kelam yang membentang puluhan tahun, dimulai dari persaingan memperebutkan Semenanjung Korea.

Perebutan Hegemoni di Korea dan Perang Sino-Jepang Pertama

Awalnya, hubungan China (di bawah Dinasti Qing) dan Jepang terjalin dalam kerangka harmoni, dengan China memainkan peran sebagai "kakak tua" dalam tatanan hierarkis Asia Timur. Namun, segala sesuatu berubah drastis pasca “Restorasi Meiji” Jepang. Jepang dengan cepat melakukan modernisasi dan westernisasi, membangun kekuatan industri dan militer yang tangguh. Ambisi baru ini langsung berbenturan dengan hegemoni tradisional China atas Korea, yang saat itu berada di bawah sphere of influence Dinasti Qing.

Ketegangan memuncak dan meletus dalam “Perang Sino-Jepang Pertama (1894-1895)”. Hasilnya sangat telak: Jepang yang modern dan terlatih dengan mudah mengalahkan tentara Qing yang masih tradisional. Kekalahan ini memalukan bagi China dan menjadi penanda berakhirnya dominasi regionalnya. Perjanjian Shimonoseki yang mengakhiri perang memaksa China untuk menyerahkan “Taiwan” kepada Jepang, melepaskan pengaruhnya atas Korea, dan memberikan Konsesi Liaodong (yang kemudian dialihkan akibat intervensi Rusia, Jerman, dan Prancis).

Kekalahan ini meninggalkan luka nasionalisme yang dalam bagi China, sementara bagi Jepang, ini adalah pembuktian atas statusnya sebagai kekuatan baru.

“Puncak Permusuhan, Perang Dunia II dan Pendudukan Jepang”

Konflik mencapai puncaknya pada era Perang Dunia II. Insiden “Jembatan Marco Polo (1937)” menandai dimulainya perang skala penuh antara China (saat itu diperintah oleh Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek) dan Jepang. Berbeda dengan Jepang yang telah menjadi kekuatan industri-militer, China sama sekali tidak siap. Negeri itu terpecah secara politik antara Nasionalis dan Komunis, serta sangat tertinggal dalam teknologi persenjataan.

Akibatnya, dalam tahun-tahun pertama perang, pasukan Jepang dengan mudah merebut dan menduduki sebagian besar kota besar China, menimbulkan penderitaan dan korban jiwa yang sangat besar. Pendudukan Jepang atas wilayah China, termasuk bekas wilayahnya seperti Taiwan, meninggalkan memori pahit tentang imperialisme dan kekejaman yang hingga hari ini terus membayangi hubungan bilateral.

“Warisan Pasca-Perang, Konflik Pulau Karang dan Sengketa Teritorial”

Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, tatanan wilayah harus diatur ulang. Dalam proses dekolonisasi ini, muncul titik api baru. “Kepulauan Paracel (Xisha) di Laut China Selatan”, misalnya, diserahkan dari kontrol Jepang kepada administrasi “Taiwan” (pada saat itu masih di bawah Republik China pimpinan Kuomintang). Namun, setelah Partai Komunis China (PKC) memenangkan Perang Saudara dan mendirikan Republik Rakyat China (RRC) pada 1949, Beijing mengklaim diri sebagai penerus sah seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Republik China, termasuk Taiwan dan semua kepulauan yang diserahkan kepadanya.

Pola serupa terjadi di Laut China Timur. Kepulauan “Senkaku (menurut sebutan Jepang) atau Diaoyu (menurut China)” yang dikontrol Jepang pasca-Perang Dunia II, juga diklaim oleh China berdasarkan catatan sejarah. Bagi China, klaim-klaim ini bukanlah ekspansi baru, melainkan upaya untuk “"memperlihatkan haknya yang sebenarnya"“—mengembalikan kedaulatan atas wilayah-wilayah yang mereka anggap secara historis dan hukum adalah milik mereka, yang pernah terampas oleh era kolonialisme dan perang.

“Situasi Kontemporer: Konflik Global dan Ketegangan di Taiwan Strait”

Dalam konteks inilah pernyataan-pernyataan politisi Jepang seperti Sanae Takaichi yang mendukung Taiwan dilihat Beijing bukan sekadar pernyataan politik, melainkan tantangan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial China. Bagi China, Taiwan adalah provinsi yang membangkang, dan campur tangan pihak asing, apalagi dari mantan penjajah seperti Jepang, adalah garis merah.

Sebagai respons, China memperlihatkan sikap diplomatik yang agresif dan meningkatkan kehadiran militernya. Patroli maritim rutin di sekitar Senkaku/Diaoyu dan latihan militer skala besar di sekitar Taiwan menjadi pesan yang jelas: China tidak akan mentolerir apa yang mereka anggap sebagai erosi terhadap klaim teritorialnya.

Saya Ingin Mengingatkan

Konflik China-Jepang adalah narasi yang berlapis-lapis. Ia dimulai dari perebutan hegemoni regional abad ke-19, diperkuat oleh trauma pendudukan militer abad ke-20, dan terus hidup melalui sengketa teritorial dan persaingan geopolitik abad ke-21.

Di balik gesekan diplomatik dan manuver militer hari ini, terngiang gema kekalahan memalukan China tahun 1895 dan penderitaan masa perang tahun 1937-1945.

Bagi China, kebangkitan dan sikap tegasnya sekarang adalah bagian dari proses pemulihan harga diri dan klaim atas "haknya yang sebenarnya".

Sementara bagi Jepang, kebangkitan China yang assertif adalah ancaman terhadap tatanan regional yang stabil.

Dua tetangga ini, dengan sejarah yang begitu rumit, terus berjuang menemukan keseimbangan antara kenangan pahit masa lalu dan tuntutan ketidakpastian global masa depan.

Tidak ada komentar: