Oleh Harmen Batubara
Ringkasan
Eksekutif
Laporan penelitian ini menyajikan analisis
komprehensif mengenai dinamika sosiopolitik dan ekonomi di wilayah perbatasan
Thailand dan Kamboja, dengan fokus khusus pada sektor Pegunungan Dangrek dan
wilayah sengketa di sekitar Kuil Preah Vihear. Premis dasar dari penelitian ini
adalah bahwa perdamaian yang berkelanjutan tidak dapat dicapai semata-mata melalui
demarkasi militer atau perjanjian gencatan senjata diplomatik yang rapuh.
Sebaliknya, stabilitas jangka panjang bergantung pada penciptaan
interdependensi ekonomi yang mendalam di tingkat akar rumput, yang mengubah
paradigma hubungan dari konfrontasi teritorial menjadi kolaborasi kemakmuran.
Berdasarkan analisis data terkini, termasuk eskalasi konflik yang signifikan pada tahun 2025, laporan ini mengidentifikasi bahwa kehidupan warga perbatasan sering kali terperangkap dalam dualitas: di satu sisi terdapat realitas kekerabatan etnis dan budaya yang rukun, namun di sisi lain terdapat kerentanan ekstrem akibat manuver geopolitik elit nasional. Dengan memetakan lanskap etnografis yang beragam—mencakup suku Kuy, Khmer Surin, dan pengaruh kelompok etnis lain—serta menganalisis potensi agroekologi tanah vulkanik di wilayah tersebut, penelitian ini mengusulkan strategi "Ekonomi Kolaborasi". Strategi ini berfokus pada pengembangan perkebunan skala besar untuk komoditas bernilai tinggi seperti kakao, lada (sahang), dan kopi, yang dikelola melalui koperasi lintas batas dan didukung oleh zona ekonomi khusus. Transformasi ini diproyeksikan tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan warga, tetapi juga meningkatkan "biaya konflik" (cost of conflict) sehingga perang menjadi opsi yang tidak rasional secara ekonomi bagi kedua negara.
1. Dualitas
Kehidupan di Garis Batas
1.1 Geopolitik Emosional dan Realitas Akar Rumput
Perbatasan antara Kerajaan Thailand dan Kerajaan
Kamboja, yang membentang sepanjang lebih dari 800 kilometer, secara historis
merupakan salah satu garis batas paling fluktuatif di Asia Tenggara. Wilayah
ini bukan sekadar garis demarkasi administratif, melainkan sebuah ruang hidup
di mana sejarah, memori kolektif, dan identitas etnis saling tumpang tindih dengan
klaim kedaulatan negara modern. Di pusat ketegangan ini berdiri Kuil Preah
Vihear, sebuah mahakarya arsitektur Khmer abad ke-11 yang terletak di tepi
tebing Pegunungan Dangrek. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) telah
memutuskan kepemilikan kuil ini kepada Kamboja pada tahun 1962, sengketa
mengenai wilayah seluas 4,6 kilometer persegi di sekitarnya terus menjadi titik
nyala yang memicu sentimen nasionalis di kedua ibu kota.1
Namun, narasi konflik yang mendominasi berita utama
internasional sering kali mengaburkan realitas sosiologis yang lebih halus di
lapangan. Kehidupan warga di perbatasan—dari Provinsi Sisaket dan Surin di
Thailand hingga Preah Vihear dan Oddar Meanchey di Kamboja—pada umumnya
diwarnai oleh suasana rukun yang didasari oleh riwayat persaudaraan yang
panjang. Penduduk di kedua sisi perbatasan sering kali berbagi bahasa, agama,
dan warisan leluhur yang sama. Mereka terikat oleh jaringan kekerabatan yang
melampaui batas negara, melakukan perdagangan harian, dan berpartisipasi dalam
ritual keagamaan bersama sebelum politik nasional memisahkan mereka dengan
parit pertahanan dan ladang ranjau.3
Paradoks ini mencapai puncaknya pada krisis tahun
2025. Eskalasi konflik yang melibatkan serangan udara, artileri berat, dan
mobilisasi pasukan besar-besaran telah menyebabkan evakuasi ratusan ribu warga
sipil dan melumpuhkan ekonomi lokal.5 Insiden ini menegaskan bahwa mekanisme penyelesaian konflik yang ada
saat ini, yang sangat bergantung pada mediasi diplomatik tingkat tinggi dan
intervensi pihak ketiga, tidak cukup kuat untuk menahan gelombang nasionalisme
domestik. Diperlukan pendekatan baru yang berakar pada ketahanan ekonomi
masyarakat lokal.
1.2
Urgensi Transformasi Ekonomi, Dari Subsisten
ke Komersial
Selama beberapa dekade, ekonomi warga perbatasan
didominasi oleh pertanian subsisten atau tanaman komersial bernilai rendah
seperti singkong dan jagung, yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga pasar
dan perubahan iklim.7 Ketergantungan
pada model pertanian ini membuat petani memiliki daya tawar yang rendah dan
tidak memiliki penyangga ekonomi saat konflik meletus. Ketika perbatasan
ditutup, akses pasar terputus, dan hasil panen membusuk di ladang,
menjerumuskan ribuan keluarga kembali ke dalam kemiskinan.
Penelitian ini mengajukan tesis bahwa stabilitas
perbatasan dapat dibangun melalui pengembangan perkebunan komersial berskala
besar yang terintegrasi secara lintas batas. Komoditas seperti kakao, lada, dan
kopi dipilih bukan secara acak, melainkan berdasarkan analisis kesesuaian tanah
vulkanik di wilayah tersebut dan permintaan pasar global yang terus meningkat.9 Dengan menjadikan wilayah perbatasan sebagai pusat
produksi agro-industri, kedua negara akan memiliki kepentingan ekonomi vital
untuk menjaga perdamaian.
2. Anatomi
Konflik - Warisan Sejarah dan Dampak Kemanusiaan
2.1. Akar
Sengketa - Peta Kolonial dan Nasionalisme Modern
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja tidak dapat
dipahami tanpa melihat kembali pada warisan kolonial Prancis di Indochina.
Perjanjian Prancis-Siam tahun 1904 dan 1907 bertujuan untuk menetapkan batas
wilayah antara Siam (Thailand) dan Indochina Prancis (Kamboja). Masalah utama
muncul dari ketidaksesuaian antara prinsip pembagian batas alam (garis batas
air atau watershed line) dengan peta teknis yang diproduksi oleh perwira
Prancis, yang menempatkan Kuil Preah Vihear di wilayah Kamboja meskipun secara
topografi lebih mudah diakses dari sisi Thailand.1
Keputusan ICJ tahun 1962 yang memenangkan Kamboja
menjadi luka sejarah bagi kaum nasionalis Thailand, sementara bagi Kamboja,
kuil tersebut adalah simbol kedaulatan pasca-kolonial yang sakral. Konflik ini
tidur selama beberapa dekade saat Kamboja dilanda perang saudara, namun bangkit
kembali dengan ganas pada tahun 2008 ketika Kamboja menominasikan Preah Vihear
sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.1 Protes di Bangkok dan manuver politik di Phnom Penh mengubah sengketa
hukum menjadi bentrokan militer.
2.2. Eskalasi
2025 - Kegagalan Gencatan Senjata
Tahun 2025 menandai babak baru yang kelam dalam
sejarah perbatasan ini. Apa yang dimulai sebagai insiden kecil—seorang tentara
yang terluka akibat ranjau darat—bereskalasi menjadi pertempuran artileri dan
serangan udara penuh.5 Gencatan senjata yang sempat dimediasi oleh kekuatan eksternal,
termasuk keterlibatan diplomatik Amerika Serikat, terbukti rapuh dan runtuh
dalam hitungan minggu akibat provokasi lapangan dan retorika politik domestik
di kedua negara.6
Analisis terhadap konflik 2025 mengungkapkan
pergeseran taktik yang mengkhawatirkan:
·
Perluasan Zona Konflik: Pertempuran tidak lagi terbatas pada Preah Vihear, tetapi menyebar ke
situs-situs lain seperti Prasat Ta Muen Thom dan Ta Krabey, serta zona
"Segitiga Zamrud" (Emerald Triangle).1
·
Dampak Sipil: Penggunaan senjata berat menyebabkan kerusakan pada infrastruktur
sipil, termasuk sekolah dan rumah sakit, serta memaksa evakuasi lebih dari
172.000 warga di sisi Kamboja dan ratusan ribu lainnya di sisi Thailand.14
2.3. Dampak
Ekonomi pada Tingkat Mikro
Bagi warga perbatasan, konflik adalah bencana
ekonomi yang melumpuhkan.
·
Paralisis Perdagangan: Penutupan pos perbatasan seperti Chong Sa Ngam dan Aranyaprathet
menghentikan arus barang harian. Pedagang kecil kehilangan akses ke pasar, dan
buruh tani kehilangan pekerjaan harian mereka di seberang perbatasan. Estimasi
kerugian perdagangan mencapai 500 juta Baht per hari selama puncak krisis.17
·
Hilangnya Aset: Petani tidak dapat memanen tanaman mereka karena ladang berubah menjadi
zona tembak-menembak. Kerusakan fisik pada kebun akibat ledakan dan penanaman
ranjau baru menciptakan kerugian jangka panjang yang sulit dipulihkan.14
·
Trauma Investasi: Ketidakpastian keamanan membuat investor enggan menanamkan modal untuk
infrastruktur pertanian permanen, melanggengkan siklus pertanian subsisten yang
berbiaya rendah namun berisiko tinggi.
3. Lanskap
Etnografis - Jaring Pengaman Sosial di Perbatasan
Memahami komposisi etnis di wilayah perbatasan
adalah kunci untuk merancang intervensi ekonomi yang tepat sasaran. Meskipun
narasi negara sering kali membagi populasi menjadi "Orang Thai" dan
"Orang Kamboja", realitas etnografis jauh lebih cair dan kompleks.
3.1.
Klarifikasi Etnis - Membedakan Mitos dan Realitas Geografis
Dalam permintaan awal, disebutkan berbagai suku
seperti Karen, Shan, Mon, Hmong, dan Yao, di samping Khmer dan Kuy. Penting
untuk melakukan pemetaan geografis yang akurat untuk memahami relevansi
masing-masing kelompok dalam konteks konflik Preah Vihear (wilayah Timur Laut
Thailand/Isan Selatan dan Kamboja Utara).
|
Kelompok Etnis |
Wilayah Dominan |
Relevansi di Perbatasan Preah Vihear (Sisaket/Oddar
Meanchey) |
Peran dalam Ekonomi Kolaborasi |
|
Kuy (Kui/Suay) |
Surin, Sisaket, Ubon Ratchathani (Thai), Preah
Vihear (Kamboja) |
Sangat Tinggi. Penduduk
asli di zona konflik utama. |
Agen utama penghubung budaya & pertanian. |
|
Khmer Utara (Surin) |
Isan Selatan (Surin, Buriram, Sisaket) |
Sangat Tinggi. Memiliki
kekerabatan langsung dengan warga Kamboja. |
Basis tenaga kerja & kewirausahaan lintas
batas. |
|
Lao Isan |
Seluruh Timur Laut Thailand |
Tinggi. Dominan di
provinsi perbatasan Thailand. |
Pelaku ekonomi & perdagangan regional. |
|
Khmer Loeu |
Dataran tinggi Kamboja (Ratanakiri, Mondulkiri) |
Sedang. Termasuk
sub-grup Kuy di sisi Kamboja. |
Target pengembangan perkebunan di Kamboja. |
|
Karen, Shan, Hmong |
Thailand Utara & Barat (Chiang Mai, Mae Hong
Son, Tak) |
Rendah secara demografis, namun Tinggi secara model. |
Model sukses transformasi pertanian (opium ke
kopi). |
Analisis ini menunjukkan bahwa strategi ekonomi
harus difokuskan pada pemberdayaan suku Kuy dan Khmer Utara, sambil mengadopsi pelajaran sukses dari
transformasi pertanian suku Karen dan Hmong di Thailand Utara.
3.2. Suku Kuy
- Penjaga Perdamaian Alami
Suku Kuy memegang posisi unik dalam dinamika
perbatasan ini. Dengan populasi sekitar 400.000 jiwa di Thailand dan 70.000
jiwa di Kamboja, mereka mendiami jantung wilayah konflik.19 Secara historis, mereka dikenal sebagai pawang
gajah (mahout) yang ulung, keterampilan yang memberi mereka status
sosial khusus di kedua kerajaan.19
·
Identitas Lintas Batas: Bahasa Kuy (keluarga Mon-Khmer) berfungsi sebagai jembatan linguistik.
Banyak orang Kuy memiliki kerabat di kedua sisi pegunungan Dangrek dan
memandang perbatasan negara sebagai garis artifisial yang memisahkan keluarga
besar mereka.19
·
Kearifan Lokal: Pengetahuan mendalam mereka tentang ekologi hutan Dangrek sangat
berharga untuk pengembangan agroforestri. Mereka secara tradisional
mempraktikkan pertanian yang selaras dengan hutan, yang sangat relevan untuk
budidaya tanaman naungan seperti kakao dan kopi.22
3.3. Khmer
Surin - Identitas Ganda sebagai Aset
Etnis Khmer Surin adalah penduduk Thailand
keturunan Khmer yang telah mendiami wilayah Isan Selatan selama berabad-abad.
Meskipun telah terintegrasi ke dalam negara Thailand (sebagai warga negara Thai
yang loyal), mereka mempertahankan bahasa dan budaya Khmer.4 Dalam situasi konflik, mereka sering kali berada
dalam posisi sulit, dicurigai oleh nasionalis Thai namun juga menjadi korban
serangan dari sisi Kamboja. Namun, dalam situasi damai, mereka adalah pelopor
perdagangan lintas batas. Kemampuan bilingual dan pemahaman budaya ganda
menjadikan mereka perantara bisnis yang ideal untuk koperasi dan perusahaan
patungan di zona ekonomi khusus.
4. Landasan
Agronomi - Mengubah Medan Tempur Menjadi Kebun Raya
Kunci untuk memutus siklus konflik adalah
menggantikan ekonomi perang dengan ekonomi perkebunan yang makmur. Wilayah perbatasan
ini memiliki aset tersembunyi yang sering terabaikan akibat deru artileri:
tanah vulkanik yang sangat subur.
4.1. Geologi
Vulkanik Pegunungan Dangrek
Provinsi Sisaket di Thailand dan Preah Vihear di
Kamboja berbagi formasi geologis yang serupa, yang didominasi oleh tanah merah
basaltik hasil pelapukan batuan vulkanik purba.10 Tanah ini kaya akan mineral makro dan mikro yang
esensial bagi pertumbuhan tanaman perkebunan berkualitas tinggi.
·
Fenomena "Lava Durian": Di sisi Thailand (Sisaket), petani telah berhasil memanfaatkan tanah
vulkanik ini untuk membudidayakan durian kualitas premium yang dikenal sebagai
"Lava Durian". Durian ini memiliki karakteristik unik: daging buah
yang tebal, tekstur creamy namun tidak lembek, dan aroma yang lebih
halus, yang membuatnya sangat diminati di pasar ekspor China.10 Keberhasilan ini telah mengubah ekonomi Sisaket
secara drastis.
·
Potensi Replikasi di
Kamboja: Sisi Kamboja di Preah Vihear memiliki
karakteristik tanah yang identik, namun belum dimanfaatkan secara optimal
karena sejarah ranjau darat dan kurangnya infrastruktur irigasi. Ini adalah
peluang arbitrase agronomi yang sangat besar: mereplikasi kesuksesan "Lava
Durian" dan memperluasnya ke komoditas lain di sisi Kamboja dengan
transfer teknologi dari Thailand.
4.2. Strategi
Komoditas - Tiga Pilar Ekonomi Baru
Berdasarkan analisis iklim, tanah, dan tren pasar
global, laporan ini merekomendasikan tiga komoditas utama untuk dikembangkan
secara masif di wilayah perbatasan.
4.2.1. Kakao
(Theobroma cacao): Emas Cokelat Baru
Pasar kakao global sedang menghadapi krisis pasokan
akibat kegagalan panen di Afrika Barat (Pantai Gading dan Ghana) yang
disebabkan oleh penuaan pohon, penyakit, dan perubahan iklim.9 Ini membuka peluang emas bagi Asia Tenggara.
·
Kesesuaian Wilayah: Kakao membutuhkan iklim tropis dengan curah hujan terdistribusi baik
dan naungan, kondisi yang dapat ditemukan di kaki bukit Dangrek dan dataran
tinggi Preah Vihear.
·
Inovasi Varietas: Thailand telah mengembangkan varietas kakao unggul seperti I.M.1
(hibrida Criollo Peru dan Forastero Filipina) yang produktif, tahan penyakit,
dan memiliki profil rasa fine flavor.27 Varietas Chumphon 1 juga telah terbukti sukses di wilayah
Selatan Thailand.
·
Integrasi Rantai Nilai: Industri craft chocolate atau cokelat artisan sedang meledak di
Thailand (Bangkok, Chiang Mai). Namun, pasokan biji lokal masih kurang.
Mengembangkan perkebunan kakao di Preah Vihear dengan menggunakan bibit I.M.1
dari Thailand dan mengekspor biji fermentasi kembali ke Thailand untuk diproses
akan menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan.28
4.2.2.
Lada/Sahang (Piper nigrum) dan Rempah Organik
Kamboja telah memiliki reputasi global melalui Lada
Kampot. Wilayah Preah Vihear memiliki potensi untuk mengembangkan lada organik
dengan karakteristik unik tanah vulkanik.
·
Model Koperasi: Preah Vihear Mean Chey Union of Agricultural Cooperative (PMUAC)
telah sukses mengelola ekspor beras organik bersertifikat internasional.30 Infrastruktur manajemen dan sertifikasi ini dapat
diperluas untuk mencakup lada dan rempah-rempah.
·
Pasar Niche: Permintaan global untuk rempah organik terus meningkat. Lada Preah Vihear
dapat diposisikan sebagai produk premium yang mendukung konservasi hutan dan
perdamaian, sebuah narasi pemasaran yang kuat di pasar Eropa dan AS.
4.2.3. Kopi
(Coffea canephora & Arabica) - Diplomasi Secangkir Kopi
Thailand adalah konsumen kopi terbesar di wilayah
ini, namun produksi domestiknya (sekitar 18.000 ton) jauh di bawah permintaan
(90.000 ton), memaksanya menjadi importir bersih.32
·
Robusta Dataran Rendah: Wilayah Preah Vihear dan Sisaket cocok untuk pengembangan kopi Robusta
berkualitas tinggi (Fine Robusta). Kopi Robusta Thailand dari wilayah
Selatan (Chumphon, Ranong) dan varietas baru di Sisaket mulai mendapatkan
pengakuan.33
·
Belajar dari Utara: Kesuksesan Proyek Kerajaan (Royal Project) di Thailand Utara
yang mengganti ladang opium suku Karen dan Hmong dengan kopi Arabica adalah blueprint
yang sempurna.34 Pendekatan
serupa dapat diterapkan di Preah Vihear untuk mengganti "ekonomi
konflik" dengan kopi, melibatkan suku Kuy sebagai petani mitra.
5. Membangun
Ekonomi Kolaborasi, Kerangka Implementasi
Transformasi dari potensi menjadi realitas
memerlukan intervensi struktural yang disengaja. Pasar bebas saja tidak cukup;
diperlukan "tangan terlihat" dari kebijakan publik dan kerjasama
institusional.
5.1.
Pembentukan Zona Ekonomi Khusus (SEZ) Pertanian Lintas Batas
Pemerintah Thailand dan Kamboja perlu meresmikan
pembentukan "Emerald Triangle Agricultural SEZ". Zona ini
bukan sekadar kawasan industri, melainkan koridor pertanian terpadu yang
mencakup distrik Kantharalak (Thailand) dan Choam Khsant (Kamboja).
Insentif dan Regulasi Utama:
1.
Arus Bebas Input &
Output: Penghapusan tarif dan hambatan non-tarif untuk
bibit, pupuk, dan mesin pertanian dari Thailand ke Kamboja, serta untuk hasil
panen mentah (biji kakao, lada, kopi) dari Kamboja ke fasilitas pengolahan di
Thailand.
2.
Harmonisasi Standar: Penyelarasan standar sertifikasi organik dan GAP (Good Agricultural Practices) sehingga produk yang
dihasilkan di Kamboja dapat langsung diproses dan dikemas dengan label standar
Thailand/Internasional.
3.
Visa Pekerja Pertanian: Legalisasi tenaga kerja Kamboja yang bekerja di perkebunan Thailand
melalui sistem kuota khusus SEZ, melindungi mereka dari eksploitasi ilegal dan
memberikan kepastian tenaga kerja bagi investor.36
5.2. Model
Kemitraan - Contract Farming yang Beretika
Sejarah contract farming (pertanian kontrak)
di perbatasan (jagung, singkong) sering diwarnai eksploitasi harga dan
ketidakpastian.8 Model baru
harus berbasis pada kemitraan yang adil (Fair Trade).
·
Peran Sektor Swasta
Thailand: Perusahaan agribisnis Thailand bertindak sebagai off-taker (pembeli penjamin) dan penyedia teknologi.
Mereka menyediakan bibit unggul (misalnya klon kakao I.M.1) dan pendampingan
teknis.
·
Peran Koperasi Kamboja
(PMUAC): Koperasi bertindak sebagai agregator yang
mengorganisir petani kecil, memastikan kepatuhan terhadap standar kualitas, dan
menegosiasikan harga kolektif. PMUAC telah membuktikan kapasitasnya dalam
mengelola ribuan petani padi organik dan dapat mereplikasi ini untuk tanaman
perkebunan.31
·
Mekanisme Harga Dasar: Kontrak harus mencakup mekanisme harga dasar (floor price) yang melindungi petani dari jatuhnya harga
pasar global, serta pembagian keuntungan (profit sharing) jika
harga pasar melonjak.
5.3.
Revitalisasi "Segitiga Zamrud" melalui Agrowisata
Pariwisata adalah sektor pelengkap yang vital untuk
membangun citra perdamaian. Inisiatif "Emerald Triangle" yang digagas
tahun 2000-an perlu dihidupkan kembali dengan fokus baru.13
·
Branding Destinasi: Mempromosikan wilayah ini sebagai destinasi ekowisata dan agrowisata.
Wisatawan dapat mengunjungi kebun kakao vulkanik, melihat proses panen lada,
dan berinteraksi dengan gajah yang dirawat oleh suku Kuy.
·
Festival Budaya Lintas
Batas: Mengformal formalkan festival budaya seperti
Festival Gajah Surin dan Festival Kebudayaan Kuy sebagai acara resmi dua
negara. Ini akan memperkuat ikatan people-to-people dan meredam narasi
permusuhan.20
· Situs Warisan Bersama: Mengelola akses pariwisata ke situs-situs candi sengketa (Preah Vihear, Ta Muen) secara bersama, di mana pendapatan tiket dibagi dua dan dikelola oleh komite bersama, mengikuti model manajemen perdamaian di situs warisan dunia lainnya.
6. Tantangan
Struktural dan Strategi Mitigasi
6.1. Ranjau
Darat dan Remnants of War (ERW)
Tantangan fisik terbesar adalah kontaminasi ranjau
darat yang masif di sepanjang perbatasan, warisan dari perang saudara Kamboja
dan konflik perbatasan berulang.14
·
Strategi Mitigasi: Mengadopsi pendekatan "Minefields to Ricefields" (dan
sekarang to Cocoa Fields). Organisasi seperti APOPO telah berhasil
membersihkan lahan di Preah Vihear dan menyerahkannya kembali kepada petani
untuk budidaya produktif.18 Pengembangan perkebunan komersial harus mengalokasikan sebagian
anggaran investasi untuk biaya de-mining bekerja sama dengan operator
profesional.
6.2.
Ketidakstabilan Politik dan Nasionalisme
Siklus politik di Bangkok dan Phnom Penh sering
kali menggunakan sengketa perbatasan sebagai alat legitimasi politik, yang
dapat sewaktu-waktu menutup perbatasan.36
·
Strategi Mitigasi: Desentralisasi ekonomi. Memberikan otonomi lebih besar kepada
pemerintah provinsi (Gubernur Sisaket dan Preah Vihear) untuk mengelola perdagangan
lintas batas, sehingga tidak mudah disandera oleh kebijakan pusat. Penggunaan
mekanisme ASEAN sebagai penjamin pihak ketiga dalam perjanjian SEZ juga krusial
untuk menjaga komitmen jangka panjang.41
6.3.
Perubahan Iklim
Risiko kekeringan dan suhu ekstrem dapat mengancam
produktivitas tanaman kakao dan kopi.26
·
Strategi Mitigasi: Penerapan sistem Agroforestri (wanatani). Menanam kakao dan kopi
di bawah naungan pohon hutan asli atau pohon buah-buahan (durian, mangga). Ini
tidak hanya menjaga mikroklimat yang sejuk dan lembap, tetapi juga melestarikan
biodiversitas hutan Dangrek yang menjadi habitat satwa liar, selaras dengan
tradisi suku Kuy dalam menjaga keseimbangan alam.43
7. Menuju
Masa Depan Kolaboratif
Penelitian ini menyimpulkan bahwa konflik
perbatasan Thailand-Kamboja bukanlah takdir sejarah yang tak terelakkan,
melainkan akibat dari kegagalan mengelola sumber daya dan hubungan manusia
secara inklusif. Peristiwa tahun 2025 menjadi peringatan keras bahwa pendekatan
militeristik telah gagal menciptakan stabilitas.
Masa depan wilayah perbatasan bergantung pada
keberanian untuk membangun Ekonomi Kolaborasi.
Dengan memanfaatkan:
1.
Modal Sosial: Ikatan persaudaraan etnis Kuy dan Khmer Surin.
2.
Modal Alam: Kesuburan tanah vulkanik Pegunungan Dangrek.
3.
Modal Ekonomi: Permintaan global akan kakao, kopi, dan lada berkualitas tinggi.
Kedua negara dapat mengubah killing fields menjadi prosperity fields.
Ketika seorang petani Kuy di Preah Vihear menanam bibit kakao yang dikembangkan
di universitas Thailand, diproses di pabrik perbatasan bersama, dan diekspor ke
pasar dunia sebagai produk unggulan kawasan, maka perbatasan bukan lagi garis
pemisah, melainkan jahitan yang menyatukan dua bangsa dalam satu takdir
kemakmuran. Inilah wujud nyata dari "Rukun" yang diharapkan:
perdamaian yang berakar kuat di tanah, dijaga oleh kepentingan ekonomi bersama,
dan dirayakan dalam persaudaraan budaya.
Tabel 1:
Matriks Potensi Komoditas Ekonomi Kolaborasi Perbatasan
|
Komoditas |
Keunggulan Komparatif (Preah Vihear/Sisaket) |
Tantangan Utama |
Peran Koperasi (PMUAC/Mitra Thai) |
Potensi Pasar |
|
Kakao |
Tanah vulkanik, curah hujan tropis, varietas
I.M.1 (Thai) adaptif. |
Membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk panen perdana;
teknik fermentasi. |
Transfer bibit & teknologi fermentasi;
agregasi hasil panen. |
Sangat Tinggi (Defisit pasokan global, industri craft
Thai). |
|
Lada (Sahang) |
Reputasi lada Kamboja (Kampot), kondisi tanah
ideal. |
Persaingan harga global; kebutuhan standar
organik ketat. |
Sertifikasi organik & Fair Trade;
branding "Lada Perdamaian". |
Tinggi (Pasar organik Eropa & AS). |
|
Kopi (Robusta) |
Kesesuaian dataran rendah/menengah; pasar lokal
Thai besar. |
Dominasi Vietnam di pasar Robusta; persepsi
kualitas. |
Contract farming dengan raksasa kopi Thai (mis: Amazon). |
Tinggi (Substitusi impor Thailand). |
|
Durian |
Sukses terbukti di Sisaket ("Lava
Durian"); tanah identik. |
Investasi awal tinggi; manajemen air intensif. |
Replikasi SOP budidaya Sisaket ke Preah Vihear. |
Sangat Tinggi (Ekspor ke China). |
Tulisan ini disusun sebagai analisis independen untuk
memberikan peta jalan strategis bagi pemangku kepentingan di kedua negara,
donor internasional, dan komunitas investor dalam merancang intervensi
pasca-konflik yang berkelanjutan.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar