![]() |
| Garnizun China di Kepulauan Paracel |
Oleh Harmen Batubara
I. Latar Belakang dan Kerangka Teori Hukum Sengketa Teritorial Maritim
1.1. Latar Belakang Geopolitik dan Nilai Strategis Kepulauan Paracel
Kepulauan Paracel, yang dikenal
sebagai Xisha di Tiongkok dan Hoàng Sa di Vietnam, merupakan gugusan kepulauan
yang terletak di bagian utara Laut China Selatan. Sengketa kedaulatan atas
kepulauan ini adalah salah satu permasalahan teritorial paling kompleks dan
paling berpotensi konflik di kawasan Asia Tenggara.1 Secara
geografis, Kepulauan Paracel memiliki nilai strategis yang sangat besar karena
posisinya yang mengontrol jalur pelayaran internasional vital dan diperkirakan
kaya akan sumber daya hidrokarbon serta perikanan.
Saat ini, kedaulatan atas Paracel
diklaim oleh Republik Rakyat China (RRC), Republik China (ROC/Taiwan), dan
Vietnam. Sejak pertempuran laut pada tahun 1974 dengan Vietnam Selatan yang
berkuasa saat itu, RRC telah memegang kontrol fisik (de facto)
atas seluruh gugusan kepulauan tersebut.3 Sengketa ini menjadi titik fokus
utama konflik di Laut China Selatan, menyoroti ketegangan fundamental antara
klaim kedaulatan historis di satu sisi dan rezim hukum maritim internasional
modern, yaitu Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982, di
sisi lain.1
1.2. Hukum Kebiasaan Internasional vs. UNCLOS 1982
Untuk menganalisis sengketa ini,
perlu dilakukan pembedaan yang jelas antara dua rezim hukum yang berbeda:
penentuan kedaulatan teritorial dan penentuan hak maritim. Kedaulatan
teritorial, yang menentukan pemilik Paracel, diatur oleh hukum kebiasaan
internasional, yang meliputi prinsip-prinsip akuisisi wilayah seperti penemuan,
penaklukan, penyerahan, dan pendudukan efektif (effectivities).
Sementara itu, hak maritim (seperti Laut Teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif/ZEE, dan Landas Kontinen/LK) diatur oleh UNCLOS 1982.1
RRC dalam strateginya cenderung
menggunakan klaim yang bervariasi tergantung pada konteksnya. RRC secara
konsisten menegaskan klaim historis absolut (berdasarkan prinsip pra-UNCLOS) untuk
membenarkan kedaulatan atas Paracel, mengklaim bahwa kepulauan tersebut adalah
bagian integral dari wilayah Tiongkok sejak dahulu kala.4 Namun, RRC
juga melakukan manuver hukum modern, seperti mendeklarasikan garis pangkal
lurus di sekitar Paracel 5 dan membangun infrastruktur, yang dikritik sebagai
langkah yang 'modern dan ad hoc' yang bertentangan dengan karakter klaim mereka
yang seharusnya 'kuno'.3 Penggunaan strategi ganda ini mengindikasikan bahwa RRC
berusaha mencari legitimasi di bawah kerangka hukum apa pun, meskipun hal itu
berarti mematuhi UNCLOS hanya pada ketentuan yang menguntungkan perluasan
teritorial maritimnya.
II. Klaim Kedaulatan Berdasarkan Prinsip Akuisisi Wilayah
2.1. Penemuan dan Bukti Historis
Klaim kedaulatan RRC atas Kepulauan
Paracel terutama didasarkan pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen kuno,
dan penggunaan pulau-pulau tersebut selama berabad-abad.4 Argumen
ini merujuk pada prinsip akuisisi wilayah berdasarkan penemuan dan kontrol
intermiten (time immemorial).
Namun, dalam hukum kebiasaan
internasional, terutama berdasarkan yurisprudensi seperti kasus Pulau Palmas (1928), penemuan atau klaim historis saja
tidak cukup untuk membuktikan kedaulatan yang berkelanjutan. Yang diperlukan
adalah pelaksanaan kedaulatan yang damai dan efektif (effectivities) secara berkelanjutan. Banyak bukti
historis yang diajukan RRC menunjukkan kesadaran, pelayaran, atau penamaan,
tetapi bukan administrasi yang konsisten dan efektif di pulau-pulau kecil yang
sering tidak berpenghuni.
2.2. Administrasi Efektif dan Berkelanjutan
Sebaliknya, Vietnam juga menyatakan
memiliki cukup bukti sejarah dan dasar hukum untuk menegaskan kedaulatan atas
Paracel.6 Klaim Vietnam didasarkan pada prinsip pendudukan
efektif (occupation), di mana tindakan administrasi yang nyata
dan berkelanjutan dianggap memiliki bobot hukum yang lebih besar daripada klaim
historis semata.
Pendekatan ini selaras dengan
putusan kasus-kasus sengketa teritorial modern, seperti kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana demonstrasi
administrasi berkelanjutan (seperti penarikan pajak, regulasi penangkapan ikan,
dan penempatan pos administrasi) lebih menentukan daripada klaim penemuan kuno.4 Dalam
konteks Paracel, Vietnam berargumen bahwa mereka dan pendahulu mereka telah
melakukan administrasi efektif yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu,
Vietnam menolak klaim RRC dan menuntut penghormatan terhadap kedaulatan mereka.7
Jika penentuan kedaulatan
dihadapkan pada persaingan antara klaim historis versus klaim effectivities, penentuan "tanggal kritis" (critical date) menjadi sangat penting. Jika tanggal
kritis ditetapkan setelah periode kekosongan hukum yang diciptakan pasca-Perang
Dunia II, klaim Vietnam yang didasarkan pada administrasi yang lebih
berkelanjutan (setidaknya oleh Vietnam Selatan hingga 1974) dapat secara
yuridis lebih unggul dibandingkan klaim Tiongkok yang administrasinya di
kepulauan tersebut sering terputus.8
III. Ambiguitas Pasca-Perang Dunia II dan Doktrin Suksesi Negara
Sengketa kedaulatan atas Paracel
sangat terkait erat dengan kekacauan teritorial yang timbul setelah kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II. Proses dekolonisasi dan pengaturan ulang tatanan
wilayah menciptakan titik ketidakpastian hukum yang menjadi akar konflik
modern.
![]() |
| Gambaran di sekitar LCS |
3.1. Pengalihan Sementara Pasca-Jepang (1945)
Setelah Jepang menyerah pada tahun
1945, Kepulauan Paracel (Xisha) diserahkan dari kontrol Jepang kepada
administrasi Republik China (ROC) di Taiwan, yang saat itu dipimpin oleh
Kuomintang [User Query]. Tindakan ini merupakan penugasan administratif oleh
Sekutu, bukan transfer kedaulatan yang definitif melalui perjanjian damai.
3.2. Perjanjian San Francisco (TSF) 1951: Pelepasan Tanpa Penerima
Peristiwa hukum paling krusial yang
membentuk sengketa Paracel adalah penandatanganan Perjanjian Perdamaian San
Francisco (TSF) pada 8 September 1951. Perjanjian ini secara resmi mengakhiri
status perang dengan Jepang.9
TSF memiliki dua aspek penting:
1.
Pelepasan
Klaim: Pasal 2(f) TSF secara eksplisit
menyatakan bahwa Jepang melepaskan semua hak, hak milik, dan klaim atas
Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly.10
2.
Kekosongan
Hukum (Legal Vacuum): Tiongkok (baik ROC maupun RRC) tidak diundang ke konferensi TSF karena
adanya perselisihan mengenai representasi sah Tiongkok.9 Lebih
penting lagi, TSF sengaja tidak menunjuk negara penerima kedaulatan atas
Paracel. John Foster Dulles, delegasi AS, menyatakan bahwa perjanjian tersebut
hanya meratifikasi pelepasan Jepang dan sengaja menghilangkan penyebutan nasib
teritorial tersebut, meskipun Uni Soviet (USSR) berpendapat bahwa wilayah
Tiongkok yang terpotong harus dikembalikan ke Republik Rakyat China.11
Ketidakmampuan TSF untuk menetapkan
penerima kedaulatan ini menciptakan kekosongan hukum. Implikasi yang paling
mendalam dari kekosongan ini adalah bahwa jika Jepang hanya melepaskan kedaulatan dan tidak mentransfernya, Paracel secara hukum dapat dianggap kembali
ke status terra nullius (wilayah tak bertuan) setelah TSF berlaku
pada April 1952. Jika status terra nullius
berlaku, maka klaim kedaulatan tidak dapat didasarkan pada suksesi dari
tindakan administratif ROC tahun 1945, melainkan harus didasarkan pada prinsip
pendudukan efektif yang damai pasca-1952. Dalam skenario ini, negara manapun
yang berhasil menunjukkan kontrol administratif paling berkelanjutan dan
efektif (effectivities) pasca-1952 (yang diklaim oleh Vietnam)
akan memiliki klaim kedaulatan yang paling kuat.
3.3. Analisis Doktrin Suksesi Negara RRC
Setelah Partai Komunis China (PKC)
memenangkan Perang Sipil pada 1949, RRC mengklaim diri sebagai penerus sah
seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Republik China (ROC), termasuk Taiwan
dan semua kepulauan yang diserahkan kepadanya [User Query]. Klaim ini
didasarkan pada doktrin suksesi negara faktual (factual state succession),
di mana satu negara memperoleh seluruh atau sebagian wilayah yang sebelumnya
dikuasai negara lain.12
RRC berargumen bahwa penyerahan
administratif 1945 dari Jepang ke ROC menciptakan batas yang diwariskan, dan
berdasarkan hukum suksesi negara (termasuk pengecualian yang mengatur bahwa
suksesi negara tidak memengaruhi batas-batas perjanjian internasional) 13, RRC
secara otomatis mewarisi kedaulatan tersebut.
Namun, Vietnam menolak pandangan
suksesi ini.4 Mereka berpendapat bahwa penyerahan 1945 hanyalah
tindakan pengawasan Sekutu yang tidak pernah mengalihkan kedaulatan secara
definitif kepada Tiongkok, terutama mengingat TSF 1951 yang sengaja tidak
menetapkan penerima. Selain itu, RRC mengambil kontrol de facto atas Paracel pada tahun 1974 setelah konflik
militer dengan Vietnam Selatan.3 Akuisisi wilayah melalui kekuatan
militer di era pasca-Piagam PBB secara luas ditolak oleh hukum internasional
kontemporer.
Tabel 1 merangkum konflik
teritorial pasca-PD II di Paracel:
Table 1: Analisis Hukum Konflik
Teritorial Pasca-PD II di Paracel
|
Fase Waktu |
Peristiwa Kunci |
Keterlibatan Tiongkok/Vietnam |
Implikasi Hukum Krusial |
|
1945 |
Penyerahan kendali dari
Jepang |
ROC (Kuomintang) mengambil
kontrol administratif sementara [User Query] |
RRC mendasarkan klaim
suksesi pada tindakan administratif ROC ini. |
|
1951 |
Perjanjian San Francisco
(TSF) |
Jepang melepaskan Paracel;
ROC/RRC tidak hadir 9 |
Menciptakan legal vacuum karena tidak menunjuk penerima
kedaulatan, berpotensi mengarah ke terra nullius.11 |
|
1974 |
Perang Paracel |
RRC mengambil kontrol de facto dari Vietnam Selatan 3 |
Akuisisi melalui kekuatan
militer, yang berpotensi melanggar Piagam PBB. |
IV. UNCLOS 1982 dan Konsekuensi Zona Maritim yang Sah
Terlepas dari siapa yang pada
akhirnya memenangkan sengketa kedaulatan (diatur oleh hukum kebiasaan), hak
maritim yang dihasilkan oleh kepulauan Paracel harus tunduk pada Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.
4.1. Analisis Kritis Pasal 121 UNCLOS: Status Pulau vs. Batu Karang
Pasal 121 UNCLOS merupakan
ketentuan kunci yang menentukan apakah fitur geografis di Paracel berhak atas
zona maritim penuh (Laut Teritorial 12 nm, ZEE 200 nm, dan Landas Kontinen).
·
Pasal 121
Ayat (1) dan (2): Mendefinisikan pulau sebagai fitur
yang dapat menghasilkan ZEE dan Landas Kontinen yang penuh.
·
Pasal 121
Ayat (3): Menyatakan bahwa batu karang (rocks) yang "tidak dapat menopang hunian manusia
atau kehidupan ekonomi sendiri" hanya berhak atas Laut Teritorial 12 nm,
tanpa ZEE atau Landas Kontinen.14
Kepulauan Paracel terdiri dari
berbagai macam fitur, mulai dari karang yang terendam hingga beberapa pulau
alami yang lebih besar. Klasifikasi fitur-fitur ini sangat dipolitisasi. RRC,
sebagai pemegang kendali de facto, telah
melakukan reklamasi ekstensif dan membangun infrastruktur besar (seperti
landasan pacu, pelabuhan, dan pangkalan militer). Namun, para ahli hukum
internasional mencatat dilema interpretasi frasa "kehidupan ekonomi
sendiri".14 Yurisprudensi internasional (terutama Putusan PCA 2016)
menegaskan bahwa pembangunan buatan atau dukungan eksternal oleh negara klaimen
tidak memenuhi kriteria Pasal 121(3). Kriteria kemampuan menopang kehidupan
haruslah didasarkan pada kondisi alami fitur tersebut.
Penentuan status fitur Paracel di
bawah Pasal 121(3) merupakan batas hukum terpenting yang digunakan oleh Vietnam
dan komunitas internasional untuk membatasi klaim RRC. Jika fitur-fitur Paracel
sebagian besar diklasifikasikan sebagai 'batu karang', maka klaim RRC atas ZEE
seluas 200 mil laut yang tumpang tindih dengan ZEE Vietnam akan dibatalkan,
terlepas dari hasil sengketa kedaulatan. Dengan demikian, UNCLOS berfungsi
sebagai kerangka yang efektif untuk membatasi konflik maritim yang timbul dari
klaim teritorial yang berlebihan.
4.2. Legitimasi Klaim Garis Pangkal RRC di Paracel
Pada tahun 1996, RRC secara
unilateral mengisytiharkan serangkaian garis pangkal lurus (straight baselines) di sekeliling Kepulauan Paracel.
Deklarasi ini bertujuan untuk mengukur wilayah maritim dari kepulauan tersebut
secara keseluruhan, bukan dari masing-masing pulau. Tindakan ini secara efektif
memperluas wilayah maritim RRC dan mengklaim seluruh ruang laut di antara garis
pangkal tersebut sebagai perairan internal Tiongkok.5
Deklarasi ini dianggap melanggar
UNCLOS 1982. Garis pangkal lurus hanya diizinkan dalam kasus-kasus khusus,
seperti pantai yang tidak stabil atau di sekitar negara kepulauan (archipelagic states), yang mana RRC bukanlah salah
satunya, dan Paracel tidak memenuhi persyaratan Pasal 7 UNCLOS. Klaim garis
pangkal lurus ini secara langsung ditantang oleh operasi Kebebasan Pelayaran (Freedom of Navigation Operations atau FONOPs) yang
dilakukan oleh angkatan laut negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris
di Laut China Selatan.5
4.3. Implikasi Terhadap Delimitasi Batas Maritim
Sengketa kedaulatan dan status
fitur Paracel berdampak signifikan pada delimitasi batas maritim antara RRC dan
Vietnam, yang memengaruhi luas ZEE kedua negara.4 Menurut
UNCLOS, solusi yang adil dalam delimitasi batas maritim yang tumpang tindih
biasanya dicapai melalui penerapan prinsip garis tengah atau sama jarak (equidistance principle).4
Klaim garis pangkal lurus yang
dilakukan RRC di sekitar Paracel secara implisit menolak prinsip garis tengah.
Jika RRC diakui memiliki ZEE dan Landas Kontinen penuh dari garis pangkal lurus
ini, ZEE Vietnam akan berkurang secara drastis di wilayah yang berdekatan. Oleh
karena itu, bagi Vietnam, penekanan pada klasifikasi Paracel sebagai batu
karang di bawah Pasal 121(3) adalah strategi hukum untuk memastikan bahwa
delimitasi batas maritim akan dilakukan berdasarkan garis pantai Vietnam
sendiri, tanpa terhalang oleh proyeksi maritim 200 nm dari fitur Paracel.
V. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dan Tantangan Implementasi Hukum
5.1. Putusan Arbitrase Laut China Selatan 2016 (PCA)
Meskipun sengketa Paracel tidak
menjadi subjek utama dalam kasus The Republic of Philippines v.
The People's Republic of China di Permanent Court of Arbitration
(PCA) pada tahun 2016, putusan tersebut memiliki implikasi hukum yang sangat
besar. Putusan PCA 2016 secara tegas memutuskan bahwa klaim hak historis RRC
atas hampir seluruh Laut China Selatan, yang direpresentasikan oleh Nine-Dash Line (sembilan garis putus-putus), tidak
memiliki dasar hukum di bawah UNCLOS 1982.1
Penolakan terhadap klaim historis
RRC atas hak maritim memberikan kerangka hukum yang kuat bagi negara-negara
klaimen lain, termasuk Vietnam, untuk menentang klaim RRC atas ZEE dan Landas
Kontinen yang luas di sekitar Paracel. Secara yuridis, putusan PCA telah
memperkuat kerangka UNCLOS dan mengarahkan fokus sengketa maritim di Laut China
Selatan secara definitif menuju analisis fungsional fitur maritim (Pasal 121
UNCLOS).
5.2. Hambatan Kepatuhan Hukum dan Non-Aseptasi Putusan
UNCLOS menyediakan mekanisme
penyelesaian sengketa, termasuk penyelesaian secara damai melalui diplomatik
atau hukum berdasarkan Pasal 287.2 Namun, penyelesaian sengketa
Paracel secara hukum menghadapi tantangan besar. RRC secara konsisten menolak
yurisdiksi pengadilan arbitrase dan secara tegas tidak menerima putusan PCA
2016.16
Ketiadaan mekanisme penegakan hukum
yang bersifat memaksa dalam sistem hukum internasional menjadi faktor penghambat
utama bagi implementasi putusan arbitrase dan resolusi sengketa secara damai di
Laut China Selatan.1 RRC dapat secara terus-menerus melanggar batas
kedaulatan wilayah laut negara-negara ASEAN 17 karena kontrol de facto (melalui kekuatan militer yang dibangun sejak
pengambilalihan 1974) berhadapan langsung dengan hukum de jure yang diakui secara internasional. Selama
penolakan RRC didukung oleh kemampuan militer dan ekonomi, upaya hukum
internasional cenderung digantikan oleh negosiasi politik dan tekanan geopolitik.16
Oleh karena itu, stabilitas
regional memerlukan kerja sama yang diperkuat melalui ASEAN dan komitmen
politik antarnegara untuk memperkuat implementasi hukum laut internasional guna
mencapai penyelesaian yang adil dan damai.1 Negara-negara klaimen seperti
Vietnam perlu memperkuat koordinasi diplomatis dan mencari dukungan untuk hasil
PCA dalam menghadapi sengketa tersebut.17
VI. Prospek Geopolitik Jangka Panjang
6.1. Simpulan Komparatif Dasar-Dasar Hukum Klaim Paracel
Sengketa kedaulatan Kepulauan
Paracel adalah persaingan antara klaim historis-suksesi Tiongkok dan klaim
pendudukan efektif Vietnam, yang diperumit oleh kekosongan hukum pasca-Perang
Dunia II.
Klaim RRC didukung oleh argumen
suksesi yang bermula dari transfer administratif pasca-1945. Namun, klaim ini
dilemahkan oleh ambiguitas TSF 1951 (yang berpotensi menciptakan terra nullius) dan akuisisi de facto
melalui kekuatan militer pada tahun 1974. Klaim Vietnam, yang didasarkan pada
administrasi efektif dan kesesuaian dengan hukum laut internasional modern,
secara yuridis mungkin lebih kredibel, terutama jika tanggal kritis sengketa
ditetapkan pasca-1952.8
6.2. Dominasi UNCLOS dan Batasan Klaim Maritim
Terlepas dari siapa yang memegang
kedaulatan atas Paracel, penentu utama konflik maritim di masa depan adalah
status fitur-fitur tersebut di bawah Pasal 121(3) UNCLOS 1982. Jika komunitas
internasional secara tegas menerapkan ketentuan bahwa Paracel tidak mampu
menopang kehidupan ekonomi sendiri secara alami, dan oleh karena itu hanya
berhak atas Laut Teritorial 12 nm, maka klaim RRC atas ZEE 200 nm yang luas
akan dibatalkan. Pembatasan ini secara fundamental akan memitigasi tumpang
tindih ZEE antara RRC dan Vietnam, mengubah sengketa besar ZEE menjadi sengketa
yang lebih kecil di atas Laut Teritorial.
6.3. Rekomendasi Kebijakan dan Stabilitas Regional
Untuk mewujudkan stabilitas di
kawasan, diperlukan pendekatan multi-jalur:
1.
Penegasan
UNCLOS: Negara-negara klaimen harus terus
menegaskan prinsip-prinsip UNCLOS, khususnya Pasal 121(3), untuk secara hukum
membatasi proyeksi maritim RRC dari Paracel.
2.
Kerja Sama
Regional: Diperlukan komitmen politik dan
kerja sama diplomatik yang lebih erat di antara negara-negara ASEAN untuk
menghadapi pelanggaran kedaulatan secara kolektif.
3.
Alternatif
Damai: Mempertimbangkan pengaturan
sementara (provisional arrangements) seperti Pengembangan Bersama
(Joint Development Agreements/JDA) di area tumpang tindih ZEE, sebagai opsi
untuk menunda penyelesaian sengketa kedaulatan, meskipun inisiatif ini harus
dilakukan tanpa mengabaikan putusan arbitrase yang ada.16
4.
Penolakan De
Facto Ilegal: Komunitas internasional harus
secara berkelanjutan menantang klaim garis pangkal lurus RRC yang melanggar
UNCLOS melalui operasi kebebasan pelayaran dan pernyataan diplomatik, untuk
mencegah penguatan kontrol de facto RRC yang
tidak sah.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar