Selasa, 18 November 2025

Analisis Hukum Kepemilikan Kepulauan Paracel Laut China Selatan

Garnizun China di Kepulauan Paracel

Oleh   Harmen Batubara

I. Latar Belakang dan Kerangka Teori Hukum Sengketa Teritorial Maritim

1.1. Latar Belakang Geopolitik dan Nilai Strategis Kepulauan Paracel

Kepulauan Paracel, yang dikenal sebagai Xisha di Tiongkok dan Hoàng Sa di Vietnam, merupakan gugusan kepulauan yang terletak di bagian utara Laut China Selatan. Sengketa kedaulatan atas kepulauan ini adalah salah satu permasalahan teritorial paling kompleks dan paling berpotensi konflik di kawasan Asia Tenggara.1 Secara geografis, Kepulauan Paracel memiliki nilai strategis yang sangat besar karena posisinya yang mengontrol jalur pelayaran internasional vital dan diperkirakan kaya akan sumber daya hidrokarbon serta perikanan.

Saat ini, kedaulatan atas Paracel diklaim oleh Republik Rakyat China (RRC), Republik China (ROC/Taiwan), dan Vietnam. Sejak pertempuran laut pada tahun 1974 dengan Vietnam Selatan yang berkuasa saat itu, RRC telah memegang kontrol fisik (de facto) atas seluruh gugusan kepulauan tersebut.3 Sengketa ini menjadi titik fokus utama konflik di Laut China Selatan, menyoroti ketegangan fundamental antara klaim kedaulatan historis di satu sisi dan rezim hukum maritim internasional modern, yaitu Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982, di sisi lain.1

1.2. Hukum Kebiasaan Internasional vs. UNCLOS 1982

Untuk menganalisis sengketa ini, perlu dilakukan pembedaan yang jelas antara dua rezim hukum yang berbeda: penentuan kedaulatan teritorial dan penentuan hak maritim. Kedaulatan teritorial, yang menentukan pemilik Paracel, diatur oleh hukum kebiasaan internasional, yang meliputi prinsip-prinsip akuisisi wilayah seperti penemuan, penaklukan, penyerahan, dan pendudukan efektif (effectivities). Sementara itu, hak maritim (seperti Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE, dan Landas Kontinen/LK) diatur oleh UNCLOS 1982.1

RRC dalam strateginya cenderung menggunakan klaim yang bervariasi tergantung pada konteksnya. RRC secara konsisten menegaskan klaim historis absolut (berdasarkan prinsip pra-UNCLOS) untuk membenarkan kedaulatan atas Paracel, mengklaim bahwa kepulauan tersebut adalah bagian integral dari wilayah Tiongkok sejak dahulu kala.4 Namun, RRC juga melakukan manuver hukum modern, seperti mendeklarasikan garis pangkal lurus di sekitar Paracel 5 dan membangun infrastruktur, yang dikritik sebagai langkah yang 'modern dan ad hoc' yang bertentangan dengan karakter klaim mereka yang seharusnya 'kuno'.3 Penggunaan strategi ganda ini mengindikasikan bahwa RRC berusaha mencari legitimasi di bawah kerangka hukum apa pun, meskipun hal itu berarti mematuhi UNCLOS hanya pada ketentuan yang menguntungkan perluasan teritorial maritimnya.

II. Klaim Kedaulatan Berdasarkan Prinsip Akuisisi Wilayah

2.1. Penemuan dan Bukti Historis

Klaim kedaulatan RRC atas Kepulauan Paracel terutama didasarkan pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen kuno, dan penggunaan pulau-pulau tersebut selama berabad-abad.4 Argumen ini merujuk pada prinsip akuisisi wilayah berdasarkan penemuan dan kontrol intermiten (time immemorial).

Namun, dalam hukum kebiasaan internasional, terutama berdasarkan yurisprudensi seperti kasus Pulau Palmas (1928), penemuan atau klaim historis saja tidak cukup untuk membuktikan kedaulatan yang berkelanjutan. Yang diperlukan adalah pelaksanaan kedaulatan yang damai dan efektif (effectivities) secara berkelanjutan. Banyak bukti historis yang diajukan RRC menunjukkan kesadaran, pelayaran, atau penamaan, tetapi bukan administrasi yang konsisten dan efektif di pulau-pulau kecil yang sering tidak berpenghuni.

2.2. Administrasi Efektif dan Berkelanjutan

Sebaliknya, Vietnam juga menyatakan memiliki cukup bukti sejarah dan dasar hukum untuk menegaskan kedaulatan atas Paracel.6 Klaim Vietnam didasarkan pada prinsip pendudukan efektif (occupation), di mana tindakan administrasi yang nyata dan berkelanjutan dianggap memiliki bobot hukum yang lebih besar daripada klaim historis semata.

Pendekatan ini selaras dengan putusan kasus-kasus sengketa teritorial modern, seperti kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana demonstrasi administrasi berkelanjutan (seperti penarikan pajak, regulasi penangkapan ikan, dan penempatan pos administrasi) lebih menentukan daripada klaim penemuan kuno.4 Dalam konteks Paracel, Vietnam berargumen bahwa mereka dan pendahulu mereka telah melakukan administrasi efektif yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, Vietnam menolak klaim RRC dan menuntut penghormatan terhadap kedaulatan mereka.7

Jika penentuan kedaulatan dihadapkan pada persaingan antara klaim historis versus klaim effectivities, penentuan "tanggal kritis" (critical date) menjadi sangat penting. Jika tanggal kritis ditetapkan setelah periode kekosongan hukum yang diciptakan pasca-Perang Dunia II, klaim Vietnam yang didasarkan pada administrasi yang lebih berkelanjutan (setidaknya oleh Vietnam Selatan hingga 1974) dapat secara yuridis lebih unggul dibandingkan klaim Tiongkok yang administrasinya di kepulauan tersebut sering terputus.8

III. Ambiguitas Pasca-Perang Dunia II dan Doktrin Suksesi Negara

Sengketa kedaulatan atas Paracel sangat terkait erat dengan kekacauan teritorial yang timbul setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Proses dekolonisasi dan pengaturan ulang tatanan wilayah menciptakan titik ketidakpastian hukum yang menjadi akar konflik modern.

Gambaran di sekitar LCS

3.1. Pengalihan Sementara Pasca-Jepang (1945)

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Kepulauan Paracel (Xisha) diserahkan dari kontrol Jepang kepada administrasi Republik China (ROC) di Taiwan, yang saat itu dipimpin oleh Kuomintang [User Query]. Tindakan ini merupakan penugasan administratif oleh Sekutu, bukan transfer kedaulatan yang definitif melalui perjanjian damai.

3.2. Perjanjian San Francisco (TSF) 1951: Pelepasan Tanpa Penerima

Peristiwa hukum paling krusial yang membentuk sengketa Paracel adalah penandatanganan Perjanjian Perdamaian San Francisco (TSF) pada 8 September 1951. Perjanjian ini secara resmi mengakhiri status perang dengan Jepang.9

TSF memiliki dua aspek penting:

1.      Pelepasan Klaim: Pasal 2(f) TSF secara eksplisit menyatakan bahwa Jepang melepaskan semua hak, hak milik, dan klaim atas Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly.10

2.      Kekosongan Hukum (Legal Vacuum): Tiongkok (baik ROC maupun RRC) tidak diundang ke konferensi TSF karena adanya perselisihan mengenai representasi sah Tiongkok.9 Lebih penting lagi, TSF sengaja tidak menunjuk negara penerima kedaulatan atas Paracel. John Foster Dulles, delegasi AS, menyatakan bahwa perjanjian tersebut hanya meratifikasi pelepasan Jepang dan sengaja menghilangkan penyebutan nasib teritorial tersebut, meskipun Uni Soviet (USSR) berpendapat bahwa wilayah Tiongkok yang terpotong harus dikembalikan ke Republik Rakyat China.11

Ketidakmampuan TSF untuk menetapkan penerima kedaulatan ini menciptakan kekosongan hukum. Implikasi yang paling mendalam dari kekosongan ini adalah bahwa jika Jepang hanya melepaskan kedaulatan dan tidak mentransfernya, Paracel secara hukum dapat dianggap kembali ke status terra nullius (wilayah tak bertuan) setelah TSF berlaku pada April 1952. Jika status terra nullius berlaku, maka klaim kedaulatan tidak dapat didasarkan pada suksesi dari tindakan administratif ROC tahun 1945, melainkan harus didasarkan pada prinsip pendudukan efektif yang damai pasca-1952. Dalam skenario ini, negara manapun yang berhasil menunjukkan kontrol administratif paling berkelanjutan dan efektif (effectivities) pasca-1952 (yang diklaim oleh Vietnam) akan memiliki klaim kedaulatan yang paling kuat.

3.3. Analisis Doktrin Suksesi Negara RRC

Setelah Partai Komunis China (PKC) memenangkan Perang Sipil pada 1949, RRC mengklaim diri sebagai penerus sah seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Republik China (ROC), termasuk Taiwan dan semua kepulauan yang diserahkan kepadanya [User Query]. Klaim ini didasarkan pada doktrin suksesi negara faktual (factual state succession), di mana satu negara memperoleh seluruh atau sebagian wilayah yang sebelumnya dikuasai negara lain.12

RRC berargumen bahwa penyerahan administratif 1945 dari Jepang ke ROC menciptakan batas yang diwariskan, dan berdasarkan hukum suksesi negara (termasuk pengecualian yang mengatur bahwa suksesi negara tidak memengaruhi batas-batas perjanjian internasional) 13, RRC secara otomatis mewarisi kedaulatan tersebut.

Namun, Vietnam menolak pandangan suksesi ini.4 Mereka berpendapat bahwa penyerahan 1945 hanyalah tindakan pengawasan Sekutu yang tidak pernah mengalihkan kedaulatan secara definitif kepada Tiongkok, terutama mengingat TSF 1951 yang sengaja tidak menetapkan penerima. Selain itu, RRC mengambil kontrol de facto atas Paracel pada tahun 1974 setelah konflik militer dengan Vietnam Selatan.3 Akuisisi wilayah melalui kekuatan militer di era pasca-Piagam PBB secara luas ditolak oleh hukum internasional kontemporer.

Tabel 1 merangkum konflik teritorial pasca-PD II di Paracel:

Table 1: Analisis Hukum Konflik Teritorial Pasca-PD II di Paracel

Fase Waktu

Peristiwa Kunci

Keterlibatan Tiongkok/Vietnam

Implikasi Hukum Krusial

1945

Penyerahan kendali dari Jepang

ROC (Kuomintang) mengambil kontrol administratif sementara [User Query]

RRC mendasarkan klaim suksesi pada tindakan administratif ROC ini.

1951

Perjanjian San Francisco (TSF)

Jepang melepaskan Paracel; ROC/RRC tidak hadir 9

Menciptakan legal vacuum karena tidak menunjuk penerima kedaulatan, berpotensi mengarah ke terra nullius.11

1974

Perang Paracel

RRC mengambil kontrol de facto dari Vietnam Selatan 3

Akuisisi melalui kekuatan militer, yang berpotensi melanggar Piagam PBB.

IV. UNCLOS 1982 dan Konsekuensi Zona Maritim yang Sah

Terlepas dari siapa yang pada akhirnya memenangkan sengketa kedaulatan (diatur oleh hukum kebiasaan), hak maritim yang dihasilkan oleh kepulauan Paracel harus tunduk pada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.

4.1. Analisis Kritis Pasal 121 UNCLOS: Status Pulau vs. Batu Karang

Pasal 121 UNCLOS merupakan ketentuan kunci yang menentukan apakah fitur geografis di Paracel berhak atas zona maritim penuh (Laut Teritorial 12 nm, ZEE 200 nm, dan Landas Kontinen).

·         Pasal 121 Ayat (1) dan (2): Mendefinisikan pulau sebagai fitur yang dapat menghasilkan ZEE dan Landas Kontinen yang penuh.

·         Pasal 121 Ayat (3): Menyatakan bahwa batu karang (rocks) yang "tidak dapat menopang hunian manusia atau kehidupan ekonomi sendiri" hanya berhak atas Laut Teritorial 12 nm, tanpa ZEE atau Landas Kontinen.14

Kepulauan Paracel terdiri dari berbagai macam fitur, mulai dari karang yang terendam hingga beberapa pulau alami yang lebih besar. Klasifikasi fitur-fitur ini sangat dipolitisasi. RRC, sebagai pemegang kendali de facto, telah melakukan reklamasi ekstensif dan membangun infrastruktur besar (seperti landasan pacu, pelabuhan, dan pangkalan militer). Namun, para ahli hukum internasional mencatat dilema interpretasi frasa "kehidupan ekonomi sendiri".14 Yurisprudensi internasional (terutama Putusan PCA 2016) menegaskan bahwa pembangunan buatan atau dukungan eksternal oleh negara klaimen tidak memenuhi kriteria Pasal 121(3). Kriteria kemampuan menopang kehidupan haruslah didasarkan pada kondisi alami fitur tersebut.

Penentuan status fitur Paracel di bawah Pasal 121(3) merupakan batas hukum terpenting yang digunakan oleh Vietnam dan komunitas internasional untuk membatasi klaim RRC. Jika fitur-fitur Paracel sebagian besar diklasifikasikan sebagai 'batu karang', maka klaim RRC atas ZEE seluas 200 mil laut yang tumpang tindih dengan ZEE Vietnam akan dibatalkan, terlepas dari hasil sengketa kedaulatan. Dengan demikian, UNCLOS berfungsi sebagai kerangka yang efektif untuk membatasi konflik maritim yang timbul dari klaim teritorial yang berlebihan.

4.2. Legitimasi Klaim Garis Pangkal RRC di Paracel

Pada tahun 1996, RRC secara unilateral mengisytiharkan serangkaian garis pangkal lurus (straight baselines) di sekeliling Kepulauan Paracel. Deklarasi ini bertujuan untuk mengukur wilayah maritim dari kepulauan tersebut secara keseluruhan, bukan dari masing-masing pulau. Tindakan ini secara efektif memperluas wilayah maritim RRC dan mengklaim seluruh ruang laut di antara garis pangkal tersebut sebagai perairan internal Tiongkok.5

Deklarasi ini dianggap melanggar UNCLOS 1982. Garis pangkal lurus hanya diizinkan dalam kasus-kasus khusus, seperti pantai yang tidak stabil atau di sekitar negara kepulauan (archipelagic states), yang mana RRC bukanlah salah satunya, dan Paracel tidak memenuhi persyaratan Pasal 7 UNCLOS. Klaim garis pangkal lurus ini secara langsung ditantang oleh operasi Kebebasan Pelayaran (Freedom of Navigation Operations atau FONOPs) yang dilakukan oleh angkatan laut negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris di Laut China Selatan.5

4.3. Implikasi Terhadap Delimitasi Batas Maritim

Sengketa kedaulatan dan status fitur Paracel berdampak signifikan pada delimitasi batas maritim antara RRC dan Vietnam, yang memengaruhi luas ZEE kedua negara.4 Menurut UNCLOS, solusi yang adil dalam delimitasi batas maritim yang tumpang tindih biasanya dicapai melalui penerapan prinsip garis tengah atau sama jarak (equidistance principle).4

Klaim garis pangkal lurus yang dilakukan RRC di sekitar Paracel secara implisit menolak prinsip garis tengah. Jika RRC diakui memiliki ZEE dan Landas Kontinen penuh dari garis pangkal lurus ini, ZEE Vietnam akan berkurang secara drastis di wilayah yang berdekatan. Oleh karena itu, bagi Vietnam, penekanan pada klasifikasi Paracel sebagai batu karang di bawah Pasal 121(3) adalah strategi hukum untuk memastikan bahwa delimitasi batas maritim akan dilakukan berdasarkan garis pantai Vietnam sendiri, tanpa terhalang oleh proyeksi maritim 200 nm dari fitur Paracel.



V. Mekanisme Penyelesaian Sengketa dan Tantangan Implementasi Hukum

5.1. Putusan Arbitrase Laut China Selatan 2016 (PCA)

Meskipun sengketa Paracel tidak menjadi subjek utama dalam kasus The Republic of Philippines v. The People's Republic of China di Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016, putusan tersebut memiliki implikasi hukum yang sangat besar. Putusan PCA 2016 secara tegas memutuskan bahwa klaim hak historis RRC atas hampir seluruh Laut China Selatan, yang direpresentasikan oleh Nine-Dash Line (sembilan garis putus-putus), tidak memiliki dasar hukum di bawah UNCLOS 1982.1

Penolakan terhadap klaim historis RRC atas hak maritim memberikan kerangka hukum yang kuat bagi negara-negara klaimen lain, termasuk Vietnam, untuk menentang klaim RRC atas ZEE dan Landas Kontinen yang luas di sekitar Paracel. Secara yuridis, putusan PCA telah memperkuat kerangka UNCLOS dan mengarahkan fokus sengketa maritim di Laut China Selatan secara definitif menuju analisis fungsional fitur maritim (Pasal 121 UNCLOS).

5.2. Hambatan Kepatuhan Hukum dan Non-Aseptasi Putusan

UNCLOS menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, termasuk penyelesaian secara damai melalui diplomatik atau hukum berdasarkan Pasal 287.2 Namun, penyelesaian sengketa Paracel secara hukum menghadapi tantangan besar. RRC secara konsisten menolak yurisdiksi pengadilan arbitrase dan secara tegas tidak menerima putusan PCA 2016.16

Ketiadaan mekanisme penegakan hukum yang bersifat memaksa dalam sistem hukum internasional menjadi faktor penghambat utama bagi implementasi putusan arbitrase dan resolusi sengketa secara damai di Laut China Selatan.1 RRC dapat secara terus-menerus melanggar batas kedaulatan wilayah laut negara-negara ASEAN 17 karena kontrol de facto (melalui kekuatan militer yang dibangun sejak pengambilalihan 1974) berhadapan langsung dengan hukum de jure yang diakui secara internasional. Selama penolakan RRC didukung oleh kemampuan militer dan ekonomi, upaya hukum internasional cenderung digantikan oleh negosiasi politik dan tekanan geopolitik.16

Oleh karena itu, stabilitas regional memerlukan kerja sama yang diperkuat melalui ASEAN dan komitmen politik antarnegara untuk memperkuat implementasi hukum laut internasional guna mencapai penyelesaian yang adil dan damai.1 Negara-negara klaimen seperti Vietnam perlu memperkuat koordinasi diplomatis dan mencari dukungan untuk hasil PCA dalam menghadapi sengketa tersebut.17

VI. Prospek Geopolitik Jangka Panjang

6.1. Simpulan Komparatif Dasar-Dasar Hukum Klaim Paracel

Sengketa kedaulatan Kepulauan Paracel adalah persaingan antara klaim historis-suksesi Tiongkok dan klaim pendudukan efektif Vietnam, yang diperumit oleh kekosongan hukum pasca-Perang Dunia II.

Klaim RRC didukung oleh argumen suksesi yang bermula dari transfer administratif pasca-1945. Namun, klaim ini dilemahkan oleh ambiguitas TSF 1951 (yang berpotensi menciptakan terra nullius) dan akuisisi de facto melalui kekuatan militer pada tahun 1974. Klaim Vietnam, yang didasarkan pada administrasi efektif dan kesesuaian dengan hukum laut internasional modern, secara yuridis mungkin lebih kredibel, terutama jika tanggal kritis sengketa ditetapkan pasca-1952.8

6.2. Dominasi UNCLOS dan Batasan Klaim Maritim

Terlepas dari siapa yang memegang kedaulatan atas Paracel, penentu utama konflik maritim di masa depan adalah status fitur-fitur tersebut di bawah Pasal 121(3) UNCLOS 1982. Jika komunitas internasional secara tegas menerapkan ketentuan bahwa Paracel tidak mampu menopang kehidupan ekonomi sendiri secara alami, dan oleh karena itu hanya berhak atas Laut Teritorial 12 nm, maka klaim RRC atas ZEE 200 nm yang luas akan dibatalkan. Pembatasan ini secara fundamental akan memitigasi tumpang tindih ZEE antara RRC dan Vietnam, mengubah sengketa besar ZEE menjadi sengketa yang lebih kecil di atas Laut Teritorial.

6.3. Rekomendasi Kebijakan dan Stabilitas Regional

Untuk mewujudkan stabilitas di kawasan, diperlukan pendekatan multi-jalur:

1.      Penegasan UNCLOS: Negara-negara klaimen harus terus menegaskan prinsip-prinsip UNCLOS, khususnya Pasal 121(3), untuk secara hukum membatasi proyeksi maritim RRC dari Paracel.

2.      Kerja Sama Regional: Diperlukan komitmen politik dan kerja sama diplomatik yang lebih erat di antara negara-negara ASEAN untuk menghadapi pelanggaran kedaulatan secara kolektif.

3.      Alternatif Damai: Mempertimbangkan pengaturan sementara (provisional arrangements) seperti Pengembangan Bersama (Joint Development Agreements/JDA) di area tumpang tindih ZEE, sebagai opsi untuk menunda penyelesaian sengketa kedaulatan, meskipun inisiatif ini harus dilakukan tanpa mengabaikan putusan arbitrase yang ada.16

4.      Penolakan De Facto Ilegal: Komunitas internasional harus secara berkelanjutan menantang klaim garis pangkal lurus RRC yang melanggar UNCLOS melalui operasi kebebasan pelayaran dan pernyataan diplomatik, untuk mencegah penguatan kontrol de facto RRC yang tidak sah.



 


Tidak ada komentar: