Oleh: HarmenBatubara
Selat
Malaka bukan sekadar jalur air; ia adalah urat nadi perdagangan global. Sebagai
salah satu selat tersibuk di dunia, lebih dari 90.000 kapal melintasinya setiap
tahun, membawa minyak, gas, container, dan komoditas lainnya yang menggerakkan
perekonomian Asia. Namun, selama puluhan tahun, Indonesia kerap menjadi
penonton di rumah sendiri, menyaksikan kapal-kapal besar itu singgah dan
mengisi pundi-pundi ekonomi Singapura dan Malaysia.
Kini,
visi besar untuk menjadi Poros Maritim Dunia mengubah narasi itu. Pemerintah
Indonesia secara agresif melakukan revitalisasi dan pembangunan
pelabuhan-pelabuhan strategis di sepanjang pesisir Selat Malaka. Tujuannya
jelas: merebut pangsa pasar logistik dan perdagangan internasional, menekan
biaya logistik domestik yang mahal, dan akhirnya menjadi pemain utama, bukan
sekadar batu pijakan, dalam perdagangan global.
Upaya
Nyata Indonesia: Membangun Gerbang Baru Dunia
Indonesia
tidak setengah-setengah dalam mewujudkan ambisi maritimnya. Beberapa proyek
strategis telah dan sedang dikerjakan dengan serius:
1. Pelabuhan Internasional Kuala Tanjung (PIKT),
Sumatera Utara
Proyek ini adalah bintang utama dalam strategi
Indonesia. Dibangun dengan konsep “integrated port and industrial estate”, PIKT
bukan sekadar pelabuhan, melainkan kawasan ekonomi khusus yang terintegrasi.
Upaya nyata yang telah dilakukan termasuk:
* Pembangunan terminal container berkapasitas
4,5 juta TEUs pada fase pertama, dengan potensi pengembangan hingga 14 juta
TEUs.
* Pengoperasian dermaga yang dapat disandari
kapal berkapasitas hingga 10.000 TEUs (kapal kelas “post-panamax”).
*
Integrasi dengan kawasan industri dan smelter yang menarik investasi
mancanegara.
*
Pemerintah melalui Pelindo I (sekarang menjadi bagian dari Pelindo
Nasional) telah menanamkan investasi triliunan rupiah untuk menjadikan Kuala
Tanjung sebagai *hub* atau simpul logistik utama di bagian barat Indonesia,
mengimbangi dominasi Pelabuhan Tanjung Pelepas di Malaysia dan Singapura.
2. Pelabuhan Batu Ampar, Batam
Letaknya
yang sangat strategis, berhadapan langsung dengan Singapura, membuat Batu Ampar
memiliki potensi luar biasa. Revitalisasi dan pengembangannya difokuskan untuk:
*
Meningkatkan kapasitas bongkar muat dan memperdalam alur pelayaran.
*
Memperkuat peran Batam sebagai *transshipment hub* untuk kargo
internasional yang sebelumnya selalu dialihkan ke Singapura.
*
Mendukung industri manufaktur di Batam dan kawasan perdagangan bebasnya,
sehingga ekspor-impor dapat dilakukan langsung tanpa melalui Singapura lagi,
yang secara signifikan memotong waktu dan biaya.
3. Pelabuhan Belawan, Medan
Sebagai
pelabuhan tradisional utama di Sumatera, Belawan juga terus ditingkatkan
kapasitas dan efisiensinya. Meski nantinya akan dilayani oleh Kuala Tanjung,
modernisasi Belawan tetap krusial untuk menangani arus logistik regional
Sumatera Utara sambil melakukan transisi yang mulus.
Tantangan
dari Seberang: Mega Proyek Kuala Linggi Malaysia
Indonesia
tidak berjalan sendirian dalam perlombaan ini. Malaysia, dengan membaca peluang
yang sama, tengah mengembangkan “Pelabuhan Kuala Linggi International Port
(KLIP)” di Negeri Sembilan. Yang membuat proyek ini sangat signifikan adalah
nilai investasinya yang mencapai **RM 14.3 miliar (sekitar Rp 50 triliun)**.
KLIP
dirancang bukan hanya sebagai pelabuhan biasa, melainkan sebagai “maritime
industrial park” yang lengkap dengan fasilitas “bunkering”, “offshore support”,
dan industri turunan minyak dan gas. Lokasinya yang berada di ujung selat
Malaka memberinya keuntungan taktis untuk melayani kapal-kapal sebelum memasuki
atau setelah meninggalkan selat yang padat. Ini jelas merupakan langkah
Malaysia untuk memperkuat cengkeramannya di pasar logistik regional dan
bersaing langsung dengan pelabuhan-pelabuhan baru Indonesia serta dominasi
Singapura.
Signifikansi
Besar: Lebih dari Sekadar Pelabuhan
Upaya
revitalisasi pelabuhan ini memiliki dampak yang sangat besar dan strategis,
khususnya dalam konteks tiga negara bertetangga:
1. Penurunan Biaya Logistik Domestik yang
Signifikan: Selama ini, banyak barang ekspor-impor Indonesia harus
*di-transshipment* melalui Singapura atau Tanjung Pelepas. Praktik ini menambah
waktu dan biaya yang sangat besar. Dengan adanya pelabuhan hub seperti Kuala
Tanjung dan Batu Ampar, barang dapat langsung diekspor atau diimpor, memotong mata
rantai logistik yang mahal. Efisiensi ini akan langsung meningkatkan daya saing
produk Indonesia di pasar global.
2. Merebut Nilai Tambah Ekonomi: Setiap kali
sebuah kapal bersandar, ia menghabiskan bahan bakar, membutuhkan suku cadang,
mempekerjakan tenaga kerja, dan menggerakkan sektor jasa. Nilai tambah ekonomi
ini selama ini dinikmati oleh tetangga. Dengan memiliki *
“hub”
logistik sendiri, Indonesia dapat menahan aliran devisa dan menciptakan
lapangan kerja yang luas di sektor maritim dan logistik.
3. Posisi Tawar dalam Persaingan Regional:
Keberadaan pelabuhan-pelabuhan modern meningkatkan posisi tawar Indonesia di
kawasan. Indonesia tidak lagi sekadar "pemilik jalur", tetapi menjadi
"penyedia layanan" logistik kelas dunia. Hal ini menciptakan
persaingan sehat yang pada akhirnya akan menguntungkan para pelaku usaha dengan
lebih banyak pilihan dan layanan yang lebih baik.
4. Sayangnya Jika Tidak Ada: Mengabaikan peluang
ini sama halnya dengan membiarkan "rugi ratensi" yang terus menerus.
Tanpa pelabuhan yang kompetitif, Indonesia akan tetap terjebak dalam
ketergantungan logistik pada negara tetangga, biaya logistik akan tetap tinggi,
dan visi menjadi Poros Maritim Dunia hanya akan menjadi wacana.
Membandingkan Biaya
Logistik Indonesia vs Malaysia & Singapura.
- Pemerintah
mencatat biaya logistik domestik sebesar 14,29 % dari GDP pada 2023,
dengan tambahan biaya ekspor mencapai 8,98 %, sehingga secara total
sekitar 23,27 % dari GDP (Universitas Gadjah Mada, Pelindo Jakarta, The Jakarta Post).
- Sementara
itu, negara tetangga mencatat biaya logistik jauh lebih rendah:
- Malaysia:
sekitar 13 % dari GDP
- Singapura:
hanya 8 % dari GDP (The Jakarta Post, Asia Pacific Solidarity).
- Data
lain juga mengonfirmasi bahwa perbandingan ini signifikan:
- Indonesia:
~27 % dari GDP
- Malaysia:
~13 %
- Singapore:
~8 %
- AS:
~9,9 %
- Jepang:
~10,6 %
- Korea
Selatan: ~16,3 % (Indonesia Investments).
Upaya Penurunan Biaya
Logistik Indonesia
- Bappenas
memiliki target ambisius: menurunkan total biaya logistik (domestik +
ekspor) hingga 9 % dari GDP pada 2045, dalam kerangka visi Golden
Indonesia 2045 (ANTARA News, PwC).
- Didukung
pula oleh Kementerian Perhubungan melalui transformasi digital layanan
logistik, optimasi jalur laut (sea toll), peningkatan konektivitas,
dan akses antar daerah. Target bagi tahun 2045 adalah menurunkan biaya
logistik hingga 8 % dari GDP (Kepolisian Negara Republik Indonesia, PwC).
- Sebelumnya,
pemerintah juga menargetkan penurunan ambisius dari ~26 % ke 17 % atau
idealnya 15 % dari GDP pada 2024 (ANTARA News).
- Upaya
tersebut juga membuahkan hasil: dalam lima tahun biaya logistik turun
sekitar 40 %, dari 23,8 % menjadi 14,29 % dari GDP
pada 2023 (Pelindo Jakarta).
Mengapa Biaya Logistik
Begitu Penting?
- Biaya
logistik Indonesia sangat tinggi karena ketergantungan pada transportasi
darat, terutama dalam distribusi akhir—sekitar 50 % dari total
biaya logistik (The Jakarta Post, PwC).
- Sebagai
negara kepulauan dengan ribuan pulau, kelemahan infrastruktur dan
konektivitas antar daratan memperparah biaya tinggi ini (KPPIP).
- Dengan memperkuat infrastruktur pelabuhan, digitalisasi sistem logistik, dan sistem integrasi antar lembaga (National Logistics Ecosystem), Indonesia bisa meningkatkan efisiensi, menciptakan iklim bisnis lebih kompetitif, sekaligus menekan harga barang dan jasa (ANTARA News).
Negara |
Biaya Logistik (% GDP) |
Indonesia |
~23 %
(domestik + ekspor) |
Malaysia |
~13 % |
Singapura |
~8 % |
Indonesia
telah berupaya keras menurunkan angka ini dan berhasil menurunkannya secara
signifikan. Tetapi, untuk mencapai kompetisi global dan visi Golden
Indonesia 2045, masih dibutuhkan investasi infrastruktur dan reformasi
sistem yang konsisten dan luas.
Perlu
diingat bahwa investasi saja tidak
cukup. Keberhasilan juga bergantung pada reformasi birokrasi, efisiensi
operasional, dan koordinasi antar kementerian (BC, Imigrasi, Kemenhub) untuk
memastikan pelabuhan baru ini benar-benar efisien dan bebas dari pungli.
Visi Ke
Depan. Revitalisasi pelabuhan di sepanjang Selat Malaka adalah langkah
strategis dan nyata Indonesia dalam menentukan masa depannya sendiri. Proyek
seperti Kuala Tanjung dan Batu Ampar adalah bukti keseriusan untuk berubah dari
penonton menjadi pemain utama. Meskipun tantangan dari Malaysia dengan Kuala
Linggi-nya sangat berat, persaingan ini justru sehat dan diperlukan.
Perlombaan
ini bukan sekadar tentang membangun dermaga dan crane, tetapi tentang merebut
kendali atas nasib ekonomi bangsa. Keberhasilan upaya ini akan menjadi fondasi
kokoh bagi Indonesia untuk menekan biaya logistik, meningkatkan daya saing, dan
pada akhirnya mewujudkan mimpi besar sebagai Poros Maritim Dunia yang disegani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar