Jumat, 03 Oktober 2025

Manfaat Blusukan Ala Jokowi Membangun Empati dengan Aksi Nyata

 


Oleh  Harmen Batubara

Dalam teori manajemen, kita sering terjebak pada fetisisme data: grafik pertumbuhan, laporan kuartalan, dan dashboard Pro. Semuanya penting, namun seringkali ia menjadi layer yang justru mengaburkan realitas organisasi. Di sinilah "blusukan"—sebuah tindakan impromptu untuk turun langsung—muncul bukan sebagai sekadar aktivitas, melainkan sebagai filosofi kepemimpinan yang memanusiakan hubungan.

 Bayangkan seorang Presiden yang memutuskan untuk menghabiskan waktunya bukan di ruang rapat ber-AC, tetapi di gudang logistik. Atau seorang CEO yang antre di kantin cabang, mendengar langsung keluhan tentang menu makan siang. Apa yang terjadi di momen-momen ini?

Sebagai seorang pengamat sosial, saya sering menyaksikan bagaimana dinamika kepemimpinan di masyarakat kita dipengaruhi oleh jarak antara pemimpin dan rakyatnya. 



Sebagai seorang pengamat sosial, saya sering menyaksikan bagaimana dinamika kepemimpinan di masyarakat kita dipengaruhi oleh jarak antara pemimpin dan rakyatnya. Di tengah hiruk-pikuk birokrasi dan rutinitas formal, konsep “blusukan”—kunjungan mendadak atau impromptu visit ke berbagai wilayah—muncul sebagai alat yang ampuh untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Blusukan bukan sekadar ritual politik, melainkan strategi mendalam yang memungkinkan seorang pemimpin rakyat untuk melihat langsung, berintegrasi, dan memahami kondisi serta kebutuhan warganya. Mari kita telusuri manfaatnya secara lebih rinci, yang tidak hanya memperkaya pemahaman pemimpin, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di tingkat akar rumput.

 Manfaat Blusukan Yang Jarang Dibicarakan

Pertama, blusukan memungkinkan “pengamatan langsung yang autentik”. Dalam era di mana laporan resmi sering kali disaring melalui lapisan birokrat, kunjungan mendadak ini membawa pemimpin ke medan nyata. Bayangkan seorang kepala daerah yang tiba-tiba muncul di sebuah kampung terpencil, berbincang dengan petani yang sedang berjuang melawan banjir musiman. Di sini, pemimpin tidak hanya mendengar data statistik, tetapi menyaksikan sendiri lumpur yang menempel di sepatu, air mata kelelahan di wajah warga, dan infrastruktur yang rusak. Pengalaman ini menghasilkan wawasan yang lebih tajam, bebas dari distorsi, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran. Sebagai pengamat, saya melihat bagaimana blusukan seperti ini telah mengubah prioritas anggaran di beberapa daerah, dari proyek prestise ke perbaikan drainase dasar yang mendesak.

 


Kedua, blusukan mendorong “integrasi sosial yang mendalam”. Pemimpin yang blusukan tidak datang sebagai tamu kehormatan yang dijauhkan oleh barikade keamanan, melainkan sebagai bagian dari komunitas. Dengan berbaur—mengobrol di warung kopi, membantu mengangkut barang, atau bahkan ikut gotong royong—pemimpin membangun rasa kebersamaan. Ini menciptakan empati yang tulus, di mana pemimpin merasakan denyut nadi kehidupan sehari-hari warganya: dari kekhawatiran ekonomi hingga aspirasi pendidikan anak muda. Integrasi ini juga mengurangi persepsi elit versus rakyat jelata, yang sering menjadi sumber ketidakpercayaan sosial. Dalam pengamatan saya, pemimpin yang rutin blusukan cenderung memiliki dukungan massa yang lebih solid, karena warga merasa didengar dan dihargai sebagai mitra, bukan sekadar penerima bantuan.

 

Ketiga, blusukan menjadi katalisator untuk “pemahaman kebutuhan yang holistik”. Kunjungan ke berbagai area—dari perkotaan padat hingga pedesaan terisolasi—membuka mata pemimpin terhadap keragaman isu sosial. Misalnya, di wilayah urban, blusukan mungkin mengungkap masalah kemacetan dan polusi yang memengaruhi kesehatan mental; sementara di pedesaan, fokusnya pada akses air bersih atau pendidikan. Dengan melihat langsung, pemimpin dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tak terdeteksi oleh survei formal, seperti dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian nelayan. Hasilnya? Kebijakan yang lebih inklusif dan adaptif, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dari perspektif sosial, ini juga memperkuat demokrasi partisipatif, di mana suara marjinal tidak lagi terpinggirkan.

 Blusukan akan Menjadi Model Berkesinambungan

Tentu saja, blusukan bukan tanpa tantangan—ia memerlukan keberanian, fleksibilitas, dan komitmen untuk bertindak pasca-kunjungan. Namun, manfaatnya jauh melebihi risikonya, terutama dalam membangun kepemimpinan yang berbasis empati dan aksi. Bagi pemimpin rakyat, blusukan adalah investasi jangka panjang untuk masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Sebagai pengamat sosial, saya yakin bahwa praktik ini, jika dilakukan dengan konsisten, dapat menjadi model bagi generasi pemimpin mendatang.




Tidak ada komentar: