Oleh Harmen Batubara
“ Ironi Negeri Yang Kaya Energi” Purbaya Bilang : Pertamina Malas bangun Kilang. Padahal butuh 400 ribu barrel perhari.
Kita adalah negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah. Namun, ada ironi pahit yang terus menghantui kita di sektor energi. Setiap tahun, kita menyaksikan sebuah ritual anggaran yang memprihatinkan: “pemerintah mengalokasikan subsidi BBM dan Gas yang jumlahnya fantastis, mencapai Rp 107,99 triliun pada 2025.”
Di sisi lain, kita
memiliki Pertamina, perusahaan pelat merah yang seharusnya menjadi tumpuan
energi bangsa. Pertamina mencatat laba bersih Rp 49,54 triliun dan memberikan
kontribusi Rp 401,7 triliun kepada negara. Angka ini terlihat megah di atas
kertas. Namun, mari kita bedah dengan kritis.
Fakta yang tak
terbantahkan adalah bahwa “konsumsi BBM kita mencapai 1,6 juta barel per hari,
sementara kemampuan kilang Pertamina hanya 1,2 juta barel.” Artinya, kita impor
sekitar 400 ribu barel BBM olahan setiap harinya. Lebih miris lagi, tanpa
program penambahan kilang baru yang serius. Ini adalah bom waktu yang setiap
detiknya menggerus kedaulatan energi kita.
Muncul pertanyaan mendasar: “Dari manakah sebenarnya laba Pertamina bersumber?” Apakah dari keunggulan operasional di hilir, eksplorasi dan produksi di hulu yang agresif, atau inovasi teknologi? Atau, jangan-jangan, keuntungan terbesar mereka justru datang dari mengelola arus subsidi yang disediakan negara? Jika yang terakhir yang terjadi, maka ini adalah sebuah bentuk "komersialisasi subsidi" yang tidak sehat. Pertamina untung, rakyat terbebani anggaran subsidi yang membengkak, dan kedaulatan energi kita mandek.
“Titik Balik Menuju
Perusahaan Energi Kelas Dunia”
Lalu, bagaimana
seharusnya wajah sebuah perusahaan energi nasional? Ia harus bertransformasi
dari sekadar "pelaksana program" menjadi "penggerak kedaulatan
energi". Berikut pilar-pilarnya:
“1. Kemandirian di Hulu:
Berburu Cadangan Baru dengan Gigih”
Perusahaan energi yang
sehat harus agresif dan inovatif dalam eksplorasi. Ini membutuhkan mentalitas
_risk-taker_ yang didukung oleh teknologi mutakhir dan tata kelola yang bersih.
Alih-alih puas dengan ladang minyak tua, mereka harus memimpin dalam pencarian
cadangan baru, baik di darat maupun laut, termasuk memanfaatkan potensi energi
non-konvensional. Laba yang didapat harus di-reinvestasikan secara signifikan
untuk kegiatan eksplorasi berisiko tinggi, bukan hanya untuk membiayai
operasional yang ada.
“2. Investasi Strategis
di Hilir: Membangun Kilang sebagai Jantung Industri”
Ketergantungan pada impor
BBM olahan adalah aib bagi negara kepulauan dengan potensi minyak mentah.
Perusahaan energi nasional harus memprioritaskan pembangunan dan _revitalisasi
kilang_. Ini bukan pilihan, tapi keharusan. Dengan meningkatkan kapasitas
pengolahan, kita tidak hanya menghemat devisa, tetapi juga menciptakan rantai
nilai industri yang panjang, membuka lapangan kerja, dan menekan harga
keekonomian BBM.
“3. Diversifikasi dan
Transisi Energi: Melompat ke Masa Depan”
Dunia bergerak menuju
energi bersih. Perusahaan energi nasional tidak boleh hanya fokus pada BBM
fosil. Mereka harus menjadi pionir dalam pengembangan energi terbarukan, gas
bumi sebagai energi transisi, biofuel, dan bahkan hidrogen. Kontribusi terbaiknya
bukan hanya uang untuk negara hari ini, tetapi memastikan bangsa ini tidak
tertinggal dalam revolusi energi global.
“4. Tata Kelola yang
Transparan dan Akuntabel”
Mentalitas "yang
penting untung" tanpa efisiensi yang riil harus dihapuskan. Setiap Rupiah
yang dihasilkan perusahaan, apalagi yang berkaitan dengan uang rakyat
(subsidi), harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Tata kelola
yang bersih akan menarik investor, memulihkan kepercayaan publik, dan
memastikan bahwa laba yang diraih adalah laba yang sehat dan etis, bukan dari
"main aman" mengelola subsidi.
“5. Orientasi pada
Layanan Publik, Bukan Hanya Pencatatan Laba”
Sebagai BUMN, misi sosial
Pertamina tidak boleh hilang. Namun, misi sosial itu harus diwujudkan dengan
cerdas. Bukan dengan menjadi distributor subsidi pasif, tetapi dengan membangun
infrastruktur energi yang terjangkau dan merata, mendidik masyarakat tentang
efisiensi energi, dan memastikan distribusi yang lancar hingga ke daerah
terpencil.
“Panggilan untuk Aksi dan
Perubahan Regulasi”
Kekecewaan kita terhadap
Pertamina hari ini bukanlah akhir. Ini adalah panggilan bagi kita semua,
terutama para pembuat kebijakan, untuk mendorong transformasi fundamental.
Kita membutuhkan “regulasi
yang mendorong efisiensi, inovasi, dan investasi strategis”, bukan regulasi
yang memelihara status quo. Kita perlu memastikan bahwa kontribusi Rp 401,7
triliun itu adalah hasil dari kerja keras membangun kedaulatan energi, bukan
semata-mata hasil dari mengelola uang subsidi rakyat.
Mari kita bayangkan
sebuah Pertamina yang baru: “tangguh di hulu, mandiri di hilir, berwawasan
lingkungan, dan dikelola dengan tata kelola bersih.” Perusahaan seperti inilah
yang kontribusinya tidak hanya dihitung dari triliunan Rupiah untuk APBN,
tetapi dari terjaminnya masa depan energi anak cucu kita.
Inilah saatnya perusahaan
energi nasional kita berkembang dengan sehat, bukan sekadar tumbuh dengan
mengandalkan kruk subsidi. Mari kita wujudkan bersama. Pertamina mestinya malu,
jangan hanya mencari keuntungan dengan menerapkan berbagai kebijkan terkait
Subsidi. Yang sudah ya sudahlah. Kini harus berbuat terbaik untuk negeri.
Apalagi mengkorupsi dan mengkadali negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar