Oleh Harmen Batubara
Dinamika hubungan China-Jepang bagai
pendulum yang bergerak antara persaingan sengit dan kerja sama yang tak
terhindarkan. Sebagai dua raksasa Asia, hubungan mereka tidak hanya menentukan
stabilitas kawasan, tetapi juga menjadi cermin dari pergeseran kekuatan global.
Konflik yang belakangan ini memanas, dipicu oleh pernyataan pro-Taiwan dari
politisi Jepang seperti Sanae Takaichi, bukanlah fenomena baru. Ia berakar pada
sejarah kelam yang membentang puluhan tahun, dimulai dari persaingan
memperebutkan Semenanjung Korea.
Perebutan Hegemoni di
Korea dan Perang Sino-Jepang Pertama
Awalnya, hubungan China (di bawah
Dinasti Qing) dan Jepang terjalin dalam kerangka harmoni, dengan China
memainkan peran sebagai "kakak tua" dalam tatanan hierarkis Asia
Timur. Namun, segala sesuatu berubah drastis pasca “Restorasi Meiji” Jepang.
Jepang dengan cepat melakukan modernisasi dan westernisasi, membangun kekuatan
industri dan militer yang tangguh. Ambisi baru ini langsung berbenturan dengan
hegemoni tradisional China atas Korea, yang saat itu berada di bawah sphere of
influence Dinasti Qing.
Ketegangan memuncak dan meletus dalam
“Perang Sino-Jepang Pertama (1894-1895)”. Hasilnya sangat telak: Jepang yang
modern dan terlatih dengan mudah mengalahkan tentara Qing yang masih
tradisional. Kekalahan ini memalukan bagi China dan menjadi penanda berakhirnya
dominasi regionalnya. Perjanjian Shimonoseki yang mengakhiri perang memaksa
China untuk menyerahkan “Taiwan” kepada Jepang, melepaskan pengaruhnya atas Korea,
dan memberikan Konsesi Liaodong (yang kemudian dialihkan akibat intervensi
Rusia, Jerman, dan Prancis).
Kekalahan ini meninggalkan luka
nasionalisme yang dalam bagi China, sementara bagi Jepang, ini adalah
pembuktian atas statusnya sebagai kekuatan baru.
“Puncak Permusuhan, Perang Dunia II dan Pendudukan Jepang”
Konflik mencapai puncaknya pada era
Perang Dunia II. Insiden “Jembatan Marco Polo (1937)” menandai dimulainya
perang skala penuh antara China (saat itu diperintah oleh Kuomintang pimpinan
Chiang Kai-shek) dan Jepang. Berbeda dengan Jepang yang telah menjadi kekuatan
industri-militer, China sama sekali tidak siap. Negeri itu terpecah secara
politik antara Nasionalis dan Komunis, serta sangat tertinggal dalam teknologi
persenjataan.
Akibatnya, dalam tahun-tahun pertama
perang, pasukan Jepang dengan mudah merebut dan menduduki sebagian besar kota
besar China, menimbulkan penderitaan dan korban jiwa yang sangat besar.
Pendudukan Jepang atas wilayah China, termasuk bekas wilayahnya seperti Taiwan,
meninggalkan memori pahit tentang imperialisme dan kekejaman yang hingga hari
ini terus membayangi hubungan bilateral.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang
Dunia II, tatanan wilayah harus diatur ulang. Dalam proses dekolonisasi ini,
muncul titik api baru. “Kepulauan Paracel (Xisha) di Laut China Selatan”,
misalnya, diserahkan dari kontrol Jepang kepada administrasi “Taiwan” (pada
saat itu masih di bawah Republik China pimpinan Kuomintang). Namun, setelah
Partai Komunis China (PKC) memenangkan Perang Saudara dan mendirikan Republik
Rakyat China (RRC) pada 1949, Beijing mengklaim diri sebagai penerus sah
seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh Republik China, termasuk Taiwan dan semua
kepulauan yang diserahkan kepadanya.
Pola serupa terjadi di Laut China
Timur. Kepulauan “Senkaku (menurut sebutan Jepang) atau Diaoyu (menurut China)”
yang dikontrol Jepang pasca-Perang Dunia II, juga diklaim oleh China
berdasarkan catatan sejarah. Bagi China, klaim-klaim ini bukanlah ekspansi
baru, melainkan upaya untuk “"memperlihatkan haknya yang sebenarnya"“—mengembalikan
kedaulatan atas wilayah-wilayah yang mereka anggap secara historis dan hukum
adalah milik mereka, yang pernah terampas oleh era kolonialisme dan perang.
“Situasi Kontemporer: Konflik Global
dan Ketegangan di Taiwan Strait”
Dalam konteks inilah
pernyataan-pernyataan politisi Jepang seperti Sanae Takaichi yang mendukung
Taiwan dilihat Beijing bukan sekadar pernyataan politik, melainkan tantangan
terhadap kedaulatan dan integritas teritorial China. Bagi China, Taiwan adalah
provinsi yang membangkang, dan campur tangan pihak asing, apalagi dari mantan
penjajah seperti Jepang, adalah garis merah.
Sebagai respons, China memperlihatkan
sikap diplomatik yang agresif dan meningkatkan kehadiran militernya. Patroli
maritim rutin di sekitar Senkaku/Diaoyu dan latihan militer skala besar di
sekitar Taiwan menjadi pesan yang jelas: China tidak akan mentolerir apa yang
mereka anggap sebagai erosi terhadap klaim teritorialnya.
Saya Ingin Mengingatkan
Konflik China-Jepang adalah narasi
yang berlapis-lapis. Ia dimulai dari perebutan hegemoni regional abad ke-19,
diperkuat oleh trauma pendudukan militer abad ke-20, dan terus hidup melalui
sengketa teritorial dan persaingan geopolitik abad ke-21.
Di balik gesekan diplomatik dan
manuver militer hari ini, terngiang gema kekalahan memalukan China tahun 1895
dan penderitaan masa perang tahun 1937-1945.
Bagi China, kebangkitan dan sikap
tegasnya sekarang adalah bagian dari proses pemulihan harga diri dan klaim atas
"haknya yang sebenarnya".
Sementara bagi Jepang, kebangkitan
China yang assertif adalah ancaman terhadap tatanan regional yang stabil.
Dua tetangga ini, dengan sejarah yang
begitu rumit, terus berjuang menemukan keseimbangan antara kenangan pahit masa lalu
dan tuntutan ketidakpastian global masa depan.

