Oleh Harmen Batubara
I. Kedaulatan
Absolut di Laut China Timur
Konflik kedaulatan atas
sekelompok pulau tak berpenghuni di Laut China Timur, yang dikenal sebagai
Kepulauan Senkaku oleh Jepang, Kepulauan Diaoyu oleh Republik Rakyat China
(RRC), dan Kepulauan Tiaoyutai oleh Taiwan, merupakan salah satu sengketa
teritorial yang paling rentan dan berbahaya di Asia Timur. Sengketa yang telah
berlangsung lama ini mencerminkan kegagalan fundamental untuk mencapai kompromi
fungsional, di mana klaim kedaulatan mutlak oleh kedua belah pihak meniadakan
ruang bagi resolusi damai atau pembagian wilayah.
Dualisme Nama dan Pentingnya Geostrategis
Kepulauan ini
terdiri dari delapan pulau kecil, dengan Uotsuri-shima sebagai yang terbesar,
yang total luasnya hanya sekitar tujuh kilometer persegi.1 Secara administratif, Jepang mengelola pulau-pulau tersebut sebagai
bagian dari Prefektur Okinawa.1 Meskipun ukurannya kecil,
signifikansi strategisnya jauh melampaui dimensi geografisnya. Kepulauan ini
terletak di dekat jalur pelayaran utama yang vital, zona perikanan yang kaya,
dan, yang paling penting, berada di wilayah perairan di mana potensi cadangan
minyak dan gas dalam jumlah besar teridentifikasi oleh Komisi Ekonomi PBB untuk
Asia dan Timur Jauh (ECAFE) pada tahun 1969.1
Pengakuan atas potensi
sumber daya hidrokarbon pada akhir tahun 1960-an berfungsi sebagai katalis
utama yang mentransformasi pulau-pulau yang sebelumnya tidak penting menjadi
aset geostrategis kritis. Sebelum periode ini, pulau-pulau tersebut jarang
mendapat perhatian internasional. Namun, sejak penemuan ini, sengketa
teritorial tersebut telah bergerak dari isu historis dan kolonial menjadi
pertarungan hak Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang didorong oleh kepentingan
ekonomi.
Pendekatan Zero-Sum Gain
Analisis
terhadap konflik Senkaku/Diaoyu menunjukkan bahwa kebuntuan yang terjadi saat
ini berakar pada ketidakmampuan Beijing dan Tokyo untuk memisahkan isu
kedaulatan dari potensi kerjasama fungsional. Kedua negara bersikeras pada
pendekatan zero-sum di mana pengakuan terhadap kedaulatan salah satu
pihak berarti kerugian total bagi pihak lainnya.2 Bagi China, mundur dari klaim Diaoyu berarti mengkhianati narasi
sejarah tentang pemulihan wilayah yang "dicuri". Sementara bagi
Jepang, menegosiasikan kedaulatan berarti meruntuhkan fondasi tatanan
pasca-Perang Dunia II dan kontrol efektif de facto yang telah
dipertahankan selama beberapa dekade. Ketegangan yang terjadi pada Desember
2025, yang menghubungkan sengketa pulau secara langsung dengan isu Taiwan, menegaskan
bahwa konflik ini berfungsi sebagai arena reaksi geopolitik regional,
menjadikannya semakin sulit untuk dikompromikan.
II. Pertarungan Narasi Sejarah dan Hukum
Klaim kedaulatan Jepang dan
China didasarkan pada dua narasi hukum dan sejarah yang saling bertentangan,
yang masing-masing mengacu pada interpretasi berbeda mengenai hukum
internasional dan hasil Perang Dunia II.
Dasar Klaim Jepang (Senkaku): Kontrol Efektif dan Tatanan Pasca-Perang
Posisi Jepang bertumpu pada
hukum positif, kontrol efektif, dan legitimasi tatanan internasional
pasca-Perang Dunia II.
1. Akuisisi Terra Nullius 1895 dan Kontrol
Efektif
Jepang
mengklaim telah memasukkan pulau-pulau tersebut ke dalam wilayahnya pada
Januari 1895, setelah melakukan penyelidikan yang cermat dan memastikan bahwa
tidak ada jejak kendali oleh negara lain pada periode sebelumnya, sehingga
pulau-pulau tersebut dianggap sebagai terra nullius (tanah milik tak
seorang pun).1 Akuisisi ini diklaim sah di bawah kerangka hukum
internasional yang berlaku pada saat itu.3
Setelah
penggabungan tersebut, Jepang melaksanakan kontrol efektif (effectivité).
Pemerintah Meiji memberikan izin kepada warga sipil, seperti Tatsushiro Koga,
untuk menyewa pulau-pulau tersebut pada tahun 1896. Warga sipil Jepang kemudian
menetap dan menjalankan bisnis seperti manufaktur cakalang kering dan
mengumpulkan bulu, dengan populasi yang pernah mencapai lebih dari 200
penduduk, dan Jepang memungut pajak dari para penduduk tersebut.1 Tindakan ini menunjukkan administrasi dan kontrol yang valid, yang
merupakan bukti penting di bawah hukum teritorial internasional.
2. Status Pasca-Perang dan Traktat San Francisco 1951
Setelah Perang
Dunia II, Jepang berpendapat bahwa Kepulauan Senkaku tidak termasuk dalam wilayah
yang dilepaskan di bawah Pasal 2 Traktat Perdamaian San Francisco (SFPT) tahun
1951, yang mendefinisikan batas wilayah Jepang secara legal pasca-perang.4 Jepang melepaskan Formosa (Taiwan) dan Pescadores, tetapi mengklaim
Senkaku bukanlah bagian dari wilayah yang diserahkan kepada Jepang oleh Dinasti
Qing dalam Perjanjian Shimonoseki 1895.1
Berdasarkan
Pasal 3 SFPT, Kepulauan Senkaku ditempatkan di bawah administrasi Amerika
Serikat sebagai bagian dari Kepulauan Nansei Shoto (Ryukyu).4 Status ini diperkuat lebih lanjut pada tahun 1972 melalui Perjanjian
Reversi Okinawa, di mana hak administrasi atas Kepulauan Ryukyu dan Daito, yang
secara eksplisit mencakup Senkaku, dikembalikan kepada Jepang.3 Bahkan, Kuba dan Taishō Islands disediakan untuk Angkatan Bersenjata AS
sebagai area pengeboman di bawah perjanjian Status Pasukan AS-Jepang, yang
semakin menegaskan kontrol administratif Jepang yang diakui AS.7
B. Historisitas dan Pemulihan Wilayah Curian
Posisi China (RRC dan
ROC/Taiwan) didasarkan pada hak historis kuno dan prinsip keadilan restoratif
yang ditetapkan oleh Deklarasi Sekutu setelah Perang Dunia II.
1. Yurisdiksi Kuno (Dinasti Ming dan Qing)
China mengklaim
bahwa Diaoyu Dao telah berada di bawah yurisdiksi angkatan laut China sebagai
pulau afiliasi Taiwan sejak Dinasti Ming (1368-1644). Selama dinasti Ming dan
Qing, China disebut telah menjalankan kedaulatan atas pulau-pulau tersebut dan
secara resmi mencantumkannya dalam peta.8 Argumen ini mendasarkan
klaim China pada historisitas dan penggunaan awal, jauh sebelum akuisisi Jepang
tahun 1895.
2. Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam
Pilar utama
klaim hukum China terletak pada Deklarasi Kairo (1943) dan Proklamasi Potsdam
(1945). Deklarasi Kairo, yang dikeluarkan oleh China, AS, dan Inggris, secara
eksplisit menuntut agar semua wilayah yang "dicuri" Jepang dari China
(termasuk Formosa dan Pescadores) harus dipulihkan.8 China berpendapat bahwa Diaoyu Dao diambil secara ilegal oleh Jepang
bersama Taiwan.8
Proklamasi
Potsdam, yang dikeluarkan pada Juli 1945, menegaskan kembali bahwa
"ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan".8 Penggunaan kata "dicuri" (stolen) dalam Deklarasi
Kairo, sebuah istilah yang jarang digunakan dalam instrumen hukum
internasional, digunakan oleh Beijing untuk mendefinisikan sifat ilegal agresi
Jepang dan secara moral serta hukum menempatkan China sebagai pemilik yang sah
dan Jepang sebagai "pencuri".8 China memandang Deklarasi
Kairo dan Potsdam sebagai dasar hukum tatanan internasional pascaperang yang
memiliki otoritas dan legitimasi universal.8
3. Kontradiksi Pilar Hukum Pasca-Perang
Fakta bahwa
kedua negara mendasarkan klaim mereka pada dua pilar hukum pasca-Perang Dunia
II yang tidak dapat didamaikan merupakan inti dari kebuntuan ini. Jepang
mengutamakan legalitas formal Traktat San Francisco dan status quo administrasi
AS yang dikembalikan pada tahun 1972, sementara China mengutamakan prinsip
moral-politik restorasi yang ditetapkan dalam Deklarasi Kairo dan Potsdam.4
Karena Tiongkok (saat itu
RRC) tidak menandatangani SFPT, Beijing tidak merasa terikat oleh ketentuan
perjanjian tersebut yang gagal mengembalikan Diaoyu bersama Taiwan. Kegagalan
untuk menyelaraskan otoritas dokumen-dokumen ini (SFPT vs. Kairo) berarti bahwa
tidak ada jalur arbitrase hukum yang dapat menyelesaikan sengketa tanpa salah
satu pihak harus secara fundamental meninggalkan narasi sejarah dan
legalitasnya. Inilah mengapa klaim kedaulatan ini secara inheren bersifat
non-kompromis.
III. Kronologi Eskalasi Kebuntuan (1970-2012): Dari Potensi Sumber Daya
hingga Nasionalisme
Meskipun China mengklaim
kedaulatan sejak era Ming, aktivasi agresif klaim tersebut di era modern baru
terjadi setelah adanya pergeseran nilai strategis pulau-pulau tersebut dan
serangkaian tindakan di lapangan.
A. Katalisator Ekonomi dan Perubahan Sikap China
Sebelum
penemuan potensi hidrokarbon, sikap China terhadap pulau-pulau tersebut relatif
pasif. Bahkan, publikasi kartografi China pada tahun 1958 masih menyebutnya
sebagai "Senkaku Group of Islands" dan mencantumkannya sebagai bagian
dari Okinawa, Jepang.3
Titik baliknya
adalah tahun 1969, ketika laporan ECAFE mengidentifikasi potensi cadangan
minyak dan gas di bawah perairan sekitarnya.1 Setelah potensi ekonomi
yang besar ini terungkap, China mulai secara aktif mengangkat masalah
kedaulatan di paruh kedua tahun 1970-an.1 Pergeseran ini menunjukkan
bahwa meskipun China memiliki argumen historis, penegasan klaim di panggung
internasional modern didorong oleh kepentingan strategis ekonomi (ZEE dan
sumber daya alam).
Di tengah
peningkatan perhatian ini, muncul gerakan nasionalis China dan Taiwan, yang
dikenal sebagai "Bao-Diao Movement" (Gerakan Pertahanan Kepulauan
Diaoyu), yang dibentuk pada tahun 1970-an.9 Gerakan ini sering
terlibat dalam protes dan upaya pendaratan di pulau-pulau tersebut, menandai
transisi dari klaim kartografi pasif menjadi penegasan kedaulatan yang aktif
secara fisik.
B. Peningkatan Koersi Maritim (2008-2010)
Sejak tahun
2008, China telah mengadopsi taktik koersif yang disebut grey zone
dengan mengirimkan kapal pemerintah secara terus-menerus ke perairan sekitar
Senkaku, dan berulang kali melakukan intrusi ke perairan teritorial Jepang.3 Strategi ini bukan perang terbuka, tetapi merupakan upaya untuk
menantang kontrol efektif Jepang secara konsisten dan menciptakan "fakta
di lapangan" bahwa perairan tersebut disengketakan dan tunduk pada
yurisdiksi ganda.
Eskalasi besar
pertama terjadi pada September 2010, ketika sebuah kapal ikan China menabrak
dua kapal Penjaga Pantai Jepang (JCG) di perairan yang disengketakan. Kapten
kapal China ditahan, yang memicu serangkaian protes anti-Jepang di seluruh
China dan penangguhan pembicaraan tentang eksplorasi gas bersama.2 Insiden ini menunjukkan bagaimana konfrontasi paramiliter dapat dengan
cepat memicu krisis diplomatik dan ekonomi.
C. The Tipping Point: Nasionalisasi 2012
Krisis yang
lebih parah terjadi pada September 2012 ketika pemerintah Jepang memutuskan
untuk menasionalisasi tiga pulau yang disengketakan dengan membelinya dari
pemilik swasta.1 Tindakan ini sebagian didorong oleh politik
domestik, sebagai upaya untuk menggagalkan rencana Gubernur Tokyo saat itu,
Shintaro Ishihara, yang lebih provokatif untuk membeli dan mengembangkan
infrastruktur di pulau-pulau tersebut.1
Bagi Beijing,
nasionalisasi 2012 adalah pelanggaran radikal terhadap status quo. China
merespons dengan mengirimkan kapal perang ke daerah tersebut sebagai unjuk
kekuatan, memicu protes besar-besaran, dan secara signifikan meningkatkan
kehadiran kapal Penjaga Pantai dan kapal sipil paramiliter di perairan sekitar
Senkaku.2 Sejak saat itu, frekuensi dan agresivitas intrusi
maritim China semakin meningkat.
Tabel 1: Kronologi Utama Klaim Kedaulatan dan Eskalasi Konfrontasi
Senkaku/Diaoyu
|
Tahun |
Pihak |
Peristiwa
Kunci |
Signifikansi |
|
1895 (Jan) |
Jepang |
Penggabungan pulau ke wilayah Jepang (klaim terra
nullius). |
Dasar klaim Jepang atas
kontrol efektif.1 |
|
1943 (Des) |
Sekutu |
Deklarasi Kairo dikeluarkan. |
Dasar klaim China untuk
restorasi wilayah curian.8 |
|
1969 |
PBB (ECAFE) |
Identifikasi potensi cadangan minyak/gas di
sekitar pulau. |
Katalis modernisasi klaim
China.1 |
|
1972 (Mei) |
AS/Jepang |
Pengembalian hak administrasi Okinawa (termasuk
Senkaku) ke Jepang. |
Penguatan kontrol de
facto Jepang dan awal sengketa modern.3 |
|
2010 (Sep) |
China/Jepang |
Tabrakan kapal ikan China dan JCG. |
Eskalasi konfrontasi
paramiliter dan dampak diplomatik.2 |
|
2012 (Sep) |
Jepang |
Nasionalisasi tiga pulau Senkaku dari pemilik
swasta. |
Puncak krisis dan pemicu
peningkatan kehadiran militer/paramiliter China.1 |
|
2025 (Des) |
China/Jepang |
Konfrontasi kapal penjaga pantai di perairan
Senkaku. |
Insiden terbaru yang
menghubungkan konflik Senkaku langsung dengan isu Taiwan.11 |
IV. Senkaku vs Diaoyu dalam Kebijakan Zero-Sum
Kebuntuan
atas Senkaku/Diaoyu mencerminkan dilema di mana isu kedaulatan, yang merupakan high politics (politik tinggi) yang terkait dengan
martabat nasional dan legitimasi rezim, sepenuhnya mendominasi kepentingan
ekonomi dan keamanan maritim fungsional (low politics).
A. Kegagalan Manajemen Konflik Fungsional
Meskipun
potensi konflik di laut lepas sangat tinggi, upaya untuk mengelola atau
mengembangkan sumber daya bersama telah gagal total. Pada Juni 2008, China dan
Jepang mencapai kesepakatan prinsip mengenai eksplorasi bersama gas dan minyak
di Laut China Timur. Meskipun kesepakatan ini dibuat setelah bertahun-tahun
sengketa, pelaksanaannya terhenti.1
Penyebab
kegagalan ini adalah klausul yang melarang perjanjian tersebut merugikan klaim
hukum salah satu pihak.6 Persyaratan untuk melindungi kedaulatan absolut
menggagalkan manfaat ekonomi bersama. Kedua negara tidak dapat memisahkan
kerjasama sumber daya dari isu kedaulatan teritorial yang mendasarinya.
Akibatnya, proyek pengembangan bersama tidak pernah terwujud. Demikian pula,
meskipun ada persetujuan pada tahun 2009 dan 2010 untuk membangun hotline
komunikasi militer-ke-militer, mekanisme penting ini tidak pernah
diimplementasikan.1 Kegagalan implementasi mekanisme manajemen krisis
dan kerjasama fungsional menggarisbawahi kurangnya "semangat
kompromi" yang sistemik.
B. Peran Jaring Pengaman AS dan Ketidakfleksibelan Jepang
Posisi Amerika
Serikat sangat menentukan dinamika konflik ini, karena memberikan jaring
pengaman strategis bagi Jepang. Amerika Serikat telah secara eksplisit dan
berulang kali menegaskan bahwa Pasal 5 dari Perjanjian Keamanan AS-Jepang—yang
mewajibkan AS untuk membela Jepang—mencakup administrasi Kepulauan Senkaku.6 Jaminan keamanan ini telah ditegaskan kembali oleh pemerintahan Obama,
Trump, dan Biden.6
Namun, AS
secara historis mempertahankan posisi netral mengenai kedaulatan pulau
itu sendiri, hanya mengakui hak administrasi Jepang, dan menyatakan bahwa
sengketa kedaulatan harus diselesaikan oleh pihak-pihak terkait.14 Jaminan Pasal 5 memberikan Jepang dukungan militer yang kuat untuk
mempertahankan kontrol de facto tanpa menghadapi tekanan mendesak untuk
berkompromi pada isu kedaulatan.
Dampak dari
paradoks AS ini adalah menghilangkan insentif Jepang untuk negosiasi kedaulatan
yang substansial. Bagi China, jaminan AS hanya memperkuat persepsi bahwa
konflik ini adalah bagian dari strategi pengekangan yang dipimpin oleh AS.14 Karena jaminan Pasal 5 melindungi kontrol de facto Jepang, China
terpaksa menggunakan taktik grey zone (koersi di bawah ambang batas
perang) melalui Penjaga Pantai China (CCG) untuk menantang status quo secara
operasional, tanpa memicu respons militer yang dijamin oleh AS. Strategi koersi
bertahap ini dirancang untuk menciptakan status quo baru di mana kehadiran
China dianggap normal, sementara Jepang terus mengklaim penegakan hukum di
perairan teritorialnya.
Tabel 2: Perbandingan Dasar Hukum Utama Klaim Kedaulatan
|
Dasar Klaim |
Jepang
(Senkaku) |
China
(Diaoyu) |
Implikasi
terhadap Kompromi |
|
Akuisisi Awal |
Terra Nullius (1895) dan Penguasaan Efektif. |
Yurisdiksi Dinasti Ming/Qing (1368-1644). |
Saling meniadakan. Klaim Jepang berdasar hukum
positif, China berdasar hak historis. |
|
Hukum Pasca-Perang |
Traktat San Francisco (1951) & Reversi
Okinawa (1972). |
Deklarasi Kairo/Potsdam (1943/1945). Pulau
"dicuri" harus dikembalikan. |
Sengketa tatanan pasca-perang. China menolak
SFPT. Klaim kedaulatan non-negosiable. |
|
Status AS |
Jaminan Pasal 5 (Militer); Netralitas
(Sovereignty). |
Dianggap sebagai campur tangan yang melanggengkan
agresi Jepang. |
Dukungan AS memperkuat keengganan Jepang untuk
bernegosiasi pada kedaulatan. |
|
Sifat Klaim |
Penguasaan efektif dan legal formal berdasarkan
tatanan internasional kontemporer. |
Hak sejarah, pemulihan kedaulatan, dan keadilan
sejarah. |
Kedua klaim bersifat absolut dan berdasarkan
prinsip yang berbeda (efektivitas vs. historisitas). |
V. Kasus Desember 2025: Senkaku sebagai Arena Reaksi Terhadap Isu Taiwan
Insiden pada awal Desember
2025 memberikan ilustrasi tajam mengenai betapa mudahnya ketegangan regional
menyebar dan bagaimana Senkaku/Diaoyu berfungsi sebagai medan pertempuran
pengganti untuk isu-isu geopolitik yang lebih besar.
A. Katalisator Geopolitik: Pernyataan Sanae Takaichi (November 2025)
Ketegangan
diplomatik antara China dan Jepang meningkat tajam setelah Perdana Menteri
Jepang Sanae Takaichi menyatakan di parlemen pada 7 November 2025, bahwa
serangan hipotetis China terhadap Taiwan yang diperintah secara demokratis
dapat memicu respons militer dari Tokyo.11 Takaichi
mengaitkan potensi krisis Taiwan dengan "situasi yang mengancam
kelangsungan hidup" (survival-threatening situation) bagi Jepang.15
Pernyataan ini sangat
signifikan. Di bawah Konstitusi Pasca-Perang Jepang (Pasal 9), Angkatan Bela
Diri Jepang (SDF) secara hukum dibatasi untuk bertindak hanya dalam konteks
pertahanan diri. Mengklasifikasikan kontingensi Taiwan sebagai ancaman
kelangsungan hidup Jepang secara drastis memperluas lingkup intervensi militer
potensial Tokyo di luar perairan teritorialnya.
China merespons
pernyataan ini dengan kemarahan besar, menuntut pencabutan.15 Beijing memandang pernyataan Takaichi sebagai tantangan terhadap
tatanan internasional pascaperang yang diyakini China menegaskan Taiwan sebagai
bagian dari wilayah China. China melancarkan upaya diplomatik, termasuk surat
kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk mengungkap kontradiksi dalam posisi
keamanan Jepang dan menegaskan kembali legitimasi Deklarasi Kairo dan Proklamasi
Potsdam.15
B. Konfrontasi Maritim Desember 2025
Di tengah meningkatnya
ketegangan diplomatik atas Taiwan, konfrontasi fisik pecah di perairan sekitar
Senkaku/Diaoyu pada awal Desember 2025, melibatkan kapal patroli penjaga pantai
dari kedua negara.
Insiden ini
segera menghasilkan klaim yang bertentangan. Penjaga Pantai China mengeluarkan
pernyataan yang mengklaim bahwa kapal ikan Jepang telah "ilegal memasuki
perairan" Diaoyu dan telah diusir, sambil menegaskan kembali klaim
kedaulatan China atas pulau-pulau tersebut.11 Sebaliknya,
Penjaga Pantai Jepang menyatakan bahwa mereka mencegat dan mengusir dua kapal
Penjaga Pantai China yang mendekati kapal nelayan Jepang di perairan teritorial
yang diklaim Jepang.11
Kejadian ini menunjukkan
kaitan kausal langsung dan eksplisit antara isu Taiwan dan Senkaku. Ketika
ketegangan diplomatik China-Jepang memuncak karena pernyataan Tokyo terkait
Taiwan (isu kedaulatan yang paling sensitif bagi Beijing), China merespons dengan
meningkatkan tindakan koersif di Senkaku/Diaoyu. Dengan demikian, Senkaku
berfungsi sebagai arena retaliasi yang relatif aman, atau "katup pelepas
tekanan," di mana China dapat memproyeksikan kekuatan untuk membalas Tokyo
tanpa memicu krisis militer langsung di Selat Taiwan.
C. Risiko Kesalahpahaman (Miscalculation) yang
Meningkat
Konfrontasi
Desember 2025 menyoroti bahaya utama dari konflik yang tidak terkelola: risiko
kesalahpahaman. Dalam konteks di mana tidak ada kompromi kedaulatan yang
mungkin dan hotline komunikasi belum diterapkan 1, kedua pihak beroperasi berdasarkan klaim teritorial yang bertentangan
di lapangan.
Klaim yang
saling bertentangan mengenai siapa yang agresif dan siapa yang membela—seperti
yang terlihat dalam narasi insiden 2025 11—meningkatkan
potensi tabrakan yang tidak disengaja (inadvertent collision) di antara
kapal-kapal Penjaga Pantai. Karena China terus menggunakan taktik abu-abu
dengan mengirimkan kapal paramiliter ke perairan teritorial Jepang, garis
antara penegakan hukum dan agresi menjadi kabur. Kesalahan penilaian tunggal
oleh komandan kapal dapat dengan cepat meningkatkan insiden lokal menjadi
krisis militer yang lebih besar, terutama mengingat janji AS untuk membela
Jepang di bawah Pasal 5.
VI. Jalan Buntu Kedaulatan dan Prospek Manajemen Konflik
Konflik perbatasan
Kepulauan Senkaku/Diaoyu adalah studi kasus sempurna dari persaingan kekuatan
besar yang dibingkai oleh narasi sejarah yang tak terdamaikan. Ketidakmampuan
untuk mencapai kompromi tidak disebabkan oleh kurangnya kemampuan diplomatik,
melainkan oleh sifat absolut dari klaim kedaulatan yang dipertaruhkan.
A. Reafirmasi Kebuntuan
Analisis menegaskan bahwa
semangat kompromi gagal berakar karena:
1.
Kontradiksi
Dasar Hukum: Klaim
kedaulatan didasarkan pada dua interpretasi yang saling meniadakan dari tatanan
pasca-Perang Dunia II (SFPT vs. Deklarasi Kairo/Potsdam).
2.
Kepentingan
Ekonomi dan Geopolitik: Pulau-pulau
tersebut telah berubah menjadi aset strategis sumber daya (hidrokarbon) dan
merupakan perpanjangan dari persaingan geopolitik regional yang lebih besar
(Taiwan Nexus).
3.
Jaminan AS: Jaminan Pasal 5 yang diberikan AS terhadap
administrasi Jepang menghilangkan insentif Jepang untuk menanggalkan klaim
kedaulatan, yang pada gilirannya mendorong China untuk terus menggunakan
strategi koersif yang berisiko.
Konflik ini
telah berevolusi menjadi pertarungan zero-sum di mana kedua negara terus
mengesahkan undang-undang domestik yang menegaskan klaim mereka (misalnya, UU
Laut Teritorial China 1992 3), menjadikan penegakan
hukum maritim sebagai alat penegasan kedaulatan, dan bukan sebagai mekanisme
ketertiban sipil.
B. Rekomendasi Manajemen Konflik yang Dibekukan
Mengingat resolusi
kedaulatan tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, jalan ke depan harus fokus
pada manajemen konflik dan mitigasi risiko. Ancaman terbesar saat ini bukan
lagi pertempuran frontal, tetapi eskalasi yang tidak disengaja yang disebabkan
oleh intrusi paramiliter China yang berkelanjutan.
Untuk mencegah insiden
serupa, seperti konfrontasi Desember 2025, sangat mendesak agar kedua negara
mengalihkan fokus dari negosiasi kedaulatan (yang terbukti buntu) ke
pengaktifan kerangka kerja fungsional yang ditujukan untuk keselamatan maritim.
Ini termasuk:
1.
Implementasi
INCSEA: Perlu diimplementasikan
mekanisme manajemen krisis, seperti perjanjian "Insiden di Laut"
(INCSEA) yang telah disepakati untuk kapal perang, tetapi secara khusus
ditujukan untuk kapal penegak hukum maritim (Penjaga Pantai China dan Penjaga
Pantai Jepang).17 Protokol yang jelas untuk manuver, jarak aman, dan
komunikasi yang wajib dapat secara signifikan mengurangi risiko tabrakan yang
tidak disengaja.
2.
Pembekuan
Sengketa: Satu-satunya jalan keluar
yang realistis adalah secara informal menyetujui untuk "membekukan"
sengketa kedaulatan—mengakui bahwa klaim akan tetap ada tetapi tidak akan
secara aktif ditindaklanjuti dengan cara yang provokatif. Hal ini memungkinkan
kedua belah pihak untuk kembali ke perundingan fungsional, seperti eksplorasi
sumber daya bersama di wilayah yang jauh dari pulau-pulau inti, sambil
memisahkan manfaat ekonomi dari isu kedaulatan yang tidak dapat dinegosiasikan.6



