Jumat, 10 Oktober 2025

Pertamina Jangan Hanya Mentalitas "Bagi-bagi Subsidi"

 


Oleh  Harmen Batubara

“ Ironi Negeri Yang Kaya Energi”  Purbaya Bilang : Pertamina Malas bangun Kilang. Padahal butuh 400 ribu barrel perhari.

Kita adalah negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah. Namun, ada ironi pahit yang terus menghantui kita di sektor energi. Setiap tahun, kita menyaksikan sebuah ritual anggaran yang memprihatinkan: “pemerintah mengalokasikan subsidi BBM dan Gas yang jumlahnya fantastis, mencapai Rp 107,99 triliun pada 2025.”

Di sisi lain, kita memiliki Pertamina, perusahaan pelat merah yang seharusnya menjadi tumpuan energi bangsa. Pertamina mencatat laba bersih Rp 49,54 triliun dan memberikan kontribusi Rp 401,7 triliun kepada negara. Angka ini terlihat megah di atas kertas. Namun, mari kita bedah dengan kritis.

Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa “konsumsi BBM kita mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara kemampuan kilang Pertamina hanya 1,2 juta barel.” Artinya, kita impor sekitar 400 ribu barel BBM olahan setiap harinya. Lebih miris lagi, tanpa program penambahan kilang baru yang serius. Ini adalah bom waktu yang setiap detiknya menggerus kedaulatan energi kita.

Muncul pertanyaan mendasar: “Dari manakah sebenarnya laba Pertamina bersumber?” Apakah dari keunggulan operasional di hilir, eksplorasi dan produksi di hulu yang agresif, atau inovasi teknologi? Atau, jangan-jangan, keuntungan terbesar mereka justru datang dari mengelola arus subsidi yang disediakan negara? Jika yang terakhir yang terjadi, maka ini adalah sebuah bentuk "komersialisasi subsidi" yang tidak sehat. Pertamina untung, rakyat terbebani anggaran subsidi yang membengkak, dan kedaulatan energi kita mandek.

“Titik Balik Menuju Perusahaan Energi Kelas Dunia”

Lalu, bagaimana seharusnya wajah sebuah perusahaan energi nasional? Ia harus bertransformasi dari sekadar "pelaksana program" menjadi "penggerak kedaulatan energi". Berikut pilar-pilarnya:

1. Kemandirian di Hulu: Berburu Cadangan Baru dengan Gigih”

Perusahaan energi yang sehat harus agresif dan inovatif dalam eksplorasi. Ini membutuhkan mentalitas _risk-taker_ yang didukung oleh teknologi mutakhir dan tata kelola yang bersih. Alih-alih puas dengan ladang minyak tua, mereka harus memimpin dalam pencarian cadangan baru, baik di darat maupun laut, termasuk memanfaatkan potensi energi non-konvensional. Laba yang didapat harus di-reinvestasikan secara signifikan untuk kegiatan eksplorasi berisiko tinggi, bukan hanya untuk membiayai operasional yang ada.

2. Investasi Strategis di Hilir: Membangun Kilang sebagai Jantung Industri”

Ketergantungan pada impor BBM olahan adalah aib bagi negara kepulauan dengan potensi minyak mentah. Perusahaan energi nasional harus memprioritaskan pembangunan dan _revitalisasi kilang_. Ini bukan pilihan, tapi keharusan. Dengan meningkatkan kapasitas pengolahan, kita tidak hanya menghemat devisa, tetapi juga menciptakan rantai nilai industri yang panjang, membuka lapangan kerja, dan menekan harga keekonomian BBM.

“3. Diversifikasi dan Transisi Energi: Melompat ke Masa Depan”

Dunia bergerak menuju energi bersih. Perusahaan energi nasional tidak boleh hanya fokus pada BBM fosil. Mereka harus menjadi pionir dalam pengembangan energi terbarukan, gas bumi sebagai energi transisi, biofuel, dan bahkan hidrogen. Kontribusi terbaiknya bukan hanya uang untuk negara hari ini, tetapi memastikan bangsa ini tidak tertinggal dalam revolusi energi global.

“4. Tata Kelola yang Transparan dan Akuntabel”

Mentalitas "yang penting untung" tanpa efisiensi yang riil harus dihapuskan. Setiap Rupiah yang dihasilkan perusahaan, apalagi yang berkaitan dengan uang rakyat (subsidi), harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Tata kelola yang bersih akan menarik investor, memulihkan kepercayaan publik, dan memastikan bahwa laba yang diraih adalah laba yang sehat dan etis, bukan dari "main aman" mengelola subsidi.

“5. Orientasi pada Layanan Publik, Bukan Hanya Pencatatan Laba”

Sebagai BUMN, misi sosial Pertamina tidak boleh hilang. Namun, misi sosial itu harus diwujudkan dengan cerdas. Bukan dengan menjadi distributor subsidi pasif, tetapi dengan membangun infrastruktur energi yang terjangkau dan merata, mendidik masyarakat tentang efisiensi energi, dan memastikan distribusi yang lancar hingga ke daerah terpencil.



“Panggilan untuk Aksi dan Perubahan Regulasi”

Kekecewaan kita terhadap Pertamina hari ini bukanlah akhir. Ini adalah panggilan bagi kita semua, terutama para pembuat kebijakan, untuk mendorong transformasi fundamental.

Kita membutuhkan “regulasi yang mendorong efisiensi, inovasi, dan investasi strategis”, bukan regulasi yang memelihara status quo. Kita perlu memastikan bahwa kontribusi Rp 401,7 triliun itu adalah hasil dari kerja keras membangun kedaulatan energi, bukan semata-mata hasil dari mengelola uang subsidi rakyat.

Mari kita bayangkan sebuah Pertamina yang baru: “tangguh di hulu, mandiri di hilir, berwawasan lingkungan, dan dikelola dengan tata kelola bersih.” Perusahaan seperti inilah yang kontribusinya tidak hanya dihitung dari triliunan Rupiah untuk APBN, tetapi dari terjaminnya masa depan energi anak cucu kita.

Inilah saatnya perusahaan energi nasional kita berkembang dengan sehat, bukan sekadar tumbuh dengan mengandalkan kruk subsidi. Mari kita wujudkan bersama. Pertamina mestinya malu, jangan hanya mencari keuntungan dengan menerapkan berbagai kebijkan terkait Subsidi. Yang sudah ya sudahlah. Kini harus berbuat terbaik untuk negeri. Apalagi mengkorupsi dan mengkadali negeri.

 


Jumat, 03 Oktober 2025

Manfaat Blusukan Ala Jokowi Membangun Empati dengan Aksi Nyata

 


Oleh  Harmen Batubara

Dalam teori manajemen, kita sering terjebak pada fetisisme data: grafik pertumbuhan, laporan kuartalan, dan dashboard Pro. Semuanya penting, namun seringkali ia menjadi layer yang justru mengaburkan realitas organisasi. Di sinilah "blusukan"—sebuah tindakan impromptu untuk turun langsung—muncul bukan sebagai sekadar aktivitas, melainkan sebagai filosofi kepemimpinan yang memanusiakan hubungan.

 Bayangkan seorang Presiden yang memutuskan untuk menghabiskan waktunya bukan di ruang rapat ber-AC, tetapi di gudang logistik. Atau seorang CEO yang antre di kantin cabang, mendengar langsung keluhan tentang menu makan siang. Apa yang terjadi di momen-momen ini?

Sebagai seorang pengamat sosial, saya sering menyaksikan bagaimana dinamika kepemimpinan di masyarakat kita dipengaruhi oleh jarak antara pemimpin dan rakyatnya. 



Sebagai seorang pengamat sosial, saya sering menyaksikan bagaimana dinamika kepemimpinan di masyarakat kita dipengaruhi oleh jarak antara pemimpin dan rakyatnya. Di tengah hiruk-pikuk birokrasi dan rutinitas formal, konsep “blusukan”—kunjungan mendadak atau impromptu visit ke berbagai wilayah—muncul sebagai alat yang ampuh untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Blusukan bukan sekadar ritual politik, melainkan strategi mendalam yang memungkinkan seorang pemimpin rakyat untuk melihat langsung, berintegrasi, dan memahami kondisi serta kebutuhan warganya. Mari kita telusuri manfaatnya secara lebih rinci, yang tidak hanya memperkaya pemahaman pemimpin, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di tingkat akar rumput.

 Manfaat Blusukan Yang Jarang Dibicarakan

Pertama, blusukan memungkinkan “pengamatan langsung yang autentik”. Dalam era di mana laporan resmi sering kali disaring melalui lapisan birokrat, kunjungan mendadak ini membawa pemimpin ke medan nyata. Bayangkan seorang kepala daerah yang tiba-tiba muncul di sebuah kampung terpencil, berbincang dengan petani yang sedang berjuang melawan banjir musiman. Di sini, pemimpin tidak hanya mendengar data statistik, tetapi menyaksikan sendiri lumpur yang menempel di sepatu, air mata kelelahan di wajah warga, dan infrastruktur yang rusak. Pengalaman ini menghasilkan wawasan yang lebih tajam, bebas dari distorsi, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sasaran. Sebagai pengamat, saya melihat bagaimana blusukan seperti ini telah mengubah prioritas anggaran di beberapa daerah, dari proyek prestise ke perbaikan drainase dasar yang mendesak.

 


Kedua, blusukan mendorong “integrasi sosial yang mendalam”. Pemimpin yang blusukan tidak datang sebagai tamu kehormatan yang dijauhkan oleh barikade keamanan, melainkan sebagai bagian dari komunitas. Dengan berbaur—mengobrol di warung kopi, membantu mengangkut barang, atau bahkan ikut gotong royong—pemimpin membangun rasa kebersamaan. Ini menciptakan empati yang tulus, di mana pemimpin merasakan denyut nadi kehidupan sehari-hari warganya: dari kekhawatiran ekonomi hingga aspirasi pendidikan anak muda. Integrasi ini juga mengurangi persepsi elit versus rakyat jelata, yang sering menjadi sumber ketidakpercayaan sosial. Dalam pengamatan saya, pemimpin yang rutin blusukan cenderung memiliki dukungan massa yang lebih solid, karena warga merasa didengar dan dihargai sebagai mitra, bukan sekadar penerima bantuan.

 

Ketiga, blusukan menjadi katalisator untuk “pemahaman kebutuhan yang holistik”. Kunjungan ke berbagai area—dari perkotaan padat hingga pedesaan terisolasi—membuka mata pemimpin terhadap keragaman isu sosial. Misalnya, di wilayah urban, blusukan mungkin mengungkap masalah kemacetan dan polusi yang memengaruhi kesehatan mental; sementara di pedesaan, fokusnya pada akses air bersih atau pendidikan. Dengan melihat langsung, pemimpin dapat mengidentifikasi kebutuhan yang tak terdeteksi oleh survei formal, seperti dampak perubahan iklim terhadap mata pencaharian nelayan. Hasilnya? Kebijakan yang lebih inklusif dan adaptif, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dari perspektif sosial, ini juga memperkuat demokrasi partisipatif, di mana suara marjinal tidak lagi terpinggirkan.

 Blusukan akan Menjadi Model Berkesinambungan

Tentu saja, blusukan bukan tanpa tantangan—ia memerlukan keberanian, fleksibilitas, dan komitmen untuk bertindak pasca-kunjungan. Namun, manfaatnya jauh melebihi risikonya, terutama dalam membangun kepemimpinan yang berbasis empati dan aksi. Bagi pemimpin rakyat, blusukan adalah investasi jangka panjang untuk masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Sebagai pengamat sosial, saya yakin bahwa praktik ini, jika dilakukan dengan konsisten, dapat menjadi model bagi generasi pemimpin mendatang.