Sengketa Perbatasan  Perselisihan Yang Abadi

Sengketa Perbatasan  Perselisihan Yang Abadi

Oleh   Harmen Batubara

Menyelesaikan masalah konflik perbatasan[1] sebenarnya tidaklah susah. Tetapi yang menjadi persoalan adalah kalau kedua Negara itu memang tidak punya niat untuk membangun kerja sama yang lebih besar. Tidak punya keinginan untuk bersama-sama membangun kebersamaan di perbatasan, maka bisa dipastikan upaya untuk menemukan solusi perselisihan batas hanyalah sebuah pekerjaan yang sia-saia.Kalau persoalannya di serahkan pada Pengadilan Internasional, maka penyelesaiannya menjadi sangat mahal dengan kenyataan bisa tidak mendapatkan apa-apa. Pengalaman seperti itu kita punya dalam hal sengketa batas atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Karena itu janganlah berusaha menyelesaikan masalah perbatasan kalau kedua Negara tidak punya niat tulus bagi menjalin persahabatan yang lebih baik.

Masih ingat sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand? Sengketa wilayah perbatasan antara Kamboja dan Thailand sudah lama berlangsung, terkait masalah tersebut Pengadilan Dunia pada tahun 1962 menganugerahkan Candi Preah Vihear kepada Kamboja, tetapi tidak jelas kedaulatan atas lahan di sekitarnya. Apakah otomatis ikut Candia tau bagaimana? tidak pernah jelas diselesaikan. Pengadilan konstitusi Thailand, pada tahun 2008, memutuskan bahwa komunike bersama yang ditandatangani Noppadon dengan pihak Kamboja, yang mendukung pengajuan kepada UNESCO oleh Kamboja itu, melanggar konstitusi dan Thailand menarik lagi dukungannya. Maka ceritanya jadi lain. Masalah wilayah perbatasan di kalangan anggota Asean memang tergolong peka dan rawan serta diprediksi akan jadi batu ganjalan, termasuk kasus klaim wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia yang belum kunjung selesai.

Baca Juga : Penegasan Batas Dengan Bersahabat: 50 tahun hubungan Indonesia-Singapura

Kamboja mengajak tetangganya, Thailand, untuk membawa sengketa perbatasan kedua negara terkait wilayah Candi Preah Vihear dimasukkan ke Konferensi Tingkat Tinggi Ke-15 ASEAN di Hua Hin, Thailand, 21-25 Oktober 2009. Thailand sebelumnya juga telah mengusulkan agar ASEAN segera menghasilkan mekanisme penyelesaian sengketa, sehingga bisa segera digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan di antara sesama negara anggota ASEAN. Ajakan Kamboja itu disampaikan dalam surat diplomatik yang dikirim Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong kepada mitranya, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya, Senin (12/10/2009). ”Dalam hal ini, saya ingin mengusulkan sengketa antara Kamboja dan Thailand di wilayah sekitar Candi Preah Vihear dimasukkan ke dalam agenda KTT ASEAN di Hua Hin,” ungkap Hor Namhong waktu itu. Fokus sengketa perbatasan kedua negara ASEAN bertetangga itu adalah wilayah di sekitar candi abad ke-11, Preah Vihear. Akibat sengketa perbatasan itu, militer kedua negara terlibat baku tembak sehingga menewaskan tujuh prajurit dari kedua pihak.

Sengketa Batas –Permintaan Kamboja itu seyogianya disambut dengan baik. Di usianya yang ke-42 tahun, para pemimpin ASEAN seharusnya berani mengambil tanggung jawab untuk membicarakan pertikaian perbatasan yang terjadi di antara mereka dan membantu mencarikan jalan untuk menyelesaikannya. Sikap seakan-akan segala sesuatu di ASEAN berlangsung baik-baik saja, sudah harus ditinggalkan. Apalagi, sejak tahun 1976, ASEAN telah menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) yang merupakan code of conduct dalam menyelesaikan pertikaian di antara anggota ASEAN.

Baca Juga   : Konflik Perbatasan India-China, Adu Otot & Tidak Kenal Kompromi

Seharusnya, pertikaian perbatasan di antara negara ASEAN, termasuk pertikaian perbatasan antara Kamboja dan Thailand, diselesaikan dalam kerangka TAC. Namun, sejak ditandatangani di Bali pada tahun 1976, belum sekali pun ASEAN menggunakannya. Selama ini, negara anggota ASEAN lebih memilih untuk menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ironisnya, negara mitra dialog ASEAN dan negara sahabat justru bersemangat ikut menandatangani TAC. Sesungguhnya, pada tahun 2008, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong telah meminta ASEAN membentuk grup kontak ASEAN guna membantu menyelesaikan masalah perbatasan yang dialaminya dengan Thailand. Namun, ASEAN melalui Ketua Panitia Tetap ASEAN, yang saat ini dijabat oleh Menlu Singapura George Yeo, mendorong Kamboja agar menyelesaikan persoalan tersebut secara bilateral dengan Thailand.

Melihat tak ada kemajuan yang berarti, Kamboja berniat membawa persoalan itu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, pada waktu itu, Kamboja kembali meminta para pemimpin ASEAN membantu mencarikan penyelesaian pertikaian wilayahnya dengan Thailand. Menlu Kamboja Hor Namhong dalam pernyataannya menyebutkan, ia mendukung gagasan yang diajukan Menlu Thailand Kasit Piromya, yang isinya, ASEAN perlu mendirikan sebuah badan arbiterasi untuk membantu menyelesaikan saling klaim wilayah di dekat Candi Preah Vihear yang dibangun pada abad ke-11. ”Dalam kaitan itulah, saya mengusulkan agar pertikaian wilayah di sekitar Candi Preah Vihear dimasukkan sebagai salah satu agenda KTT ASEAN,” ujar Hor Namhong kala itu. Tetapi ternyata tetangganya Thailand malah berpikir lain.

Sengketa Batas Thailand-Kamboja[2].

Kalau kita belajar dari sejarah, maka masalah perbatasan adalah persoalan kedaulatan, tidak banyak warga yang dapat menyelesaikan masalah batas, termasuk batas antar persil atau antar rumah sekalipun, demikian juga antar batas Provinsi, antar Kabupaten dan seterusnya. Pengalaman Kemdagri selama ini, dalam penyelesaian sengketa batas menunjukkan, dari berbagai pemda yang mempunyai masalah batas, boleh dikatakan masih sanagat sedikit yang dapat diselesaikan dengan baik. Artinya, kedua belah pihak bisa menerima. Sebab perlu diingat. Apapun caranya, selama kesepakatan belum ada maka batas tidak akan pernah selesai.

Para ahli sering mengatakan, bahwa sekali perjanjian batas internasional di tanda tangani maka hasilnya tidak akan bisa di rubah kembali; kecuali keduanya bersepakat kembali ( Pasal 65, Perjanjian Internasional, PBB) tetapi nyatanya tetap saja masalahnya muncul ke perbatasan. Yakni antara pemerintah Kamboja dan Thailand terkait batas mereka di lokasi candi Preah Vihear yang dibangun pada abad ke-11. Kelihatannya bakal terus jadi masalah, kecuali kedua Negara mau duduk bersama kembali  dan mengupayakan suatu penyelesaian melalui perundingan bilateral. ”Persoalan itu jangan di internasionalisasi atau dinaikkan dalam kerangka ASEAN.” Tetapi lebih baik dirundingkan dengan kepala dingin dan mencari solusi yang pas bagi kedua negeri.

Selalu Ada Munisi Yang Memicu

Ketika persoalan batas antara Kamboja – Thailand memanas, maka pada saat yang sama juga ada langkah-langkah “propokative” yang memperkeruh suasana. Pasalnya mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra yang digulingkan justeru diangkat penjadi Penasehat Ekonomi di Kamboja. Maka lengkaplah sudah. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Minggu (8/11/2009), mengumumkan bahwa mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra akan berada di Kamboja pada pecan-pekan tersebut. Thaksin akan memulai pekerjaannya sebagai penasihat ekonomi Kamboja. ”Thaksin akan berada di Kementerian Ekonomi dan Keuangan pada 12 November untuk memberi pengarahan singkat kepada lebih dari 300 pakar ekonomi Kamboja,” kata Hun Sen dalam keterangan pers di Bandara Internasional Phnom Penh. Kedatangan Thaksin di Kamboja jelas akan meningkatkan ketegangan antara Kamboja dan Thailand. Hun Sen memicu ketegangan dengan mengumumkan penunjukan Thaksin, yang digulingkan dalam kudeta tahun 2006, sebagai penasihat ekonomi, Rabu pekan lalu. Setelah kedua negara memulangkan duta besar masing-masing, Thailand mengancam akan menutup perbatasan kedua negara. Hun Sen kemarin balik melontarkan ancaman kepada Thailand. ”Jika Anda ingin menutup (perbatasan), tutup saja. Kita sama-sama rugi. Jika Thailand ingin menutup perbatasan, Kamboja akan mengikuti. Jika Thailand menutup perbatasan, perdagangan Kamboja-Thailand akan terhenti,” kata Hun Sen.

Baca Pula : Membaca Strategi Pembangunan Perbatasan Jokowi

Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva mengatakan, langkah yang diambilnya dalam menyikapi ketegangan dengan Kamboja adalah untuk melindungi martabat negara. ”Semua yang telah dilakukan pemerintah adalah demi martabat negara dan rakyat Thailand,” kata Abhisit, sambil menambahkan bahwa rakyat Thailand menghadapi ketegangan itu dengan tenang dan hati-hati. Abhisit mengatakan, Thaksin menghadapi konflik kepentingan karena sebelumnya menjadi pemimpin negosiasi Thailand, tetapi kini bekerja bagi pihak lain.Kedua negara telah berhadapan dalam bentrokan mematikan dalam sengketa tanah di sekitar kuil kuno Preah Vihear di perbatasan sejak Juli 2008.

Mencari penyelesaian yang bisa diterima oleh kedua Negara yang berbatasan tidak akan optimal kalau kedua Negara tersebut masih mempunyai persoalan “konflik” dengan Negara tetangganya. Masalah penyelesaian perbatasan hanya akan bisa dilakukan kalau kedua Negara menginginkan adanya penyelesaian yang bisa diterima kedua belah pihak demi hubungan persahabatan yang lebih baik. Sebab kalau hanya bersandar pada UU atau Traktat saja, maka bisa dipastikan para pihak akan dengan mudah bisa menemukan kelemahannya. Traktat, dokumen serta Peta-peta nya akan bisa dimanfaatkan dengan baik, kalau kedua Negara memang mempunyai keinginan yang tulus untuk menemukan “penyelesaian batas” yang adil.

[1] Tulisan ini pernah dimuat  pada October 26th, 2009 by harmen batubara in Forum Perbatasan, Ke Indonesiaan di Wilayah Perbatasan, Perbatasan, Wilayah Perbatasan

[2] Posted on October 30th, 2009 by harmen batubara in Forum Perbatasan, Ke Indonesiaan di Wilayah Perbatasan, Masalah Wilayah Batas, Perbatasan, Wilayah Perbatasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *