Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah

Rp135,500.00

Perselisihan batas daerah telah menjadi persoalan besar dan menjadi salah satu keprihatinan Nasional. Rangkaian konflik ini telah banyak menghabiskan waktu, dana dan peluang untuk pembangunan daerah ke arah yang lebih baik lagi. Sejak era otonomi daerah (Otda) tahun 1999, jumlah daerah otonom telah bertambah sebanyak 205 buah, yakni 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Saat ini batas antar daerah yang ada berjumlah 966 segmen dan baru 15% yang telah selesai ditegaskan melalui Permendagri, selebihnya (85%) masih belum dapat ditegaskan di lapangan dengan bebagai alasan (Subowo,2013). Dari fenomena konflik batas wilayah yang demikian akut dan menyebar hampir di setiap provinsi, Adakah Solusi Yang Tepat Dan Cepat Dalam Penyelesaian Perselisihan Batas Ini? Buku ini mencoba memberikan solusi secara jernih dan sederhana.

  • Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah
  • Jumlah halaman-348 halaman
  • Cetakan ke-4
  • ISBN-978-602-1062-69-2

Perselisihan batas antar daerah telah menjadi persoalan besar dan menjadi salah satu keprihatinan Nasional. Rangkaian konflik ini telah banyak menghabiskan waktu, dana dan peluang untuk pembangunan daerah ke arah yang lebih baik lagi. Sebagai contoh perselisihan batas antara Kabupaten Musirawas dengan Musi Banyuasin yang dipicu oleh rebutan SDA di Sumur Gas Subhan 4; begitu juga antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri dalam hal memperebutkan kawah Gunung Kelud; sengketa batas wilayah antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala; rebutan pulau Lari-larian antara Sulawesi Barat dengan Kota Banjarmasin dan masih banyak lainnya.

Untuk memastikan kepemilikan batas mereka memperjuangkannya hingga ke Mahkamah Agung, sudah itu ke Mahkamah Konstitusi tapi tetap saja kepemilikan batas tidak jelas. Demikian pula dengan UU  No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 198 yang mengamanatkan “Kalau ada sengketa wilayah, Mendagri memiliki wewenang memutuskan dan keputusan itu bersifat final dan mengikat”. Tetapi ternyata juga tidak mempan. Lalu harus bagaimana lagi?  Satu hal yang banyak para pihak lupa bahwa langkah terbaik adalah cara musyawarah untuk mufakat dalam semangat dan bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dengarkan lawan yang berselisih paham apa maunya, dan temukan jalan komprominya, dan kalau sudah sepakat kemudian buat kesepakatan baru, dan kemudian adendum UU batas daerahnya. Selesai, sungguh sangat sederhana. Tapi itulah masalahnya, para pihak hanya senang meluapkan emosinya dan mau menang sendiri. Itulah persoalannya.

Biang Masalah Perselisihan Batas

Sejak era otonomi daerah (Otda) tahun 1999, jumlah daerah otonom telah bertambah sebanyak 205 buah, yakni 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Saat ini batas antar daerah yang ada berjumlah 966 segmen dan baru 15% yang telah selesai ditegaskan melalui Permendagri, selebihnya (85%) masih belum dapat ditegaskan di lapangan dengan bebagai alasan (Subowo,2013). Dari fenomena konflik batas wilayah yang demikian akut dan menyebar hampir di setiap provinsi, Adakah Solusi Yang Tepat Dan Cepat Dalam Penyelesaian Perselisihan Batas Ini?

Semua ini bermula dari Undang-undang Pembentukan Daerah (UUPD) yang tidak dilengkapi dengan Lampiran peta batas wilayah yang benar dan sesuai dengan kaidah perpetaan. Pada umumnya tidak diikuti dengan pendefinisian titik dan garis batas yang tegas di dalam peta lampiran UUPD. Peta lampiran UUPD adalah peta yang bersifat legal, artinya apa yang digambarkan pada peta tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat. Oleh sebab itu pembuatan peta lampiran UUPD seharusnya dilakukan secara cermat dan benar sesuai kaidah kartografis yang baku. Kesalahan dan tidak akuratnya peta garis batas wilayah inilah yang menimbulkan sengketa posisional antar daerah yang berbatasan (Adler,1995).

Tetapi semua ini terjadi bukan dengan sengaja, pada era sebelum otonomi daerah luas, anggapan yang ada sebelumnya, batas hanyalah sekedar tanda. Karena itu Peta yang mereka buat pada masa itu sebenarnya maksudnya juga hanya sekedar petunjuk lokasi wilayah. Bahwa wilayah Provinsi, Kabupaten atau Kota yang dibentuk itu adanya diantara wilayah lainnya, atau sekedar pembeda antara Kabupaten A dan Kabupaten B, tidak lebih. Tapi zaman berubah, era reformasi adalah era Undang-undang. Semua pihak merujuk kepada UU. Peta yang tadinya hanya dibuat seadanya, tanpa ada skala, tanpa arah utara yang jelas? Tiba-tiba berubah menjadi sangat tinggi nilainya.

Peta lampiran pada UUPDOB  mendadak berubah nilai dan merupakan petunjuk sakral yang akan dijadikan peta batas, peta penentuan luas wilayah, peta yang jadi pedoman untuk DAU. Jelas sekali, hasilnya runyam-runyam dan runyam. Peta yang tadinya dibuat oleh petugas administrasi biasa, yang bisa jadi tidak paham akan arti sebuah peta,  kini jadi bahan kajian para ahli perpetaan ternama. Ya sampai kiamat tidak akan ditemukan penyelesaiannya. Itulah yang terjadi, masalah inilah salah satu yang jadi pemicu bagaimana batas jadi sangat bermasalah.

Permasalahan yang ditemukan, banyak peta batas wilayah pada UUPD yang tidak memenuhi syarat teknis kartografis bila digunakan sebagai dasar dalam penegasan batas daerah. Persyaratan teknis tersebut meliputi : adanya skala, datum geodetik, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Penelitian  yang telah dilakukan terhadap peta batas wilayah pada UUPD periode 1990-2003, 68 % tidak mencantumkan skala. Tidak adanya  skala maka peta batas wilayah tersebut tidak dapat digunakan untuk analisis spasial seperti mengukur panjang segmen batas atau luas wilayah.

Hal lain yang juga cukup menarik untuk dicermati adalah pedoman yang jadi dasar pelaksanaan penegasan batas itu sendiri. Selama ini yang dijadikan solusi adalah dengan mempedomani Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, yakni penegasan batas yang dititik beratkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti di lapangan, yakni dengan melakukan pengecekan dan pengukuran langsung di lapangan. Metode ini ternyata memerlukan dana yang besar dan waktu yang lama. Oleh sebab itu Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kurang mendukung dalam proses percepatan penegasan batas daerah, sehingga kemudian pada bulan Desember 2012 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijakan mengganti Permendari No.1 tahun 2006  dengan Permendagri  yang baru yaitu Permendagri No.76 tahun 2012.

Salah satu perubahan yang mendasar dan innovative pada Permendagri No.76 tahun 2012 adalah bahwa penegasan batas daerah untuk penentuan koordinat titik-titik batas tidak harus selalu dilakukan dengan metode survei di lapangan, namun dapat ditentukan secara KARTOMETRIK di atas PETA DASAR serta citra satelit yang dioleh jadi peta tiga dimensi. Metode kartometrik ini adalah pemanfaatan teknologi survei dan pemetaan masa kini, yang dapat menghadirkan Kondisi real di lapangan ke ruang rapat.

Dengan metode Kartometrik ini  jelas dapat mengurangi kegiatan survei di lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama terutama pada kondisi medan yang sulit dijangkau karena hambatan alam itu sendiri, menjadikan pekerjaan penegasan batas secara teknis dapat dilakukan dalam waktu yang jauh lebih singkat tanpa mengurangi akurasi yang dibutuhkan. Dengan peta RBI yang dipadukan dengan data Quickbird misalnya, kita dapat melihat batas itu secara tiga dimensi dengan ketelitian sampai 2.5 meter. Boleh dikatakan secara teknis penegasan batas jadi mudah dan menyenangkan.

Reviews

There are no reviews yet.

Only logged in customers who have purchased this product may leave a review.