PLBN & Sarana Prasarana Ekspor Impor Intenasional

Oleh harmen batubara

Secara geografis Indonesia merupakan Negara terbesar ke lima di dunia yang menghubungkan dua benua (Asia-Australia) dan dua samudra ( Hindia dan Pasifik) merupakan jantung perdagangan di belahan dunia timur. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara sahabat yaitu India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepu lauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan dua belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.

bisnis di perbatasan
bisnis di perbatasan

Sebagai negara Kepulauan Indonesia wajib memberikan jaminan bahwa wilayah lautnya sebagai wilayah yang aman untuk dilewati oleh masyarakat internasional; baik itu untuk maksud damai maupun hanya untuk sekedar lewat dengan segala persyaratan dan konsekwensinya. Itu artinya Indonesia harus mampu mengamankan jalur laut dan sumber daya lautnya. Diantaranya harus mampu mengamankan jalur di 12 laut yang ada di Indonesia. Harus mampu menguasai titik-titik strategis yang meliputi choke points Selat Malaka dan 39 selat lainnya. Jalur strategis sebagai pendukung kepentingan perdagangan, pergerakan sumber daya energi dan makanan (sea lanes of trade/ SLOT) serta merupakan jalur supra strategis militer (sealanes of communi cations/SLOC).

Sayang sekali negara kepulauan yang demikian strategis itu, ternyata belum mampu membuka diri dan menjadi pelaku dan mendukung kepentingan perdagangan internasional, khususnya dalam bidang ekonomi perdagangan. Bayangkan hingga saat ini, ekspor atau impor di kawasan tengah dan timur Indonesia semuanya masih harus dilakukan melalui pelabuhan di Jakarta, Surabaya, atau Semarang. Misalnya kalau ada para pebisnis CPO Kelapa sawit yang akan mengekspor hasilnya keluar negeri mereka harus mengurusnya ke Jawa. Bayangkan berapa besarnya biaya yang akan jadi beban tambahan para pebisnis seperti mereka, kalau mereka berbisnis di Sumatera sebelah barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Suatu ironi yang amat sangat.

Baca   Juga    :  Toko Perbatasan, Jadikan Produk Indonesia Unggul di Perbatasan

Kalau hal ini kita kaitkan dengan pembangunan PLBN di wilayah perbatasan, nampaknya memang polanya masih ikut pola lama. Kita tahu, PLBN Tipe A, yaitu gerbang lintas batas negara yang dilengkapi dengan CIQ dan status keimigrasianya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi, dimana pagi para pelintas batas diwajibkan menggunakan dokumen paspor atau pas lintas batas bagi penduduk kecamatan perbatasan. Tapi apakah mereka mempunyai otoritas dalam hal ekspor-impor? Kayaknya masih sangat jauh dari itu.

PLBN kita itu masih bagian dari kepentingan dalam negeri sendiri. Misalnya kalau ada para eksportis di Kalimantan yang mau ekspor, maka jelas PLBN Entikong nggak bisa berbuat apa-apa. Mereka harus mengurusnya ke Jakarta atau bergantung sepenuhnya pada negara tetangga, yakni lewat Tebedu Inland Port yang berjarak 1.5 km dari PLBN Entikong. Dalam hati kita ada pertanyaan, apakah dari awal para desainernya PLBN ini tidak berpikir sampai disana ya? Atau malah mereka tidak pernah berpikir sampai di sana?

Sarawak Malaysia Sudah Mewujudkannya Sejak Tahun 2011  

Tebedu, Sarawak (juga dikenal sebagai Tepedu) adalah sebuah kota perbatasan di Kabupaten Serian barat daya Sarawak, Malaysia, di perbatasan Malaysia-Indonesia. Itu terletak ± 1.5  km dari Entikong. Tebedu berada di tanah perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Hal ini terletak di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kuching, Sarawak, dan Pontianak, Kalimantan Barat. Pada tahun 2010, MATRADE Sarawak Direktur Omar Mohd Salleh menyatakan bahwa lebih dari 90% perdagangan ekspor Sarawak melewati Sungai Tujoh (di perbatasan dengan Brunei) atau melalui Tebedu. Sekarang Tebedu sudah jadi bagian kawasan pelabuhan Darat Kota Kuching ( Ibu Kota Sarawak). Terminal Darat pertama dan di perbatasan RI-Malaysia- Sarawak. Di bawah yurisdiksi Otoritas Pelabuhan Kuching, dioperasikan dan dikelola oleh SM Inland Pelabuhan Sdn Bhd, operator pelabuhan yang disetujui dan ditunjuk oleh Pemerintah Sarawak pada tahun 2004.

Tujuannya Pemerintah Negara Sarawak dalam pembentukan Tebedu Inland Port adalah untuk memantau, mengatur dan mengontrol pergerakan barang dalam rangka memfasilitasi dan meningkatkan perdagangan lintas batas. Inisiatif ini dalam hubungannya dengan perkembangan Tebedu Industrial Estate dan Bandar Mutiara, New Tebedu Township akan memiliki efek sinergis dan multiplier efek dalam pembangunan ekonomi regional di wilayah perbatasan, yang memungkinkan warga Kalimantan Barat, Indonesia dan Sarawak untuk berbagi dalam kemakmuran.

Tebedu Inland Port dan Terminal Peti Kemas, Kuching adalah jalan cerdas mensinergikan Kawasan Industri Tebedu dengan berbagai wilayah disekitarnya untuk dapat mengimpor bahan dari atau mengekspor produk mereka ke pasar internasional.Pelabuhan darat Tebedu, Sarawak, Malaysia, ditargetkan menjadi penghubung bagi daerah pedalaman di Kalimantan untuk dapat mengakses pasar internasional di Singapura, China, Hongkong, Jepang, Korea dan pelabuhan-pelabuhan utama lain di dunia. Dengan demikian daerah-daerah sekitarnya itu akan mampu merambah pasar internasional, sehingga mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat. Dengan adanya perusahaan operator pelabuhan darat Tebedu atau TIP yang berlokasi sekitar 1.5 km dari pos lintas perbatasan Entikong-Tebedu dan sekitar 370 km dari Pontianak serta 100 km dari Senari Container Terminal, jelas memiliki lokasi strategis. Dengan demikian akan mampu memfasilitasi pergerakan kargo dari Sarawak ke Kalimantan Barat atau sebaliknya.

Baca   Juga   :  Sinergi Bersama Mengikis Kekuatan Separatisme

Hal itulah yang juga alasan Pemerintah Malaysia meminta agar Indonesia membuka kembali perdagangan ekspor-impor di perbatasan Entikong, Kalimantan Barat, dengan Tebedu, Serawak, Malaysia, pasca ditutup pertengahan 2014. Malaysia berharap perbatasan itu bisa menjadi pelabuhan darat atau pintu masuk resmi ekspor-impor. Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi, kepada Kompas, Kamis (23/4/2015), mengatakan, permintaan itu disampaikan Menteri Perdagangan Internasional dan Perindustrian Malaysia Mustapa Mohamed. Malaysia ingin komoditas ekspor, seperti elektronik dan obat-obatan, bisa kembali diperdagangkan lintas batas.

Bachrul menambahkan, Pemerintah Indonesia menutup perdagangan ekspor-impor di perbatasan itu karena banyak komoditas yang masuk tanpa disertai persyaratan impor. Saat ini, pemerintah kedua belah pihak hanya memperbolehkan perdagangan delapan kebutuhan pokok dengan nilai transaksi maksimal 600 ringgit Malaysia (RM) per bulan. Dalam konferensi pers tersebut , Mustapa Mohamed menyatakan, Malaysia meminta Indonesia menghidupkan lagi perdagangan di Entikong-Tebedu. Menurut mereka perdagangan itu penting mengingat Indonesia dan Malaysia akan memasuki perdagangan bebas era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 1 Januari 2016. “Kita adalah satu komunitas. Kami berharap ada visi yang sama dalam kerja sama perdagangan. Kami siap duduk bersama mencari jalan yang menguntungkan kedua belah pihak dengan saling menghormati hukum yang berlaku,” ujarnya. Berdasarkan data Pemerintah Malaysia, perdagangan di perbatasan Entikong-Tebedu turun drastis. Pada 2014, nilai perdagangan itu sebesar 395 juta RM dan pada 2013 sebesar 713 juta RM. Adapun pada Januari-Maret 2015 sebesar 27 juta RM. “Kami belum memutuskan apakah perdagangan di perbatasan itu akan dibuka kembali atau tidak. Kami akan membahasnya bersama sejumlah kementerian terkait di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” katanya.

Memperkuat PLBN Dengan Jadi Pintu Ekspor – Impor

Kita tahu, pemerintah kini tengah membangun simbol simbol kedaulatan Negara berupa pembagunan kembali 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Adapun ke 7 PLBN yang saat ini tengah dikerjakan yaitu PLBN Motaain, Motamasin, dan Wini di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian di Kalimantan Barat ada Aruk, Nanga Badau dan Entikong, dan di Papua ada di Skouw. Sebenarnya ke 7 PLBN tersebut sebelumnya sudah ada namun dianggap tidak layak sehingga diratakan dan kemudian dibangun baru.Selain 7 PLBN yang sedang dalam proses pembangunan ulang, ada tambahan 2 PLBN lagi yang akan diperbaiki yaitu PLBN Oupoli dan Waris yang masih dalam tahap Pra Design. Membangun Infrastruktur di perbatasan dimulai dari sekitar PLBN yakni infrastruktur yang bisa mempercepat pengembangan Kawasan Perbatasan, seperti pasar, perumahan, dll.

Jelasnya demikian : Untuk setiap pembangunan PLBN pada tahap pertama yang dibangun adalah bangunan utama, pos lintas kendaraan pemeriksaan, bangunan pemeriksaan kargo, bangunan utilitas (rumah pompa & power house), monumen, gerbang kedatangan dan keberangkatan, sarana jalan pendukung, lansekap dan jalur pedestrian yang selanjutnya disebut dengan zona inti. Kemudian akan dibangun di zona sub inti dan zona pendukung yaitu area parkir, bangunan kantor PLBN, mess pegawai, klinik, pasar tematik, food court dan rest area, wisma Indonesia dan Masjid.

PLBN ke depan mestinya adalah bagian dari fasilitas pelabuhan dan Airport yang terintegrasi  serta mampu dan memiliki otoritas pelaksana dalam bidang ekspor dan impor. Kalau kita melihat pembangunan Indonesia selama ini memang terlalu “jawa sentris”; tetapi bisa jadi hal itu karena menyangkut pada visi dari pemegang otoritas, yang terkesan sangat tidak terbuka untuk pengelolaan pasar internasional. Suatu hal yang bertolak belakang dengan letak strategis kita sebagai negara kepulauan, serta kebutuhan nyata yang ada sekarang. Fakta menginginkan agar sarana dan fasilitas seperti itu, harus ada dan tersebar di seluruh kepulauan nusantara demi meningkatkan efisiensi dan kompetisi itu sendiri. Kita berharap PLBN fungsinya jangan hanya seperti pos jaga biasa yang diembel-embel Internasional. Maksudnya. Apa maknanya kita punya PLBN tetapi ternyata tidak punya sarana dan fasilitas untuk ekspor dan impor. Sementara negara tetangga kita sudah membangun dan mempersiapkannya lima tahun yang lalu. Kita memang selalu saja terlambat dalam berpikir, kita hanya peka dengan bangunan tetapi lemah pada fungsinya. Harapan kita, jangan sampai nantinya PLBN kita itu megah terlihat secara fisik, tetapi ternyata nggak punya fungsi yang bermakna atau malah hanya menjadi pemasok bagi kepentingan perdagangan negara tetangga. Barang, kita yang punya tapi untung dan nama baik tetangga yang dapat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *