Oleh : Harmen Batubara
Batas Negara mempertegas batas-batas SOVEREIGNTY OF STATE[1] suatu negara. Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama Yakni Pemegang Kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan Kedaulatan Negara ditandai dengan adanya Teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Sejak kesepakatan pemulihan hubungan – normalisasi Indonesia – Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966, kedua Negara berusaha mengembangkan kerjasama saling menguntungkan diberbagai lapangan tanpa mengurangi kedaulatan masing-masing. Pada waktu itu kegiatan kerjasama keamanan diperbatasan kedua negara dispusatkan pada penumpasan gangguan separatis PGRS / PARAKU diperbatasan Kalimantan – Sarawak.
Maka ditanda tanganilah dokumen pengaturan dalam bidang Keamanan didaerah perbatasan antara kedua negara pada tanggal, 6 April 1972 (Security Arrengement SA 1972) di Kuala Lumpur, maka dibentuk panitia umum perbatasan yang disebut GBC MALINDO (General Border Committee Malaysia – Indonesia). GBC Malindo merupakan badan tertinggi dibidang kerjasama keamanan di perbatasan darat, laut dan udara. Pada tahun 1975 kedua mengara melakukan penegasan kembali perbatasan antara kedua Negara sedara bersama.
Baca Juga : Tol Laut Dalam Pengembangan Ekonomi Perbatasan
Secara administratip wilayah perbatasan darat Indonesia-Malaysia melintasi atau melewati 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten di Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan (2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km. Kalimantan Barat juga terhubung secara langsung dengan negara tetangga melalui jalan darat. Jalan darat tersebut menghubungkan Kota Pontianak-Entikong-Tebedu-Kuching-Sarawak, Malaysia dengan panjang jalan sekitar 400 km yang dapat ditempuh melalui perjalanan darat dengan lama waktu sekitar 6 sampai dengan 8 jam. Hal yang menonjol dalam persoalan perbatasan adalah adanya penyelunsupan. Penyeludupan bisa terjadi lewat PLNB resmi dan juga bisa lewat jalur-jalur jalan tikus (tipe C) yang memang banyak terdapat disepenjang perbatasan.
Barang selundupan itu bisa bermacam-macam mulai dari 9 bahan pokok, mesin-mesin, mobil mewah dan obat-obatan. Barang-barang itu misalnya Obat-obatan Ilegal itu datang dari luar, belum mendapat izin dari BPOM atau izin edar lainnya. Sebelum dikirim ke Indonesia, barang-barang ilegal ini lebih dulu masuk ke wilayah Malaysia melalui pelabuhan Pasir Gudang Johor. Kemudian barang-barang tersebut dikirim ke Pelabuhan Kuching Serawak.Selanjutnya, barang tersebut dibawa menggunakan truk ke perbatasan wilayah Indonesia untuk diselundupkan melalui jalan darat ke wilayah Jagoi Babang, Kalimantan Barat. Setelah itu, barang selundupan tersebut kemudian diangkut menggunakan truk besar dari Pontianak melalui pelabuhan Dwikora. Lalu dikirim menggunakan kapal angkut dan masuk ke pelabuhan Tegar Marunda Center Kabupaten Bekasi, Jakarta.
Perbatasan di Wilayah perairan Indonesia memiliki potensi sengketa/konflik batas maritim dengan 10 negara tetangga. Batas maritim yang menjadi pembahasan antara Indonesia dengan negara tetangga adalah batas Laut Teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen. Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di perbatasan dan kawasan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, antara lain : belum adanya batas yang disepakati, belum tuntasnya proses perundingan batasnya, dan adanya kesalahan penafsiran terhadap batas yang sudah disepakati[2]. Dari seluruh batas wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Baik perbatasan darat, begitu juga dengan batas lautnya. Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia mencakup semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen. Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, yang belum disepakati masih tersisa 20 persen, yaitu sepanjang hampir 50 mil laut atau 92,6 kilometer.
Di bagian barat, daerah ”yang belum jelas ” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh[3] di timur Singapura. Di perairan Kalimantan batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk yang berhadapan dengan Laut China Selatan dan di Pulau Sebatik di Laut Sulawesi. Landas Kontinen yang sudah disepakati mencapai lebih dari 95 persen, atau masih menyisakan batas 5 % atau berjarak kurang dari 100 mil atau 185,2 kilometer, yaitu di Ambalat Laut Sulawesi. Namun, hingga kini Zona Ekonomi Eksklusif di perbatasan kedua negara belum ada satu pun yang disepakati. Padahal, kawasan ini memiliki arti penting bagi aspek ekonomi karena Zona Ekonomi Eksklusif mengandung potensi perikanan dan nilai strategis dari aspek transportasi laut.
Pengamanan Perbatasan
Hingga saat ini pengamanan wilayah perbatasan, baik laut maupun darat, masih menjadi permasalahan yang belum dapat terselesaikan secara tuntas. Secara geografis, wilayah kedaulatan NKRI merupakan kawasan yang cukup strategis dan merupakan Negara Besar yang berbatasan langsung dengan tiga Negara untuk batas negara darat, 10 negara untuk batas negara laut, memiliki 3.151 KM panjang perbatasan Darat. Untuk batas laut wilayah Indonesia memiliki panjang garis pantai ± 99.093 KM dan berbatas laut teritorial dengan empat negara yaitu Malaysia, Republic Democratic Timor Leste (RDTL), Papua New Guinea (PNG) dan Singapura. Sedangkan secara Yuridiksi batas laut Indonesai berbatasan dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, RDTL, PNG dan Australia.
Rasio Pengamanan Batas Darat Wilayah Perbatasan Negara saat ini masih belum maksimal dibandingkan Panjang wilayah perbatasan NKRI, yakni 3.151 KM untuk wilayah Darat dan 99.093 KM panjang Garis Pantai. Dari data yang disampaikan oleh Satgas OPS. PAMTAS Yonif Raider 641/BRU tahun 2019, di perbatasan RI-Malaysia di wilayah Kalimantan Barat terdapat 60 titik perlintasan ilegal[4]
Baca Pula : Jalan Trans Jokowi Papua Jaya Pura Wamena dan PLBN Skow
Dengan kondisi sarana prasana di perbatasan yang masih terbatas serta jumlah petugas dan aparat pengamanan yang jauh dari memadai, ditambah lagi dengan tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat kawasan perbatasan yang masih rendah, sangat berkontribusi besar pada maraknya tindakan perlintasan secara ilegal termasuk didalamnya adalah tindak kejahatan transnasional. Untuk itu, pengelolaan pengamanan perbatasan kini tengah digalakkan penerapan sistem SMART BORDER yang terbagi atas soft border dan hard border. Penerapan softborder[5] saat ini telah di lakukan di 7 (tujuh) Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu yang menerapkan pola keterpaduan pengawasan dan pelayanan lintas batas negara dalam satu manajemen pengelolaan Pos Lintas Batas Negara Terpadu yang dikoordinir oleh BNPP. “Dengan Keterpaduan palaksanaan pemeriksaan dan layanan lintas batas negara yang dikoordinasikan oleh Unit Pengelola PLBN, mampu menghadirkan rasa aman, nyaman dan ramah investasi bagi pelintas maupun pelaku usaha khususnya di kawasan Perbatasan negara,” pungkasnya.
Menteri Tito menambahkan penerapan softborder ini juga akan terus dikembangkan seiring dengan di bangunnya kembali 11 PLBN sebagaimana amanat dari Inpres Nomor 1 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 PLBN dan Sarana Prasarana Penunjang di Perbatasan yang ditargetkan pembangunannya selesai pada akhir tahun 2021. Sementara untuk penerapan hardborder di batas wilayah negara akan disinergikan dengan kegiatan Pos Pamtas yang ada saat ini, terdapat 113 Pos Pamtas di wilayah Kalimantan, 41 Pos Pamtas di Wilayah NTT dan 101 Pos Pamtas di Wilayah Papua serta 75 Pos Pengamanan di Wilayah Laut teritorial NKRI.
Keterlibatan TNI di perbatasan sebenarnya tidak lepas dari proses awal penegasan Batas Negara itu sendiri. Yakni kesepakatan pengaturan dalam bidang Keamanan didaerah perbatasan antara kedua negara pada tanggal, 6 April 1972 (Security Arrengement SA 1972) di Kuala Lumpur, yang kemudian membentuk panitia umum perbatasan yang disebut GBC MALINDO (General Border Committee Malaysia – Indonesia). GBC Malindo merupakan badan tertinggi dibidang kerjasama keamanan di perbatasan darat, laut dan udara. Dengan demikian keterlibatan TNI selain dari amanat UU juga karena kesepatakan Pengamanan Batas kedua Negara.
[1] Hamid Awaluddin Mantan Duta Besar RI Di Rusia Dan Belarus (Sumber : Kompas, 26 Januari 2016)
[2] Problematika Batas Maritim Indonesia ditinjau dari Aspek Teknis dan Hukum, Makalah utama pada Simposium Nasional Geomatika di ITS 2010, 18 Maret 2010.
[3] Pada tanggal 23 Mei 2008 International Court of Justice ( ICJ) telah memutuskan kasus sengketa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh, Middle Rocks dan South Ledge antara Malaysia dan Singapura, dengan rincian sebagai berikut : Bahwa kedaulatan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Puteh adalah milik Republik Singapura. Bahwa kedaulatan atas Middle Rocks adalah milik Malaysia.
Bahwa kedaulatan atas South Ledge “belongs to the State in the territorial waters of which it is located” Komplikasi garis batas menjadi semakin bertambah karena terdapat LTE South Ledge. “Pemilik” laut territorial di kawasan South Ledge berarti memiliki kedaulatan atas LTE tersebut. Dalam hal ini, meskipun Mahkamah “hanya” menyebutkan overlapping territorial waters Malaysia dan Singapura, namun perairan tersebut juga terletak dalam jarak 12 mil laut dari baselines Indonesia. Secara yuridis ketiga negara memiliki peluang yang sama untuk “memiliki” South Ledge, dan keputusannya akan tergantung konfigurasi garis batas berdasarkan perundingan.
[4] Hal itu dikatakan Oleh Menteri Tito dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara (Rakornas Pamtas) Tahun 2020 di Hotel Pullman Central Park Podomoro City, Jakarta Barat, Rabu (11/3/2020).
[5] https://indonews.id/artikel/27981/Menteri-Tito-Perlu-Sistem-Smart-Border-dalam-Pengelolaan-Pengamanan-Perbatasan/