Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan.

Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan.

Oleh  Harmen Batubara.

Konflik laut china selatan sebenarnya adalah konflik yang timbul karena adanya pergeseran Kendali atas wilayah dan kepentingan nasional para pihak. Khususnya terkait dengan adanya pergeseran kendali dari Regional ke kekuatan Baru di Kawasan serta keberadaan sumber daya alam berupa Gas dan Ikan di wilayah itu. Sebelum China mulai cawi-cawi di kawasan itu. Semuanya berjalan dengan lancar dan para pihak dapat bernavigasi dengan bebas dan aman. Tetapi ketika China mulai membangun pangkalannya di Spratly dan Paracel serta melarang orang lain mencari ikan di kawasan maka para pihak mulai terusik.

Peluang Konflik dan Kolaborasi di Laut China Selatan.
Peluang Konflik dan Kolaborasi di Laut China Selatan.

Secara sederhana konflik ini bisa ditelusuri sejak terjadinya Perang Saudara China (1945-1949) akibat perebutan wilayah antara Nasionalis Kuomintang dengan Komunis. Kuomintang di bawah Chiang Kai-shek (ROC, Republic Of China) dan Komunis pimpinan Mao Zedong (RRT) bersaing mengendalikan sumber daya vital dan pusat populasi di China utara dan Manchuria. Pada tahun 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu.  Pada tahun 1947 pemerintah Republik Tiongkok (ROC) yang dipimpin oleh Kuomintang (KMT) menerbitkan Peta Tahun 1947. Secara logika Peta ini diyakini sebagai antisipasi atas penyerahan Jepang dan mengamankan kedaulatan wilayahnya sesuai persepsi mereka.

Memaknai Peluang Konflik danKolaborasi di Laut China Selatan.

Peta tahun 1947 ini  mencakup sebelas dan kemudian jadi sembilan garis putus-putus yang mengindikasikan  klaim teritorial Tiongkok.  Cara seperti ini lumrah dilakukan oleh Negara untuk memastikan wilayah Kedaulatannya di kawasan tertentu. Peluncuran Peta Baru bisa juga dikatakan sebagai Deklarasi atas wilayah kekuasaannya. Kalau ada yang berkeberatan silahkan protes dan sebaliknya kalau tidak ada, maka Peta itu dianggap sah dan berlaku.

Sejauh menyangkut Tiongkok, klaimnya atas Laut Cina Selatan menurut mereka dapat ditelusuri sejak berabad-abad yang lalu dan diwujudkan dalam sembilan garis putus-putus. Al Jazeera  dalam laporannya mengungkapkan, pelayaran melalui Laut Cina Selatan dimulai pada abad kedua, pada masa Dinasti Han, ketika kaisar mengirimkan penjelajah dan pejabat pemerintah untuk menyelidiki wilayah lain di Asia.

Baca   Juga :  Sengketa Perbatasan  Kamboja DanThailand.

Pada masa Dinasti Song, Tiongkok menyatakan bahwa merekalah yang menamai dan mengeklaim wilayah di rangkaian pulau yang mereka sebut Nansha (Kepulauan Spratly) dan Xisha (Kepulauan Paracel). Kegiatan perdagangan juga membawa penjelajah Tiongkok lebih jauh ke laut dan perairan Asia Tenggara, termasuk Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, yang sebagian besar terkenal di bawah Laksamana Zheng He pada masa Dinasti Ming.

Beijing bersikeras bahwa catatan sejarahnya menunjukkan dinasti Tiongkok yang berkuasa saat itu menikmati kendali penuh atas perairan tersebut selama berabad-abad. Namun, kedatangan penjelajah Barat dan kebangkitan Dinasti Nguyen Vietnam pada abad ke-19 menantang klaim Tiongkok atas kendali maritim Asia Tenggara.

Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan Selalu Ada Pilihan.

Pada akhir tahun 1970-an, Laut Cina Selatan telah menjadi salah satu jalur perdagangan paling menonjol di dunia, hampir 65 persen perdagangan Dunia melalui Jalur ini. Dan yang lebih menarik lagi ternayata negara-negara Asia Tenggara menemukan adanya cadangan minyak dan gas yang berpotensi besar di kawasan ini. Menurut para pengamat dan pemerhati, “…diperkirakan terdapat 11 miliar barel minyak yang belum dimanfaatkan dan 190 triliun kaki kubik gas alam,  yang membuat negara-negara penggugat lain seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam menjadi lebih tertarik lagi.”

Tiongkok secara konsisten memperkuat Klaimnya atas wilayah tersebut. Misalnya, dalam catatan akhir arsip PBB: “Pada tanggal 12 Juni 1985, Sekretaris Jenderal menerima komunikasi dari Pemerintah Tiongkok: Yang mengatakan bahwa  ‘Kepulauan Kalayaan adalah bagian dari Kepulauan Nansha [Spratly], yang selalu menjadi wilayah Tiongkok. Pemerintah Tiongkok telah menyatakan dalam banyak kesempatan bahwa Tiongkok memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Kepulauan Nansha dan perairan serta sumber daya di sekitarnya.’”

Memilih Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan.

Bahkan tidak hanya sekedar Nota. Tiongkok juga melakukan lebih dari sekadar mengirimkan nota diplomatik. “Pada tahun 1970-an dan 1980-an. Tiongkok mengambil alih kendali atas sebagian besar Kepulauan Paracel di LCS utara [Laut Cina Selatan] dan Johnson South Reef di Kepulauan Spratly di kuadran tenggara LCS. Keduanya berada di ZEE Vietnam,” tulis Departemen Pertahanan Amerika . Bahkan pada tahun 1974 dan 1988 ke dua Negara terlibat perang dalam perebutan kendali atas pulau-pulau di kawasan tersebut.

Kalau kita sederhanakan dengan apa yang terjadi dengan konflik Laut China Selatan sesungguhnya adalah persoalan Pergeseran Kendali dan Kepentingan Nasional dari Negara-negara pengklaim. Masing-masing pihak ingin mengamankan kepentingan Nasionalnya. Hal seperti itu adalah sesuatu yang sangat mendasar dan harus diterima sebagai bagian dari akal sehat. Jadi yang perlu dilakukan adalah meletakkan persoalan ini pada proporsi yang sederhana.

Baca Juga : Penyelesaian Perselisihan batas laut Indonesia-Malaysia.

Yang perlu di ingat adalah jangan sampai di kawasan ini muncul suatu pangkalan militer yang akan mengontrol secara paksa atas kegiatan bernavigasi di kawasan ini. Soal kepemilikan bukan jadi masalah tetapi soal kontrol beda lagi.  Yang perlu mereka lakukan adalah perundingan langsung antar Negara para pihak yang berkepentingan. Mereka bebas mencari kesepakatan tentang UU atau Perjanjian mana yang mereka sepakat untuk memakainya. Mereka bebas untuk menetapkan Peta mana yang mereka jadikan sebagai rujukan.

Mencermati Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan.

Mereka bebas menetukan Metode Apa yang mereka pergunakan dalam hal menarik “garis batas” yang mereka sepakati. Tentu masing-masing Negara akan mengajukan persyaratan-persaratan  sesuai keyakinan mereka. Keyakinan yang akan memudahkan mereka untuk menang. Wajar sekali. Tetapi kalau ada ketidak cocokan maka keduanya harus dapat mencari persaratan yang mereka bisa cocok. Bisa menerimanya. Sederhana sekali.

Lalu bagaimana dengan yang sudah terjadi sekarang? Dimana pihak Filipina membawa masalah ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional. Terlebih lagi sudah ada keputusan  pada 12 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase menolak klaim maritim RRC dan mengatakan RRC tidak memiliki landasan dalam hukum internasional. Sesuai dengan Konvensi, keputusan Mahkamah Arbitrase adalah final dan mengikat secara hukum bagi kedua belah pihak. Posisi Amerika Serikat  menyelaraskan posisinya sesuai dengan keputusan tersebut dan menolak  klaim maritim  RRC di Laut China Selatan.

Peluang Konflik danKolaborasi Selalu Jadi Pembeda.

RRC tidak bisa memaksakan klaim maritim termasuk klaim atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berasal dari Scarborough Reef. Dan Kepulauan Spratly berhadapan dengan Filipina di wilayah yang diputuskan oleh Mahakamah.  Sebagai bagian dari ZEE Filipina atau batas landas kontinennya. Intimidasi Beijing terhadap perikanan Filipina dan pengembangan energi lepas pantai di wilayah tersebut tidak bisa dibenarkan secara hukum. Seperti halnya tindakan sepihak RRC lainnya mengeksploitasi sumber yang ada. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Arbitrase yang bersifat mengikat, RRC tidak memiliki klaim maritim maupun teritorial atas Mischief Reef ataupun Second Thomas Shoal. Yang keduanya berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi Filipina. RRC juga tidak memiliki klaim teritorial maupun martim yang timbul dari dua unsur tersebut.  Hal inilah yang saya bahas dalam buku ini. Sesuai dengan pengalaman saya terkait perbatasan ada banyak cara yang bisa di erabolasi untuk menemukan solusi yang paling realistis baik dalam berkonflik atau berkolaborasi…..semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *