Jalan Paralel Perbatasan: Membuka Isolasi & Memperkuat Ekonomi

Jalan Paralel Perbatasan: Membuka Isolasi & Memperkuat Ekonomi

Oleh harmen batubara

Jalan paralel perbatasan Kalimantan – Malaysia sepanjang 1.920 km. Daerah Kalbar memiliki panjang 811.32 km yang  terbagi menjadi dua yakni 607.81 km berstatus jalan NON NASIONAL dan 203.51 km JALAN NASIONAL. Pada bulan Juli 2020, jalan paralel sepanjang 811.32 km tersebut telah tembus seluruhnya dari Temajok hingga Batas Provinsi Kalbar/Kaltim. Untuk daerah Kaltara dari 1.920 km jalan paralel perbatasan di Kalimantan, yang berada di Provinsi Kaltara sepanjang 824 km dan Kaltim sepanjang 244 km. Jalan tersebut sudah bisa tersambung dan fungsional pada akhir 2019 dengan kondisi sebagian beraspal, sebagian perkerasan agregat, dan perkerasan tanah. Rata-rata seluruh jalan memiliki lebar minimal 6 meter dan ruang milik jalan (Rumija) antara 15 – 25 meter. Dari seluruh jalan yang telah tembus, saat ini kondisinya sudah teraspal sepanjang 318,89 Km (39.30%), lapisan agregat sepanjang 195.96 km (24.15%), dan masih berupa perkerasan tanah 296.47 km (36.54%).

alan Paralel Perbatasan Membuka Peluang Bisnis di Perbatasan
Jalan Paralel Perbatasan Membuka Peluang Bisnis di Perbatasan

“Saat ini sudah ada pergerakan menuju tempat wisata Temajok, kalau sebelumnya warga Indonesia yang ke wilayah Malaysia, sekarang warga Malaysia  banyak yang ke wilayah Indonesia. Dulu warga Indonesia di perbatasan biasanya berhari – hari jalan kaki dan naik motor belanja ke wilayah Malaysia, sekarang sudah belanja ke ibu kota kecamatan atau desa terdekat karena sudah banyak toko,” Kehadiran Pos Lintas Batas Negara (PLBN) seolah mengubah wajah Nanga Badau, Kapuas Hulu sebagai daerah ujung Indonesia. PLBN Badau juga membuka keran ekonomi bagi masyarakat setempat.

Baca Juga  : Perbatasan Natuna, Bersama Menjaga ZEE

PLBN Badau yang diresmikan tahun 2018 oleh Presiden Jokowi menjadi jalur utama lalu lintas masyarakat dari Indonesia menuju Malaysia dan sebaliknya. Setiap harinya, sebelum masa pandemi, sekitar 200 orang melintas di PLBN yang memiliki bangunan dengan corak ukiran khas Suku Dayak tersebut.Jelasnya demikian : Untuk setiap pembangunan PLBN pada tahap pertama yang dibangun adalah bangunan utama, pos lintas kendaraan pemeriksaan, bangunan pemeriksaan kargo, bangunan utilitas (rumah pompa & power house), monumen, gerbang kedatangan dan keberangkatan, sarana jalan pendukung, lansekap dan jalur pedestrian yang selanjutnya disebut dengan zona inti. Kemudian akan dibangun di zona sub inti dan zona pendukung yaitu area parkir, bangunan kantor PLBN, mess pegawai, klinik, pasar tematik, food court dan rest area, wisma Indonesia dan Masjid.

Perbatasan Sebagai Hub Ekspor-Impor Internasional 

Masih ingat setelah peresmian PLBN Entikong, Jokowi meminta semua pihak untuk menggerakkan roda ekonomi dan memanfaatkan keuntungan sebesar-besarnya dari keberadaan PLBN Entikong. Jokowi minta dibuat pasar yang besar, lokasinya sudah ditentukan agar masyarakat bisa menikmati pergerakan ekonomi di PLBN. “Agar masyarakat bisa ambil keuntungan sebesarnya dari perbaikan PLBN ini. Untuk sinergi yang lebih baik PLBN Entikong didukung oleh Pelabuhan Kijing Mempawah. Pelabuhan ini akan menjadi pelabuhan di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang meliputi Sumatera dan Kalimantan Barat. Kawasan ini akan menjadi pelabuhan “Ekspor wilayah Kalimantan Barat . Jadi kalau ekspor CPO tidak lagi melalui pelabuhan tetangga (Malaysia).Selama ini untuk mengekspor komoditas andalan seperti CPO, harus melalui pelabuhan lain, seperti Belawan. Jadi Pemda Kalbar tidak mendapatkan pajak dari ekspor tersebut, kini pajaknya bisa masuk ke Pemda KalBar.

Jokowi waktu itu menambahkan  yakin dan percaya kalau sinergi seperti itu bisa terwujud, harga produk di perbatasan akan beda. Harga produk kita bisa lebih kompetitif dari negara lain, lebih banyak bisa ekspor ketimbang impor,” tambah beliau.Terus terang sebagai pemerhati perbatasan, “rasanya ada kebanggaan jadi Bangsa Indonesia saat melihat bagaimana PLBN ini dibangun dengan “Hati” oleh pemerintahan Jokowi. Ternyata kalau kita mau, terbukti  bangsa kita bisa melakukan sesuatu yang bermakna demi kejayaan bangsanya. Sesuatu hal yang selama ini, sungguh sulit untuk diharapkan.

Baca Pula  :  Membuka Perbatasan, Membangun Peluang Kerja Sama

Indonesia yang berada diantara perdagangan dua Samudra dan dua Benua Dunia belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari lokasi pintu-pintu Ekspor-Impor yang ada termasuk dengan adanya keinginan untuk menjadikan PLBN Perbatasan sebagai bagian pintu perdagangan dengan fasilitas Ekspor-Impor.  Faktanya fasilitas ekspor-impor pada saat itu masih terbatas dan itupun numpuk di Pulau Jawa. Sarana dan keperluan ekspor atau impor di kawasan tengah dan timur Indonesia semuanya masih harus dilakukan melalui pelabuhan di Jakarta, Surabaya, atau Semarang. Misalnya kalau ada para pebisnis CPO Kelapa sawit yang akan mengekspor hasilnya keluar negeri mereka harus mengurusnya ke Jawa. Bayangkan berapa besarnya biaya yang akan jadi beban tambahan para pebisnis seperti mereka, kalau mereka berbisnis di Sumatera sebelah barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Suatu ironi yang amat sangat.

Pastikan Produk Indonesia Unggul di Perbatasan

Kini sudah saatnya untuk menghadirkan produk-produk Indonesia di perbatasan dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah. Bisakah itu? Secara logika bisa dan sangat bisa sekali. Pertama Indonesia sudah membangun Tol Laut (sudah jalan meski belum optimal), seluruh perbatasan akan terjangkau tol laut. Mari kita lihat contohnya. Untuk Sebatik dan Nunukan akan ada dua pelabuhan yang bakal disinggahi tol laut, yakni Pelabuhan SEI NYAMUK, Sebatik dan Pelabuhan TUNON TAKA Nunukan. Tol laut ini untuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) masuk dalam trayek delapan. Mulai dari Surabaya, Tanjung Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik.

Kalau hal ini kita terapkan di Papua, tentu akan jauh lebih menarik lagi. Pasar Skow kian menarik karena dinamika perkembangan infrastruktur di Kota Jayapura, khususnya dengan pembangunan jembatan Hammadi-Holtekamp yang akan memperpendek waktu tempuh ke perbatasan. Waktu tempuh itu bisa setengah jam dari Jayapura (dibandingka bila lewat Abepura jalan lama yang butuh waktu 2 jam) dan sekaligus akan menjadikan daerah perbatasan khususnya distrik Muara Tami akan semakin cocok jadi tempat tinggal. Pasalnya setelah jembatan Hamadi-Holtekamp selesai dibangun,  distrik tersebut akan menjadi tempat hunian menarik bagi masyarakat kota Jayapura. Kini Pemda  tengah berbenah melakukan penyiapan infrastruktur dengan akselerasi yang terukur dan cepat.  Muara Tami akan bisa menjadi penerapan konsep pembangunan infrastruktur modern yang nyaman bagi warganya.

Hal lain yang membuat pasar Skouw atau pintu perbatasan jadi objek yang lebih menarik lagi adalah dengan mengembangkan potensi wilayah ini dengan objek menarik di sekitarnya. Bisa lewat jaringan wisata alam atau wisata belanja. Kalu wisata alam tentu dengan mengkoneksikannya dengan lokasi-lokasi wisata alam di sekitarnya, baik dengan pantai Holtekamp, Base-G,  danau Sentani atau Kampung Tablanusu dll. Kalau wisata belanja dengan mengaitkannya dengan lokasi-lokasi belanja yang ada di sekitar Jayapura seperti :  pasar Ampera, pasar Hamadi, pasar Entrop (Kelapa Dua) dan pasar Youtefa tetapi ini harus dimulai dengan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang seperti seperti sarana jalan dan transportasi, air bersih, sanitasi, fasilitas pasar yang baik, serta terminal penghubung, dan lain- lain. Sarana yang memang diperlukan untuk pengembangan sebuah kota yang baik.

Kalau sekarang ini, maka yang jadi penghalang utama berkembangnya pasar Skouw di perbatasan adalah minimnya sarana penunjang. Khususnya sarana air besih, listrik dan terminal. Ketika pasar itu terbakar pada bulan agustus 2016 lalu, nggak ada petugas Damkar yang datang untuk membantu. Mereka ganya bisa menyelamatkan harta dagangan mereka seadanya saja.  Dalam hal seperti ini, kerja sama antar daerah, misalnya antara Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom akan sangat besar manfaatnya khususnya dalam pengembangan pasar Skow di perbatasan.

Membangun Kemampuan Ekonomi Warga Perbatasan

Di tengah berbagai informasi yang menggembirakan terkait pembangunan Perbatasan. Harapan kita sebenarnya juga sederhana, sebelum membuat program yang terintegrasi dan melibatkan berbagai “stake holder”, atau bersamaan dengan program-program seperti itu kita ingin warga perbatasan di beri kemampuan untuk punya kemampuan berproduksi dan punya produksi. Kita ingin pemerintah memberdayakan rakyat perbatasannya terlebih dahulu, memberikan mereka kemampuan untuk berproduksi, jangan lagi hanya jadi masarakat “peramu” yang mengandalkan hidupnya pada kemurahan alam? Atau semacam petani nomaden, petani yang sepenuhnya tergantung kemurahan alam.

Caranya? Caranya persis dengan pola transmigrasi itu. Tetapi khusus untuk warga lokal. Warga miskin di desa tertinggal dan desa perbatasan itu diberi lahan pertanian, bisa kebun bisa sawah minimal 2 Ha per KK, di lahan itu dibuatkan rumah untuk mereka, lahannya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit, diberikan pupuk, diberikan obat hama, diberikan alat-alat pertanian atau perkebunan dengan model untuk indipidu, kelompok dll. Sarana jalan di buka, sarana pusar dibuatkan.

Hal seperti inilah yang perlu dikembangkan di desa-desa perbatasan pilihan, desa-desa wilayah perbatasan meliputi 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang,  dan Kapuas Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten di  Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan (2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km; Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Kota Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang ± 300km.

Dalam hati saya selalu bertanya, kenapa Pemda Wilayah Perbatasan, BNPP, Kementerian Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  dan K/L lainnya tidak membuat program seperti itu. Dalam hati saya juga paham. Karena K/L itu memang mencari atau membuat program yang ada kaitannya dengan K/L mereka. Kalau tidak ada ya tentu tidak ada gunanya K/L bagi pengembangan perbatasan. Karena itu kita setuju. Pemerintah membuat Model pengembangan Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota perbatasan “as it is”. Maksudnya perbatasan sesuai dengan dimana lokasi dan seperti apa kemampuan SDM dan SDA nya. Setelah itu baru di tunjuk satu K/L untuk mengeksekusi dan sekaligus menjadikannya role model percontohan. Kalau ternyata nantinya cocok dan berhasil, maka barulah pembangunan perbatasan di lakukan dalam skala yang lebih besar.

2 Comments

  1. Pa Hafiz Muzaffar kalau infrastruktur kita sudah siap, ya akan diuntungkan sekali. Masalahnya kita belum siap sehingga-Mereka memang melewati laut Nusantara tetapi tidak pernah berhenti atau “isi ulang keperluan logistik”nya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Karena memang pelabuhan kita tidak atau belum memenuhi standar internasional yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ibarat di jalan Tol kita sama sekali tidak punya “rest area” yang menarik…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *