Pendidikan Di Perbatasan dan Ketidak Pedulian Pemda

Oleh harmen batubara

Soal bagaimana materi yang pas untuk anak-anak perbatasan tentu tidak berbeda dengan materi pendidikan nasional lainnya. Kita percaya itu. Tapi bagaimana agar pendidikan di perbatasan dapat berjalan maksimal? Tentu memerlukan keberpihakan dari Pemda, Pusat dan Kemdikbud sendiri. Secara logika perbatasan memerlukan sarana dan prasarana pendidikan yang dapat mengakomodasi anak-anak didik perbatasan. Kemudian anak-anak perbatasan memerlukan bantuan “keuangan” untuk memungkinkan mereka bisa hadir di ruang-ruang sekolah di perbatasan. Sampai saat ini, yang tidak terlihat upayanya adalah pada penyediaan sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri.

Pendidikan Anak-anak Perbatasan & Desa Tertinggal
Pendidikan Anak-anak Perbatasan & Desa Tertinggal

Secara logika sebenarnya setiap Kabupaten atau setiap kecamatan di daerah perbatasan, tahu betul di desa-desa mana saja perlu didirikan sarana dan prasarana pendidikan itu. Mereka tahu persis dimana harus di dirikan SD.SMP,SMA dan SMK dengan maksud agar anak-anak di sekitarnya bisa menjangkau lokasi pendidikan tersebut.

Kemudian mereka juga tahu persis bahwa disetiap lokasi pendidikan itu sebenarnya perlu adanya asrama siswa yang bisa menampung anak-anak didik yang dari desa terjauh. Mereka tahu bahwa di asrama-asrama tersebut seharusnya anak-anak didik bisa difasilitasi dengan makan, pakaian dan bahan alat peralatan pendidikan. Mereka juga tahu, kalau sarana dan prasarana pendidikan itu harus disediakan guru-guru yang baik, yang digaji dengan baik dan juga disediakan sarana perumahan, sarana kesehatan. Tetapi apa yang terjadi? Hal-hal ke arah seperti itulah yang selama ini, tidak terlihat untuk dikembangkan. Semua seolah berjalan dengan tanpa pola, semuanya seolah berjalan apa adanya. Seperti tidak terorganisasikan dan seolah tidak direncanakan dengan memadai.

Baca  Juga   :  Membuka Perbatasan, Membangun Peluang Kerja Sama

Kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan daerah tertinggal hingga saat ini masih terjadi. Banyak daerah, ter­lebih lagi di daerah perbatasan atau terluar, terdepan dan ter­tinggal (3T) yang kondisi pendi­dikannya sangat memprihatinkan. Akses anak usia sekolah untuk mengenyam pendidikan masih minim. Kondisi ini diperparah dengan minimnya infrastruktur pendidikan termasuk tidak optimalnya pemanfaatan tenaga guru di pedalaman. “Dua hal besar yang harus dilakukan pemerintah adalah pe­ningkatan mutu guru dan akses pendidikan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan tunjangan kesejahteraan, termasuk guru honorer,” kata anggota Komisi X Dewan Perwakil­an Rakyat (DPR) Reni Marlinawati kepada HARIAN NASIONAL, Senin (2/5/2017).

DPR menilai  perlunya pelatih­an bagi guru untuk menigkatkan kualitas mengajar dan ­mendidik. Pemerintah juga harus melakukan penempatan guru secara baik dan merata se­hingga di daerah perbatasan selain harus memperbanyak  mendirikan sekolah, juga distribusi guru yang memadai.  Sekarang ini, guru banyak dan melimpah, tapi banyakan di daerah   guru ­honorer. Dalam satu sekolah banyak guru, tapi guru pegawai negeri ­sipil (PNS) hanya satu, yaitu kepala sekolah. Sisanya guru honorer. Ini jelas tidak benar. Padahal ketentuannya dalam satu sekolah, minimal guru PNS ada delapan orang. Hal seperti ini mudah dijumpai di mana-mana.

“Jangakan di daerah ter­pencil, di Sukabumi saja masih banyak yang seperti itu.  Kalangan DPR mengimbau pemerintah meningkatkan bantuan program pendidikan seperti beasiswa. Di Indonesia hampir 45 juta penduduknya berusia 19-23 tahun, namun yang menge­nyam pen­didikan tinggi hanya sekitar 7 juta orang.”Kondisi ini bahaya. Karena itu, kita mengingatkan peme­rintah pentingnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kompeten yang menjadi faktor utama untuk memajukan bangsa.

Pemda Jarang Yang Pro Aktif

Terkait sarana pendidikan di daerah perbatasan, boleh dikatakan Pemda malah lebih mengharapkan bantuan pemerintah Pusat. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pola pembangunan sarana pendidikan di daerah perbatasan. Tetapi sebaliknya, kalau pusat sudah memberikan bantuan Pemda malah memanfaatkannya sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Misalnya dalam sertifikasi Guru seperti yang terjadi Kampas Hulu Kalbar. Pada tahun 2011, seluruh Kalimantan Barat mendapat alokasi 2146 orang. Dari jumlah tersebut, tidak semua guru di Kampas Hulu mendapatkan kesempatan sertifikasi karena hanya mendapat “jatah” 430 orang. Sertifikasi yang sangat besar manfaatnya untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru di perbatasan, pada kenyataannya malah dimanfaatkan Pemda dengan pola lama penuh dengan KKN dan kepentingan kelompoknya sendiri. Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring Kencana, hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut dengan kondisi yang seadanya.

Kalau di awal tulisan ini kita katakan bahwa sebenarnya, secara logika setiap Kabupaten atau setiap kecamatan di daerah perbatasan, tahu betul di desa-desa mana saja perlu didirikan sarana dan prasarana pendidikan itu. Mereka tahu persis dimana harus di dirikan SD.SMP,SMA dan SMK dengan maksud agar anak-anak di sekitarnya bisa menjangkau lokasi pendidikan tersebut. Mereka juga tahu persis bahwa disetiap lokasi pendidikan itu sebenarnya perlu adanya asrama siswa yang bisa menampung anak-anak didik yang dari desa terjauh. Mereka tahu bahwa di asrama-asrama tersebut seharusnya anak-anak didik bisa difasilitasi dengan makan, pakaian dan bahan alat peralatan pendidikan. Mereka juga tahu, kalau sarana dan prasarana pendidikan itu harus disediakan guru-guru yang baik, yang digaji dengan baik dan juga disediakan sarana perumahan, sarana kesehatan. Tetapi apa yang terjadi? Hal-hal ke arah seperti itulah yang selama ini, tidak terlihat untuk dikembangkan. Hal-hal seperti itulah yang sama sekali tidak terlihat diperjuangkan Pemda setempat.

Bagaimana Kartu Indonesia Pintar di Perbatasan?

Meskipun pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia dinilai sukses, akan tetapi jumlah anak usia wajib belajar yang hanya sampai sekolah dasar (SD) cukup besar. Merujuk pada data di harian Kompas, pada tahun 2015-2016 saja, sekitar satu juta anak putus sekolah di SD tau hanya tamatan SD.Kemiskinan masih dinilai sebagai variabel penting alasan mengapa anak tidak bersekolah. Mengutip survey UReporters di fanspage UNICEF[1]  Indonesia, dari beberapa alasan anak Indonesia terpaksa menggantungkan seragamnya dan berhenti sekolah, 52 persen diantaranya karena ketidakmampuan membayar biaya sekolah. Data ini jadi alasan yang paling dominan. Selain karena bekerja (16 persen), menikah (14 persen), jarak dari rumah ke sekolah terlalu jauh (5 persen), dan kurikulum pelajaran tidak menarik (6 persen). Di luar alasan ini, UReporters juga menyuguhkan kemungkinan alasan lain sebesar 7 persen.

Baca   Juga  : Toko Perbatasan, Jadikan Produk Indonesia Unggul di Perbatasan

Pemerintah Jokowi-JK[2]  sangat serius terkait pendidikan anak-anak dari keluarga miskin ini, pemerintah punya program khusus untuk membantu anak-anak yang lahir dari keluarga miskin atau yang tidak mampu ini, yakni dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP). KIP menjamin dan memastikan seluruh anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu terdaftar sebagai penerima bantuan tunai pendidikan sampai lulus SMA/SMK/MA. Kartu Indonesia Pintar (KIP) diberikan sebagai penanda dan digunakan untuk menjamin serta memastikan seluruh anak usia sekolah (6-21 tahun) dari keluarga pemegang KKS untuk mendapatkan manfaat Program Indonesia Pintar bila terdaftar di Sekolah, Madrasah, Pondok Pesantren, Kelompok Belajar (Kejar Paket A/B/C) atau Lembaga Pelatihan maupun Kursus.

KIP juga mencakup anak usia sekolah yang tidak berada di sekolah seperti Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)  seperti anak-anak di Panti Asuhan/Sosial, anak jalanan, dan pekerja anak dan difabel. KIP juga berlaku di Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Lembaga Kursus dan Pelatihan yang ditentukan oleh Pemerintah. KIP mendorong pengikut-sertaan anak usia sekolah yang tidak lagi terdaftar di satuan pendidikan untuk kembali bersekolah. KIP menjamin keberlanjutan bantuan antar jenjang pendidikan sampai tingkat SMA/SMK/MA. Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar adalah salah satu program nasional (tercantum dalam RPJMN 2015-2019).

Untuk mendukung program ini, PT Bank Rakyat Indonesia dalam upaya percepatan inklusi keuangan di seluruh Indonesia, bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendesain Kartu Indonesia Pintar (KIP) Plus. KIP Plus dalam satu kartu memiliki 3 fasilitas yang berbeda, yakni :  sebagai kartu debit private label ;  sebagai wallet PIP ; dan Kartu ATM BRI. Sebagai kartu debit private label, KIP Plus bisa digunakan siswa untuk berbelanja kelengkapan sekolah di merchant dan Koperasi-Koperasi Sekolah yang menggunakan di EDC BRI. Dana yang digunakan untuk belanja kelengkapan sekolah berasal dari saldo awal pada wallet PIP sesuai kuota dana PIP yang ditetapkan Kemendikbud. “Dengan menggunakan KIP Plus, diharapkan para siswa lebih mengenal produk perbankan sejak dini dan menjadi sarana edukasi yang efektif untuk pengelolaan keuangan bagi siswa,”

Selain untuk bertransaksi, KIP Plus bisa digunakan sebagai sarana menabung bagi para siswa yang bisa diambil sewaktu-waktu melalui 69.552 agen BRILink, 10.628 Unit Kerja BRI dan 23.126 jaringan ATM BRI di seluruh Indonesia. “Untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap siswa, Bank BRI juga mendorong koperasi sekolah untuk dijadikan sebagai Agen BRILink sehingga akan turut meningkatkan daya saing dan pemberdayaan Koperasi-Koperasi Sekolah di seluruh Indonesia.  Hanya saja program yang demikian baik ini, ternyata belum sepenuhnya bisa menjangkau wilayah Indonesia, khususnya wilayah perbatasan dan desa tertinggal. Harapan kita Kemendikbud dapat bekerja lebih optimal lagi, agar anak-anak usia sekolah di perbatasan bisa tetap melanjutkan pendidikan mereka. Apakah Pemda dengan Kemendikbud tidak bisa mengoptimalkan program ini? Idealnya sih Pemda dapat mengoptimalkannya dengan menambah atau meningkatkan kualitas sarana dan sarana pendidikan di wilayahnya. Tapi hal-hal seperti itulah yang tidak terlihat.

[1]   http://www.jurnalindonesia.net/unicef-52-persen-anak-putus-sekolah-di-indonesia-karena-alasan-biaya/

[2] http://www.tnp2k.go.id/id/program/program-membangun-keluarga-produktif/kartu-indonesia-pintar/