Kapal Selam Nuklir AUKUS & Keseimbangan di Laut China Selatan

Kapal Selam Nuklir AUKUS & Keseimbangan di Laut China Selatan

Oleh Harmen Batubara

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengutip pernyataan Antonio Guterrez dalam pembukaan Sidang Majelis Umum PBB ke-76 terkait “perang dingin baru”. Menlu menyinggung perihal AUKUS dan keputusan Australia untuk pengadaan kapal selam bertenaga nuklir,” ujar Retno dalam keterangan pers secara virtual pada Rabu (22/9/2021).

AUKUS sendiri merupakan aliansi yang dibentuk Australia, Inggris (UK), dan Amerika Serikat (US) dalam mencermati perkembangan keamanan di wilayah Asia-Pasifik, khususnya di Laut China Selatan. Bagi Amerika sesuai kepentingan nasional dan sekutunya bisa mengatakan “bahwa negara mana pun dapat menyebarkan teknologi nuklir jika itu untuk kepentingan nasionalnya, termasuk untuk meninjau ulang kebijakan NPT. Dalam kesempatan yang sama Retno mengatakan, Indonesia menerima penjelasan Australia dan mendengarkan komitmen-komitmen yang diberikan Australia. “Termasuk untuk terus menghormati NPT atau Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan hukum internasional,” ucap Retno. Menlu menekankan bahwa yang tidak diinginkan oleh semua negara adalah kemungkinan meningkatnya perlombaan senjata dan “power projection” di kawasan. “Yang tentunya akan dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan,” kata dia.

Baca   Juga   :  PLBN & Pelabuhan Kijing Membuka Pintu Ekspor Kalimantan Barat 

Mencermati apa yang tengah terjadi  di Laut China Selatan (LCS) dan Semenanjung Korea adalah terjadinya  Ketidak seimbangan Kesepahaman yang dilakukan secara sepihak oleh  China di LCS dan oleh Korea Utara di Semenanjung Korea. Amerika dan sekutunya terlihat seolah tidak berdaya berkomunikasi di dua kawasan serta dengan dua Negara tersebut. Jadi munculnya AUKUS adalah sesuatu yang muncul secara alami. Karena itu jelas “mengganggu” keseimbangan di dua kawasan tersebut. Apa yang dilakukan Amerika selaku mantan “Polisi Dunia”, jelas bisa dipahami. Bahwa Negara-negara kecil dikawasan tersebut seperti para Negara anggota ASEAN  tentu tidak akan memberi pengaruh apa-apa. Kecuali para Negara besar itu mau berbagi “kuasa”. Secara diplomasi, tentu nagara –negara di kawasan ini hanya bisa sekedar memprotes dan mengingatkan peraturan yang berlaku. Hanya sampai di sana. Kecuali Negara-negara itu mau berpihak secara langsung, maka baru akan ada perubahan. Selebihnya anggak akan punya pengaruh apa-apa.

Saya lalu ingat dengan pidatonya Pak Jokowi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 East Asia Summit (EAS) tanggal 13 November 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar. Pada saat itu Presiden Jokowi memperkenalkan konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dengan agenda pembangunannya akan difokuskan pada 5 (lima) pilar utama. Suatu semangat baru untuk mewujudkan semangat Deklarasi Djuanda secara konkrit di Nusantara, wilayah yang mewujud dari Deklarasi Djuanda,  yaitu:

Membangun kembali budaya maritim Indonesia ; Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama; Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritime; Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan ; dan Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Sebagai pemrakarsa jadi sangat pada tempatnya bila Presiden Jokowi  Presiden Jokowi juga mengharapkan untuk meningkatkan kerja sama maritim sehingga menjadi lebih erat secara damai dan bukan sebagai ajang perebutan sumber daya alam maupun supremasi maritim. Forum EAS merupakan suatu forum regional yang dibentuk pada 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur. Negara peserta EAS berjumlah 18 negara, yaitu 10 negara anggota ASEAN dan 8 negara Mitra Wicara ASEAN, yakni Australia, India, Jepang, Korea Selatan, RRT, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Rusia. EAS merupakan platform dimana para Pemimpin negara peserta EAS bertemu dan melakukan tukar pikiran mengenai berbagai isu politis dan strategis di kawasan.

Langkah Langkah Poros Maritim Jokowi

Tol Maritim sebagai suatu konsep memang memerlukan suatu “blue print” yang jelas dan terukur, sehingga para pihak dan Kementerian/Lembaga (K/L) mempunyai pijakan yang jelas dalam berpartisipasi. Tapi pengalaman menunjukkan, bukanlah pada “cetak biru”nya tetapi pada langkah aksinya. Dan hal itu sudah dilakukan oleh Jokowi. Secara sederhana Tol Maritim itu sesungguhnya sungguh simple. Secara harafiah yang disebut Tol Maritim itu  adalah jalur pengangkutan logistik  laut Dunia yang  dikaitkan dengan jalur Logistik Nusantara di titik-titik persinggungannya dengan wilayah laut nusantara. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di nusantara dengan alur Logistik laut Dunia.

Polanya juga tidaklah muluk-muluk, menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Tol Maritim Dunia, mengingat 40% kapal-kapal perdagangan dunia yang nilainya mencapai  ± USD150 triliun melintas di empat titik perairan Indonesia seperti  di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Kalau di alur tersebut kita bisa menghadirkan infrastruktur yang diperlukan oleh kapal-kapal logistic perdagangan dunia dan bisa membantu mereka lebih baik dan lebih murah serta lebih aman. Bisa dipastikan, mereka akan memanfaatkannya. Itu saja sebenarnya konsep dasarnya dan itu sudah mulai diwujudkan pemerintahan Jokowi-JK dengan jalan meneruskan dan mengagas pembangunan pelabuhan, dermaga, dan sarana pendukungnya dengan kualitas dunia. Masalahnya baik para pelaut dan kemampuan mengelola pelabuhan, kita masih kelas Nusantara salah satu indicator itu bisa dilihat “dwelling time” yang masih diatas 3 hari dan di sanalah masalahnya.

Profil Perbatasan Laut Indonesia
Profil Perbatasan Laut Indonesia

Pemerintahan Jokowi – JK  kemudian membangun jalur Tol laut Nusantara yang nantinya bisa jadi dapat disenirgikan dengan Tol Maritim Dunia. Untuk pemerintah Jokowi juga membangun jaringan 24 Pelabuhan berikut sarananya, serta menyediakan Kapal untuk mengarungi jalur sepanjang jalur Tol Laut nusantaranya. Dengan harapan Pemda mau berpartisipasi, untuk membangun jaringan infrastruktur guna menunjang kelancaran program Tol Laut dan tentu demi keuntungan Pemda nya sendiri. Pemda diharapkan dapat membuat jaringan jalan raya, telekomunikasi, serta berbagai jaringan penunjang bisnis lainnya untuk memudahkan menjangkau dan memanfaatkan Pelabuhan Tol yang ada di wilayahnya.

Pada dasarnya proyek TOL LAUT diprioritaskan untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Namun, terdapat beberapa wilayah di barat, salah satunya  Sumatera dan Natuna. Jadi, dari 12 sampai 13 rute itu, kira-kira 12 rute untuk timur. Yang ke barat itu untuk Sumatera bagian timur, dan yang kedua ke Natuna”.

Baca  Juga   :  Jalan Paralel Perbatasan, Peluang BerBisnis Jadi Menarik 

SEJAK diluncurkan pada 2015, program Tol Laut[1] terus mengalami peningkatan dan perkembangan, baik dari segi infrastruktur, trayek atau lintasan, armada, jumlah muatan, maupun kapasitas “Seperti kita ketahui jumlah trayek tol laut meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari hanya tiga trayek pada 2015, kemudian enam trayek rute (2016). Kini berkembang menjadi 26 trayek pada tahun 2020 dan 100 pelabuhan singgah dan rencananya trayek ini masih terus ditambahkan jumlahnya hingga 30 trayek di Tahun 2022.

Untuk realisasi 26 trayek tol laut hingga Mei 2021 total muatan berangkat yang telah dibawa sebanyak 5.963 TEUS. Kemudian untuk muatan balik sebanyak 2.068 TEUS. Untuk penyelenggaraan tol laut tahun anggaran 2020 sendiri total muatan berangkat ialah 13.825 TEUS dan total muatan balik 4.303 TEUS. Selain itu, Kementerian Perhubungan juga akan melakukan subsidi pelayanan angkutan laut perintis sebanyak 118 trayek, kemudian 6 trayek angkutan ternak, 20 unit kapal rede dan melanjutkan pembangunan 4 unit kapal bottom glass untuk pariwisata, dan pengembangan sistem inaportnet.

Menghidupkan Lingkaran Samudra Hindia

Masih ingat dengan ”KTT IORA pada 5-7 Maret 2017 (Indian Ocean Rim Association atau Asosiasi Kerja Sama Lingkar Samudra Hindia) yang lalu? KTT tersebut telah menjadi tonggak pembaruan komitmen negara-negara anggotanya untuk mengintensifkan kerja sama. Komitmen itu tertuang dalam JAKARTA CONCORD yang diteguhkan untuk bekerja sama di enam sektor. Pertama, memajukan keamanan dan keselamatan maritim. Kedua, memajukan kerja sama perdagangan dan investasi. Ketiga, memajukan pengembangan perikanan yang berkesinambungan dan bertanggung jawab. Komitmen berikutnya adalah memperkuat pengelolaan risiko bencana serta memperkuat kerja sama akademis dan ilmu pengetahuan. Terakhir, memajukan kerja sama pariwisata dan kebudayaan. Semua anggota mengapresiasi Indonesia yang menginisiasi kesepahaman itu. Mereka menilai, Jakarta telah menempatkan asosiasi itu ke tingkat yang lebih tinggi. Selain kerja sama ekonomi, juga adalah kesadaran akan pentingnya Samudra Hindia yang aman dan stabil. Hal itu kini lebih menarik lagi setelah Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO) pada 1 Desember 2017 yang lalu.

Disepakatinya rencana aksi Asosiasi Kerja Sama Lingkar Samudra Hindia memastikan visi dan misi asosiasi itu terwujud dan dapat dirasakan manfaatnya. Pada zaman baheula jalur sutra nusantara itu sama seperti jalur transportasi yang ada di lingkar Samudra Hindia sejatinya sudah berkembang sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, kala itu saudagar dari Gujarat dan semenanjung Arab masuk ke nusantara lewat kepulauan Andaman – pulau wee atau Sabang-terus ke Lamuri (Aceh Besar). Dari Lamuri mereka bisa lewat jalur selatan lewat pulau Simeuleu-Barus-Padang terus ke selat Sunda. Dari sini mereka bisa langsung ke Sunda Kelapa (Batavia) dan bisa juga ke pesisir utara pulau jawa lewat Kediri (Kahuripan)-Bali-Bima-Banggai-terus ke kepulauan Maluku, pada waktu itu Maluku sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Mereka bisa juga dari Sabang-Lamuri-Perlak-Kedah-Indragiri-Jambi-Sriwijaya (Palembang) mereka juga bisa terus ke Sunda Kelapa ( Batavia).

Jalur perdagangan atau jalur sutra nusantara masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit itu, kini seolah tidak berbekas. Pembangunan Nusantara selama ini seolah membelakangi laut dan lautan. Hal ini terlihat dari terus berkembangnya jalur pelayaran Cargo internasional yang masih memanfaatkan jalur sutra masa lalu-misalnya bisa kita lihat dengan jelas. Jalur cargo internasional (transhipment) dari India dan semenanjung Arab melewati Sabang-terus ke jalur selatan-lewat Simeuleu-Sibolga-Padang dan terus selat Sunda-Jakarta-terus ke  jalur ALKI I di laut Sulawesi-terus ke Tawau (Sebatik) dan terus ke Hongkong-Jepang –USA. Jalur lainnya  lewat Sabang mereka masuk ke selat Malaka dan terus ke Johor atau Singapura dan kemudian masuk ke jalur ALKI II terus ke kepulauan Riau-Kepulauan Natuna-Taiwan-Hongkong-Jepang dan USA. Apa yang terjadi? Mereka memang melewati laut Nusantara tetapi tidak pernah berhenti atau “isi ulang keperluan logistik”nya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Karena memang pelabuhan kita tidak memenuhi standar internasional yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ibarat di jalan Tol kita sama sekali tidak atau belum mampu membangun “REST AREA” yang sepadan.

Fakta menunjukkan bahwa Samudra Hindia merupakan kawasan yang strategis. Kawasan tersebut menjadi rute perdagangan utama dunia yang dilewati 50% volume kontainer perdagangan, 75% dari jalur minyak dunia. Kawasan ini juga tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan global. Pada tahun 2015, saat ekonomi dunia hanya tumbuh 2,6 persen, pertumbuhan rata-rata sebagian besar anggota IORA mencapai 4,3 persen. Banyak orang tadinya skeptis dan melihat KTT ini hanya akan menjadi pergelaran seremonial semata. Namun, realitas yang ada justru menunjukkan kebalikannya. Kawasan Samudra Hindia tidak hanya berperan penting bagi perekonomian dunia, tetapi juga bagi perekonomian Indonesia. Tahun 2016, ekspor Indonesia ke negara-negara IORA 42 miliar dollar AS yang mencakup sepertiga ekspor total Indonesia. Dari perdagangan tersebut, Indonesia mencetak surplus 1,5 miliar dollar AS tahun lalu.

Strategi Pembangunan Perbatasan Jokowi
Strategi Pembangunan Perbatasan Jokowi

Nilai ekspor Indonesia ke beberapa negara IORA menunjukkan kenaikan yang merefleksikan potensi mereka sebagai pasar nontradisional. Lihat misalnya, ekspor Indonesia ke Afrika Selatan, Iran, dan Oman naik 9 persen tahun lalu. Sebanyak 6 dari 20 negara sumber investasi asing terbesar Indonesia merupakan negara anggota IORA. Investasi ini pun menunjukkan peningkatan. Tahun lalu, investasi dari Singapura naik 50 persen, investasi dari Thailand naik 100 persen, dan bahkan investasi dari Mauritius meningkat lebih dari 10 kali lipat.Tiga dari 4 negara asal wisatawan asing terbesar ke Indonesia merupakan negara anggota IORA. Jumlah turis dari negara IORA pun meningkat, sebagai contoh wisatawan Thailand ke Indonesia naik 6 persen, turis Australia naik 14 persen, dan wisatawan India naik 28 persen tahun 2016.

Di KTT IORA, peningkatan kerja sama ekonomi menjadi prioritas utama. Hal ini bisa dilihat dari kemampuan Indonesia yang berhasil mengekspor 150 gerbong kereta api ke Banglades, salah satu anggota IORA. Peluang kerja sama ekonomi lainnya juga ditawarkan oleh sektor perikanan. Mauritius. Negara berpenduduk lebih dari 1,2 juta jiwa yang berada di perairan lepas, di timur daratan Benua Afrika. Letaknya dipisahkan oleh Madagaskar. Mauritius adalah investor asal Afrika terbesar di Indonesia. “Nilai investasi Mauritius di Indonesia, tahun lalu, sebesar 576,5 juta dollar AS pada 250 proyek. Nilai ini melonjak 12 kali lipat dari investasi tahun 2015, sebesar 30,67 juta dollar AS. Mauritius merupakan salah satu pusat penghubung atau hub industri jasa keuangan dunia. Selain itu, sebagai negara yang berada di tengah-tengah Samudra Hindia, Mauritius juga memiliki potensi perikanan yang luar biasa.Mauritius juga merupakan salah satu pelabuhan perikanan utama di Afrika. Banyak kapal ikan asal Asia, seperti dari Taiwan-sebagian besar diawaki oleh warga Indonesia-merapat di Port Louis, kota pelabuhan Mauritius. Selain Mauritius, negara lain, seperti Afrika Selatan dan Mozambik, meski tidak bergabung dengan IORA, juga memiliki potensi besar. Mereka meminati produk asal Indonesia, seperti mi instan, ban, dan pesawat terbang. Senegal, misalnya, setelah puas dengan CN-235 versi multiguna, kini memesan satu pesawat CN-235 versi patroli maritim.

Perangkat politik telah disediakan melalui IORA dan langkah-langkah diplomasi juga telah dan terus digarap. Tantangannya saat ini adalah bagaimana peluang itu dijawab oleh Kementerian/Lembaga dan juga para pelaku industri dalam negeri dan bagaimana pemerintah Indonesia agar terus melakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur di berbagai lokasi yang bisa mensinergikannya;  untuk mendukung pengembangan Kawasan Samudra Hindia dan memanfaatkan jalur kargo internasional dengan membangun jaringan Tol Maritim serta jaringan Tol Nusantara dan mensinergikannya dengan pembangunan kemampuan TNI untuk mewujudkan keamanan di kawasan serta mewujudkan semangat dan roh Deklarasi Djuanda yang telah mewujudkan Nusantara jadi nyata.