Oleh Harmen Batubara
Pemerintah Belanda mengakui “sepenuhnya dan tanpa syarat” bahwa Indonesia merdeka dari Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengatakan hal tersebut di parlemen, pada Rabu (14/06/2023), saat menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan terhadap kemerdekaan RI.
Dengan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Itu berarti seluruh wilayah jajahannya, dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote. Secara hukum Uti possidetis juris maka semua wilayah Koloni Belanda di Indonesia menjadi wilayah NKRI. Uti possidetis juris adalah asas hukum internasional yang menyatakan bahwa ketika suatu negara merdeka. Batas-batasnya adalah batas-batas yang dimiliki si penjajah pada saat kemerdekaan. Prinsip ini bila diterapkan dalam kasus Indonesia, dan itu berarti bahwa semua koloni Belanda di Indonesia secara otomatis menjadi bagian dari negara merdeka yang baru.
Bagaimana Tentang OPM Papua? Sebab Papua dikatakan Belanda pada tahu 1949 bukanlah bagian dari Indonesia. Hal itu mereka kemukakan pada Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1949? Waktu itu Belanda mengatakan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia karena perbedaan Etnis atau Ras. Nah sekarang? Setelah Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Itu berarti Papua sudah sah jadi NKRI sejak 1945. Jadi apa yang direncanakan Belanda pada Konperensi Meja Bundar 1949 dan semua yang bertentangan dengan itu tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi.
Belanda Akui NKRI Sejak 1945 Saatnya Menyudahi OPM.
Terkait OPM ini kita mengetahui ada sebanyak 29 orang eks Organisasi Papua Merdeka atau OPM menyerahkan diri dan mengucapkan sumpah ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di halaman Pos Aimasa Satgas Yonif 133/YS, Kampung Aimasa, Distrik Aifat Timur Tengah, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, pada Senin (13/5/2024).
Baca Juga : Pembangunan Kawasan Perbatasan Berbudaya Papua.
Wakil Komandan Satgas Yonif 133/YS Kapten Inf Jaminardo Sinaga menyampaikan, pihaknya merasa bangga pada peserta ikrar karena sudah kembali pada pangkuan NKRI. “Kita yakin bahwa semua warga di Distrik Aifat Timur cinta kepada NKRI dan mari kita bekerja sama menjaga keutuhan serta kedaulatan NKRI di tanah Papua.
Apa sesungguhnya yang dialami oleh warga? Mereka mengatakan masuk dan menjadi anggota OPM adalah karena “dipaksa” di intimidasi supaya bergabung. Hal seperti ini memang sesuatu yang biasa dalam daerah operasi. Bertambah runyam lagi, kalau kesejahteraan warga lemah atau terbatas. Maka mereka akan mudah tergoda. Kita sangat percaya kalau lapangan kerja terbuka dengan upah yang baik. Maka percayalah intimidasi atau ajakan untuk jadi OPM itu tidak akan berhasil. Masalahnya mampukah pemerintah membuka lapangan kerja di daerah daerah terpencil yang jadi sarang OPM itu? Intinya ada di sana.
Belanda Akui NKRI Sejak 1945 Saatnya Menyudahi OPM Bangun Papua.
TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat terbiasa berhadapan dengan para pemberontak. Sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatism. Pusat Kajian Separatisme Dibutuhkan Masihkah Relevan ? Setiap kali kita membicara perbatasan, khususnya di Papua maka pikiran kita akan selalu teringat OPM? OPM dalam terminologi hukum RI adalah separatism dan wajib hukumnya untuk di punahkan. Tapi ternyata itu tidak mudah. Dalam hal Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad 2000-2002, mengatakan sesuai pengalaman sendiri dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah berdiri sendiri.
Selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku pada masa lalu. Adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon, Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan asing.
Pada prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada aspek psikologis. Sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata. Tidak pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan hanyalah akibat.
Belanda Akui NKRI Sejak 1945 Saatnya Menyudahi OPM Perkuat TNI.
Kita tahu TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan kelahirnya memang dibuat untuk berhadapan dengan para penjajah, juga para pemberontak. Mereka sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya itu di dokumentasikan, polanya di pelajari dari semua aspek, politik, sakit hati dll., di teliti dan dianalisis serta di tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi).
Baca Juga : IKN Nusantara, Dunia Percaya Joko Widodo.
Hasilnya yang berupa penyelesaian politik di komunikasikan agar ada solusi. Untuk kepentingan praktis ketrampilan Lawan Grillia di lapnagan, dilatihkan dan diaflikasikan di lapangan. Bisa iduga dan sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, RI dan khususnya TNI tidak atau belum mempunyai semua upaya yang seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think Tank terkait penangan Saparatisme. Baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan ataupun Perguruan Tinggi (Unhan). Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong. Sama seperti tradisi penelitian di Indonesia. Tidak menuntaskan.
Masih menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas “operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya.
Belanda Akui NKRI Sejak 1945 Saatnya Menyudahi OPM Penanganan Separatisme.
Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando. Seperti saat Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka. Hal seperti itu. Perlu dipertimbangkan.
Kita juga ingin katakan agar kemampuan TNI didukung dalam melakukan upaya merebut hati rakyat. TNI (bersama Kementerian/K/L Lembaga terkait) diberi kemampuan Operasi, Kemampuan Memberdayakan warga maysrakat, serta mengembangkan Pusat Kajian Separatisme. Meski melakukan Operasi terhadap kekuatan bersenjata OPM, tetapi di sisi lain TNI juga tetap memberi jalan bagi para keluarga OPM untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Artinya mesti para suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan. Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka kehidupan yang lebih baik.
Belanda Akui NKRI Sejak 1945 Saatnya Menyudahi OPM
Yang ingin kita usulkan. Misalnya dengan memberikan mereka berbagai fasilitas yang setara dengan yang diterima oleh para transmigran yang sudah kita kenal selama ini. Contohnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi, sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu). Diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.
Selama ini kita tidak atau belum pernah melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatisme. Polanya hanya sejenis “memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah operasi “penumpasan”, begitu seterusnya. Padahal kita percaya, kalau pengalaman TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani masalah separatisme.