Oleh Harmen Batubara
Terkait gelar kekuatan TNI dan khususnya kekuatan Kodam, menurut Wiranto mantan Panglima TNI, merupakan kelanjutan pola yang dikembangkan oleh Belanda dan Jepang di era kolonial dan konsep itu sudah waktunya untuk dikalji ulang. Khususnya untuk memperkuat Kodam luar jawa sesuai dengan atau persepsi dalam menghadapi realitas ancaman yang ada. Kodam di wilayah perbatasan dan Kodam di daerah separatisme, mereka jelas membutuhkan kemampuan, sarana dan prasarana yang pas dan sesuai dengan pelaksanaan Tugas Pokoknya. Keberadaan Kodam juga untuk memperkuat sektor perekonomian dan rasa aman wilayah di daerah tempat kodam itu berada.
Pertahanan suatu negara adalah lambang Kedaulatan sebuah bangsa dan sekaligus kebanggan atasnya dalam menjaga kepentingan Nasional. Kepentingan Nasional itu terdiri dari kepentingan nasional Abadi dan termaktub dalam Konstitusi kita pada Pembukaan UUD 1945 yang meliputi Kedaulatan Nasional, Integritas Teritorial dan Keselamatan Bangsa, serta Kepentingan Nasional Dinamis yang muncul akibat perkembangan lingkungan strategis.
Dalam hal pertahanan UU mengamanatkan, Indonesia untuk mampu menghancurkan musuh selagi masih di wilayahnya. Kalau hal itu gagal, maka sistem pertahanan akan menghancurkan musuh sesaat sebelum masuk wilayah RI. Kalau musuh masih maju maka TNI akan menghancurkan mereka di Pantai, sebelum mereka mencapai daratan. Kalau masih berlanjut maka akan terjadi perang darat yang menentukan. Kalau musuh masih bisa berlanjut maka perang Rakyat Semesta akan dikobarkan sampai titik darah yang terahir. Persoalannya. Untuk memberikan dua dukungan kemampuan pertama dan kedua diperlukan Alust Sista yang mumpuni serta Prajurit terlatih dengan kualitas prima. Sementara dari prediksi ancaman kondisi seperti itu belum terlihat ada tanda-tandanya. Asia tenggara masih merupakan wilayah yang damai dalam kerangka dua kekuatan antara China dan Amerika Serikat.
Baca Juga : Membuka Perbatasan, Membangun Peluang Kerja Sama
Dalam kehidupan nyata, kemampuan menghancurkan musuh selagi masih di wilayahnya sendiri jarang kita temui. Bisa jadi contoh klasik adalah pada saat militer Jepang manghancurkan Pearl Harbour meski dengan alasan dan situasi yang berbeda. Tapi setidaknya kita melihat Jepang mempunyai Kekuatan untuk menghancurkan musuhnya selagi di wilayahnya sendiri. Untuk punya kemampuan seperti itu memerlukan kemampuan AU yang kuat.
Indonesia juga belum mempersiapkan sistemnya untuk mempunyai senjata penangkis serangan udara, yang dipersenjatai dengan payung udara. Sistem yang bisa mendeteksi serangan udara dan laut serta kemampuannya untuk menghancurkan ancaman tersebut selagi belum memasuki wilayah ZEE atau sebelum musuh memasuki daerah Teritorial.
Dalam perkiraan ancaman yang dihadapi Indonesia dalam kurun waktu 2010-2025 adalah adanya : kekuatan Militer asing terlibat Dalam gerakan Separatisme; Penggunaan KEKUATAN MILITER DALAM KONFLIK PERBATASAN; Tekanan asing disertai kehadiran Militer dalam mengamankan akses terhadap sumber energi di Indonesia; Kehadiran Militer Asing di ALKI dalam mengamankan jalur ekonomi; Kehadiran Militer asing dalam kerangka memerangi Terorisme; Terorisme Internasionald dan Kejahatan Internasional; dan Intervensi Kemanusiaan dalam konflik horizontal dan vertical. Kemhan juga mengidentifikasi bahwa terdapat beberapa Wilayah Flash Point, ada dibeberapa daerah perbatasan yang secara lengkapnya meliputi : Wilayah NAD, Selat Malaka, Riau dan Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara atau sepanjang perbatasan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Lombok, NTT, Maluku, Papua dan Papua Barat dan ALKI.
Pertahanan di Perbatasan
Dari kaca mata pertahanan, sejatinya makna wilayah perbatasan tidaklah mempunyai arti yang sakral dan yang harus di jaga sacara ketat dan kaku. Bagi Negara-negara ASEAN makna perbatasan tidak bisa dilepaskan dari persahabatan dua Negara. Meski kondisinya sangat diwarnai oleh kemampuan komunikasi bilateral kedua Negara yang berbatasan. Kalau kominikasi kurang baik, maka akan mewarnai ke tegangan dua Negara. Dalam hal Kodam perbatasan, yang sering kita lupa itu,adalah kemampuan koordinasi dan adanya sarana serta prasarana antara Kodam, TNI dan Kemhan masih lemah. Hal hal seperti ini sebenarnya, tidak bisa dibiarkan, dia mesti diberi prioritas.
Pertahanan di wilayah Perbatasan kita umumnya masih sangat lemah, gambarannya bisa diambilkan dengan apa yang disampaikan (waktu itu masih ) Calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang uji kelayakan di gedung DPR. Jenderal Gatot Nurmantyo mengakui, sistem kekuatan militer belum selaras untuk menjaga wilayah perbatasan Indonesia. Menurut beliau, perlu sistem untuk menyelaraskan kekuatan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Yang ingin kita kemukakan adalah perlakuan negara tetangga kita di perbatasan. Salah satunya ya Malaysia. Kita bukan hanya sekedar mencari masalah, tetapi hal-hal yang sudah terjadi perlu terus di evaluasi untuk kemudian memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya. Dalam banyak hal, tetangga ini sering melakukan pelanggaran ke wilayah kita, khususnya di Ambalat. Memang wilayah itu masih dalam kondisi abu-abu, kedua negara masih belum bisa menyepakati batas di wilayah tersebut. Dalam penglihatan kita, semestinya mereka mau dan bisa menahan diri dan tidak melakukan profokasi. Bayangkan dalam data kita, sejak januari – Juni 2015, sudah ada 7 Nota Protes Indonesia ke Malaysia. Soal profokasi mereka ke wilayah sengketa itu; tetapi sama sekali tidak ditanggapi pihak tetangga itu. Mereka tidak menjawabnya, adalah bagian strategi “penanganan perbatasan”, sehingga kelak mereka tidak pernah mengakui” adanya protes seperti itu. Juru bicara Arrmanatha Nasir waktu itu, mengaku Kemlu telah mengirimkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia sebanyak tujuh kali. Nota protes itu dikirim terhitung sejak Januari 2015. Hal itu disampaikan oleh Arrmanatha ketika dikonfirmasi VIVA.co.id melalui telepon pada Rabu, 17 Juni 2015.
Hal serupa juga terlihat dalam insiden pendaratan tanpa izin helikopter Malaysia yang membawa Menteri Dalam Negeri negara itu di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, pada Minggu, 29 Juni 2015. Helikopter itu bebas pergi karena personel TNI yang bertugas di sana tidak siap. Meskipun kejadian itu murni “insiden” salah identifikasi lokasi. Tetapi tetap saja, pertahanan kita di sana masih belum bisa berbuat yang sepantasnya. Berikut juga fakta yang bisa memperlihatkan seperti apa porsi yang diberikan oleh kekuatan pertahanan kita di perbatasan. Fakta pada pukul 11.40 WITA, Jumat 26 Juni 2015. Mesin pesawat yang baru mendarat setelah melakukan PATROLI DI PERBATASAN itu tiba-tiba mati sebelum berhasil masuk ke dalam taxy way. Pesawat TNI AL itu kemudian ditarik secara manual oleh petugas bandara dan anggota TNI masuk ke area parkir pesawat. Butuh waktu sekitar 12 menit untuk bisa menarik badan pesawat ke area parkir pesawat. Untunglah kejadian tersebut tidak mengganggu jadwal penerbangan di Bandara Juwata Tarakan,” kata Kepala Bandara Juwata Tarakan, Syamsul Bandri waktu itu. Belum ada informasi resmi penyebab kejadian terhentinya pesawat TNI AL di landasan pacu Bandara Juwata. Namun diduga, mesin pesawat tersebut mengalami gangguan teknis. Dalam bahasa pertahanan, gangguan teknis itu bisa terjadi karena system perawatannya, jauh dari memadai. Semua itu memang kisah masa lalu. Kini suasananya sudah jauh berubah.
Ada juga secuil kebanggan, takkala TNI AU berhasil memaksa turun pesawat asing yang dipiloti seorang perwira Amerika Serikat (AS) di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) pada Senin (9/11/2015). Namun, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengaku adanya kealpaan, untuk segera menempatkan penjagaan di perbatasan negara di Tarakan, Kaltara.“Kalau orang melihat ada yang JAGA pasti tidak akan lewat situ. Jadi ada kesalahan juga selama ini kita tidak ada efek detterence (pencegahan) begitu. Kalau ditaruh (penjaga) di ujung-ujung kan kalau mau lewat pasti ngomong dia ‘kulo nuwun’. Kalau enggak ada orang (jaga) bagaimana mau kulo nuwun,” aku Ryamizard Ryacudu, di Jakarta, Rabu (11/11/2015). Menhan waktu itu, akan menempatkan satu flight atau 4-5 pesawat pesawat tempur bakal ditempatkan di wilayah itu. Menhan juga mengungkapkan, selain di Tarakan juga bakal dilakukan di Natuna, Kepulauan Riau, dan Papua. Daerah-daerah perbatasan itu merupakan daerah yang masih minim penempatan ALUTSISTA.
Baca Juga : Jalan Paralel Perbatasan, Peluang BerBisnis Jadi Menarik
Wilayah Ambalat termasuk dalam wilayah flash point di dua hal, pertama terkait wilayah perbatasan dan juga terkait ALKI. Kalau hal itu dikaitkan dengan analisa pertahanan maka wilayah itu patut diupayakan untuk melihatnya dari kacamata kepentingan Geopolitik, ditambah keterkaitan kualitas hubungan bilateral (multirateral) negara, dari dampak perkembangan lingkungan strategis dan kepentingan nasional negara pihak. Bagi Malaysia, kepentingan geopolitiknya sudah tertanam dengan kuat di wilayah itu. Untuk mendukung Kepentingan Nasional di wilayah tersebut, mereka telah menggelar kekuatan Tri Matra nya dengan baik sejak jauh-jauh hari di wilayah tersebut. Malaysia telah menjadikan wilayah itu sebagai Pusat Armada AL Timurnya, dan juga Pusat Pangkalan Kapal Selamnya. Semua lapangan Udara di wilayah perbatasannya dapat di darati oleh pesawat tempur dengan panjang landasan minimal 2650 meter. Mereka juga sudah menggelar meriam perbatasan 155 mm di sepanjang perbatasan dengan kata lain, pertahanan mereka sudah dikerjakan dengan baik dan sinergis dengan infrastruktur dan tata ruang wilayahnya.
Pertahanan Yang Baik Itu Kebutuhan
Kita harus bisa melihat bahwa hakekat Hubungan Bilateral dalam suatu issu harus bisa dilihat sebagai interaksi kepentingan Nasional dari dua negara pihak berupa spektrum memberi dan menerima dari titik ekstrim positif (aliansi) sampai dengan titik ekstrim negative (perang) untuk mencapai suatu posisi yang dapat diterima kedua negara pihak sesuai pertimbangan kepentingan nasionalnya. Sedangkan hakekat hubungan Bilateral adalah forum dimana masing-masing negara MENDESAKKAN KEPENTINGAN NASIONALNYA dengan maksud aliansi-aliansi adhoc yang secara dinamis berubah sesuai topik/subyek yang dibicarakan.Maka dalam hubungan interaksi dengan negara penting untuk dilihat hubungan multirateral yang ada, baik di tingkat regional maupun global.
Dalam era globalisasi telah terjadi perubahan yang mendasar sebagai danpak dari perkembangan lingkungan strategis. Diantaranya adalah fenomena Akselarasi, Amplifikasi, Asimeteri, Inkonsistensi, Koordinasi dll. Hal tersebut Nampak dalam wujud terorisme internasional, pengaruh CNN effect, outsourcing, menguatnya NGO dan hukum internasional termasuk interpensi kemanusiaan seperti yang terjadi di Irak, Tunisia, Mesir, Libya berupa intervensi NATO atas nama PBB. Saya hanya ingin mengatakan bahwa sejauh kepentingan nasionalnya para pihak di kawasan masih bisa di tolerir para pihak, maka tidak ada alasan untuk khawatir. Hanya saja, semakin banyak kepentingan nasional para pihak yang di paksakan untuk suatu wilayah, maka tidak ada lain harus ada upaya untuk lebih mempersiapkan atau memperkuat kekuatan pertahanan itu sendiri. Nah kalau itu intinya, maka sungguh banyak yang harus di benahi. Terlebih lagi kalau Ibu Kota RI nanti sudah di Paser Panajem Kalimantan Timur. Maka tiap provinsi di Kalimantan perlu punya Kodam, khususnya Kaltara, dan Kalteng sebagai prioritas. Perlu juga punya Kaveleri di Sambas, punya “pearl Harbour”nya RI di Tarakan dan punya satu Fliqh Pesawat Tempur di di Palangka Raya.
Masih banyak wilayah kedaulatan nasional yang belum terjaga secara semestinya. Misalnya di wilayah perbatasan Kemampuan monitoring (radar) TNI masih terbatas, dan integrasi dengan radar sipil juga masih belum jalan. Kemampuan Patroli juga masih sangat lemah khususnya di wilayah Flash Point. Seperti yang diutarakan oleh Menhan di tahun 2015 dahulu, bahwa perlu penempatan satu Fligh pesawat Tempur di Tarakan. Hingga kini nampaknya, masih seperti itu.