Saatnya Produk Indonesia Masuk Perbatasan

Saatnya Produk Indonesia Masuk Perbatasan

Oleh harmen batubara

Perbatasan kini tengah berbenah, kita sudah mulai melihat berbagai peluang yang bisa tumbuh dan berkembang di perbatasan. Kini saatnya untuk menghadirkan produk-produk Indonesia di perbatasan dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah. Bisakah itu? Secara logika bisa dan sangat bisa sekali. Pertama Indonesia tengah membangun Tol Laut (dan sudah jalan tapi belum optimal), seluruh perbatasan akan terjangkau tol laut; daerah yang tidak terjangkau tol laut akan dijangkau oleh tol Udara. Mari kita lihat contohnya. Untuk Sebatik dan Nunukan akan ada dua pelabuhan yang bakal disinggahi tol laut, yakni Pelabuhan SEI NYAMUK, Sebatik dan Pelabuhan TUNON TAKA Nunukan. Tol laut ini untuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) masuk dalam trayek delapan. Mulai dari Surabaya, Tanjung Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik. Nah untuk ke daerah pedalaman, minimal sebelum jalan paralel perbatasan bisa beroperasi maka akan dipakai Tol Udara. Saat ini tol udara masih fokus pada transfortasi BBM, tetapi kalau pemda dan Kemenhub bekerja sama, maka jelas akan bisa dikembangkan untuk jasa barang. Suatu peluang yang sangat potensil kalau Pemda bisa memanfaatkannya. Hal yang sama kini tengah di upayakan oleh Pemda Kalimantan Barat agar Pelabuhan Kijing di Mempawah bisa menjadi bagian Tol Laut. Kalau itu terjadi maka ia akan membuka jalan hingga ke Natuna dan sekitarnya.

Baca  Juga  :  Nicolaas Jouwe, Nick Messet Kembali Ke NKRI Membangun Papua

Masih ada rencana Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang akan merevitalisasi 11 ‎pasar di wilayah perbatasan. Untuk program tersebut, akan dialokasikan  anggaran revitalisasi sebesar Rp 950 juta untuk masing-masing pasar. Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM ‎Yuana Setyowati mengatakan( di kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta,18/1/2017) sangat penting untuk adanya perbaikan sarana usaha dan pasar yang baik di wilayah perbatasan. Karena selama ini banyak masyarakat di wilayah perbatasan lebih mudah berbelanja kebutuhan sehari-harinya di wilayah negara tetangga. Dari jauh kita bisa melihat; kalau hal-hal seperti ini tidak sinergis dengan peran Pemda setempat atau Pemda perbatasan, maka tentu saja program ini akan berjalan tidak optimal. Harapan kita Pemda melakukan “jemput bola” dan berkoordinasi dengan Kementerian terkait dan saling patungan membangunkan pasar serta sarana penunjangnya, sehingga manfaatnya bisa lebih optimal.

Pemda Memang Masih Terlihat Ragu

Meski idenya masih sangat “mengandalkan peran Pusat, BUMN dan Bulog” tetapi Provinsi Kaltara sudah berusaha untuk membawa produk Indonesia ke Perbatasan. Provinsi Kaltara mengusulkan tujuh Toko Indonesia yang akan tersebar di dua kabupaten perbatasan, yakni Nunukan dan Malinau.

NUNUKAN mengusulkan lima lokasi, yakni Sebatik, Long Bawan, Long Layu, Sei Semanggaris, dan Lumbis Ogong. Sedangkan MALINAU mengusulkan dua lokasi yakni Long Nawang dan Long Pujungan.

Waktu itu Gubernur Kaltara Irianto Lambrie mengatakan, tahun 2016, Pemprov Kaltara masih mengkaji lokasi penunjukkan pembangunan Toko Indonesia. Menurutnya, toko tersebut akan dibangun atas dasar kebutuhan masyarakat sekaligus peran sertanya dalam menggerakkan kegiatan perdagangan. “Itu sangat tergantung pada saat pelaksanaan. Sudah kita rencanakan anggaranannya. Ada yang prioritas, titik mana dulu yang sudah tidak bermasalah, masyarakatntya merespon baik, ada partisipasi, itu kita prioritaskan,” begitu penjelasannya waktu itu. Kita melihat Provinsi Kaltara yang dari awal menjadikan dirinya pengusung pembangunan untuk memberdayakan wilayah perbatasan. Tapi dalam realitasnya, masih saja seperti Pemda-pemda lainnya, kita belum melihat perannya dalam memajukan perbatasan. Yang mengemuka justeru Pemda berharap pada anggaran Pusat untuk membangun perbatasan, dan sedikit banyak Pemda ikut “kebagian” di dalamnya.

Perlu Role Model Bagi Pengembangan Perbatasan

Nawacita dengan semangat membangun mulai dari perbatasan, mulai dari daerah pinggiran kini telah menemukan “momen” yang cocok untuk lebih dioptimalkan. Pembangunan infrastruktur di perbatasan, mulai dari jalan paralel perbatasan, tol laut, tol udara dan pengembangan sarana dan prasarana PLBN di 9 lokasi telah membuat wilayah perbatasan jadi pusat ekonomi yang seksi. Pusat ekonomi kalau di kelola dengan baik akan bisa mengubah pradigma halaman depan bangsa. Kenapa tidak?

Dari pihak TNI sudah melihat urgensinya agar mereka  “menata ulang” gelar kekuatannya di wilayah perbatasan dan pemerintah memintanya. Baik bagi pengoptimalan kemampuan strategisnya dalam mengamankan NKRI maupun untuk lebih mendorong “tumbuhnya kehidupan ekonomi” di wilayah perbatasan. Bisa dibayangkan adanya satu Kompi, atau Batalyon yang digeser ke daerah perbatasan, pastilah akan memberikan dampak pertumbuhan ekonomi di sekitarnya.

Baca  Juga  :  Pengamanan Perbatasan Menjaga Kedaulatan

Kita juga melihat Kementerian Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai program unggulan untuk daerah Perbatasan. Begitu juga dengan BNPP mereka sudah punya Grand Design dalam mengembangkan daerah perbatasan dan tentu dengan beberapa Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya. Artinya “pola lama” tentang membangun perbatasan ini bisa jadi akan terulang lagi seperti masa lalu.

Pada masa itu ada 27 K/L yang masing-masing punya program unggulan untuk membangun wilayah perbatasan. Tetapi pada kenyataannya, setelah anggaran dibagi, mereka hanya konsern dengan “menghabiskan atau membelanjakan anggarannya masing-masing”, mereka tidak peduli lagi apakah program itu bermanfaat bagi pengembangan perbatasan  atau tidak. Hal itu bukan lagi urusan mereka. Hal-hal seperti itu, terus berulang dan berulang. Semua pejabat datang ke perbatasan-tinggal Malikat saja yang belum ke perbatasan. Itu “kredo” nya para sahabat dari Pulau Sebatik-Sementara perbatasan dan warga perbatasan hanya gigit jari. Tidak dapat apa-apa.

Karena itu kita ingin agar para pihak terkait, mau membuat “role model” pembangunan Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota Perbatasan yang sinergis.  Setelah modelnya jadi maka pemerintah tinggal menunjuk salah satu Kementerian yang akan mengeksekusinya. Sama dengan model seperti yang dilakukan oleh pemerintah dalam membangun infrastruktur perbatasan. Yang mempercayai dan menunjuk Kemen PUPR sebagai eksekutornya. Jangan sampai Pemda misalnya membuat program tetapi mengandalkan “anggaran” K/L lain. Pola-pola dana perbantuan, dana alokasi khusus Dll yang kalau jatuh ke tangan yang tidak “jujur” malah akan jadi biang korupsi berjamaah.

Harapan kita sebenarnya juga sederhana, sebelum membuat program yang terintegrasi dan melibatkan berbagai “stake holder”, atau bersamaan dengan program-program seperti itu kita ingin warga perbatasan di beri kemampuan untuk berproduksi dan punya produksi.

Kita ingin pemerintah memberdayakan rakyat perbatasannya terlebih dahulu, memberikan mereka kemampuan untuk berproduksi, jangan lagi hanya jadi “peramu” yang mengandalkan hidupnya pada kemurahan alam? Atau semacam petani nomaden, petani yang sepenuhnya tergantung kemurahan alam. Caranya persis dengan pola transmigrasi itu. Tetapi khusus untuk warga lokal. Warga miskin di desa tertinggal dan desa perbatasan itu diberi lahan pertanian, bisa kebun bisa sawah minimal 2 Ha per KK, di lahan itu dibuatkan rumah untuk mereka, lahannya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit, diberikan pupuk, diberikan obat hama, diberikan alat-alat pertanian atau perkebunan dengan model untuk indipidu, kelompok dll. Sarana jalan di buka, sarana pusar dibuatkan.

Hal seperti inilah yang perlu dikembangkan di desa-desa perbatasan pilihan, desa-desa wilayah perbatasan meliputi 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang,  dan Kapuas Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten di  Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan (2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km; Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Kota Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang ± 300km.

Dalam hati saya selalu bertanya, kenapa Pemda Wilayah Perbatasan, BNPP, Kementerian Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  dan K/L lainnya tidak membuat program seperti itu. Dalam hati saya juga paham. Karena K/L itu memang mencari atau membuat program yang ada kaitannya dengan K/L mereka. Kalau tidak ada ya tentu tidak ada gunanya K/L bagi pengembangan perbatasan. Karena itu kita setuju. Pemerintah membuat Model pengembangan Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota perbatasan “as it is”. Maksudnya perbatasan sesuai dengan dimana lokasi dan seperti apa kemampuan SDM dan SDA nya. Setelah itu baru di tunjuk satu K/L untuk mengeksekusi dan sekaligus menjadikannya role model percontohan. Kalau ternyata nantinya cocok dan berhasil, maka barulah pembangunan perbatasan di lakukan dalam skala yang lebih besar.