Meningkatkan Ekonomi Warga Perbatasan

Meningkatkan Ekonomi Warga Perbatasan

Oleh harmen batubara

Pemerintah sudah selesai membangun simbol simbol kedaulatan Negara berupa pembagunan kembali 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di perbatasan. Adapun ke 7 PLBN itu meliputi PLBN Motaain, Motamasin, dan Wini di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian di Kalimantan Barat ada Aruk, Nanga Badau dan Entikong, dan di Papua ada di Skouw. Sebenarnya ke 7 PLBN tersebut sebelumnya sudah ada namun dianggap tidak layak sehingga diratakan dan kemudian dibangun baru. Selain 7 PLBN  tersebut, ada tambahan 2 PLBN lagi yang akan diperbaiki yaitu PLBN Oupoli dan Waris yang masih dalam tahap Pra Design. Konsepnya sudah jelas, membangun Infrastruktur di perbatasan dimulai dari sekitar PLBN, jalan raya, tol laut dan tol udara serta infrastruktur yang bisa mempercepat pengembangan Kawasan Perbatasan, seperti pasar, perumahan, dll.

Pembangunan Perbatasan Di Era Nawa Cita
Pembangunan Perbatasan Di Era Nawa Cita

Jelasnya demikian : Untuk setiap pembangunan PLBN pada tahap pertama yang dibangun adalah bangunan utama, pos lintas kendaraan pemeriksaan, bangunan pemeriksaan kargo, bangunan utilitas (rumah pompa & power house), monumen, gerbang kedatangan dan keberangkatan, sarana jalan pendukung, lansekap dan jalur pedestrian yang selanjutnya disebut dengan zona inti. Kemudian akan dibangun di zona sub inti dan zona pendukung yaitu area parkir, bangunan kantor PLBN, mess pegawai, klinik, pasar tematik, food court dan rest area, wisma Indonesia dan Masjid.

Perbatasan Sebagai Hub Ekspor-Impor Internasional

Indonesia yang berada diantara perdagangan dua Samudra dan dua Benua Dunia belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari lokasi pintu-pintu Ekspor-Impor yang ada termasuk dengan adanya keinginan untuk menjadikan PLBN Perbatasan sebagai bagian pintu perdagangan dengan fasilitas Ekspor-Impor.  Faktanya fasilitas ekspor-impor hingga saat ini masih terbatas dan itupun numpuk di Pulau Jawa. Sarana dan keperluan ekspor atau impor di kawasan tengah dan timur Indonesia semuanya masih harus dilakukan melalui pelabuhan di Jakarta, Surabaya, atau Semarang. Misalnya kalau ada para pebisnis CPO Kelapa sawit yang akan mengekspor hasilnya keluar negeri mereka harus mengurusnya ke Jawa. Bayangkan berapa besarnya biaya yang akan jadi beban tambahan para pebisnis seperti mereka, kalau mereka berbisnis di Sumatera sebelah barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Suatu ironi yang amat sangat.

Baca Juga : Tol Udara di Perbatasan

Kalau hal ini kita kaitkan dengan pembangunan PLBN di wilayah perbatasan, nampaknya memang polanya masih ikut pola lama. Kita tahu, PLBN Tipe A, yaitu gerbang lintas batas negara yang dilengkapi dengan CIQ dan status keimigrasianya dinyatakan sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi, dimana pagi para pelintas batas diwajibkan menggunakan dokumen paspor atau pas lintas batas bagi penduduk kecamatan perbatasan. Tapi apakah mereka mempunyai otoritas dalam hal ekspor-impor?  Fasilitas untuk hal seperti itu belum dibuat. PLBN kita itu masih bagian dari kepentingan dalam negeri sendiri. Misalnya kalau ada para eksportis di Kalimantan yang mau ekspor, maka jelas PLBN Entikong nggak bisa berbuat apa-apa. Mereka harus mengurusnya ke Jakarta atau bergantung sepenuhnya pada negara tetangga, yakni lewat Tebedu Inland Port yang berjarak 1.5 km dari PLBN Entikong. Dalam hati kita ada pertanyaan, apakah dari awal para desainernya PLBN ini tidak berpikir sampai disana ya? Atau malah mereka tidak pernah berpikir sampai di sana? Tetapi karena hal seperti itu ada pada kewenangan Kementerian Perhubungan, maka hal itu perlu di tata ulang.

Kita berharap PLBN fungsinya jangan hanya seperti pos jaga biasa yang diembel-embel Internasional. Maksudnya. Apa maknanya kita punya PLBN tetapi ternyata tidak punya sarana dan fasilitas untuk ekspor dan impor. Sementara negara tetangga kita sudah membangun dan mempersiapkannya lima tahun yang lalu. Meski terlambat harapan kita, jangan sampai nantinya PLBN kita itu megah terlihat secara fisik, tetapi ternyata nggak punya fungsi yang bermakna atau malah hanya menjadi pemasok bagi kepentingan perdagangan negara tetangga. Barang, kita yang punya tapi untung dan nama baik tetangga yang dapat.

Pastikan Produk Indonesia Unggul di Perbatasan

Kini sudah saatnya untuk menghadirkan produk-produk Indonesia di perbatasan dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah. Bisakah itu? Secara logika bisa dan sangat bisa sekali. Pertama Indonesia tengah membangun Tol Laut (sudah jalan tapi belum optimal), seluruh perbatasan akan terjangkau tol laut; daerah yang tidak terjangkau tol laut akan dijangkau oleh tol Udara. Mari kita lihat contohnya. Untuk Sebatik dan Nunukan akan ada dua pelabuhan yang bakal disinggahi tol laut, yakni Pelabuhan SEI NYAMUK, Sebatik dan Pelabuhan TUNON TAKA Nunukan. Tol laut ini untuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) masuk dalam trayek delapan. Mulai dari Surabaya, Tanjung Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik.

Nah untuk ke daerah pedalaman, minimal sebelum jalan paralel perbatasan bisa beroperasi maka akan dipakai Tol Udara. Saat ini tol udara masih fokus pada transfortasi BBM, tetapi kalau pemda dan Kemenhub bekerja sama, maka jelas akan bisa dikembangkan untuk jasa barang. Suatu peluang yang sangat potensil kalau Pemda bisa memanfaatkannya. Hal yang sama kini tengah di upayakan oleh Pemda Kalimantan Barat agar Pelabuhan Kijing di Mempawah bisa menjadi bagian Tol Laut. Kalau itu terjadi maka ia akan membuka jalan hingga ke Natuna dan sekitarnya.

Kalau hal ini kita terapkan di Papua, tentu akan jauh lebih menarik lagi. Pasar Skow kian menarik karena dinamika perkembangan infrastruktur di Kota Jayapura, khususnya dengan pembangunan jembatan Hammadi-Holtekamp yang akan memperpendek waktu tempuh ke perbatasan. Waktu tempuh itu bisa setengah jam dari Jayapura (dibandingka bila lewat Abepura jalan lama yang butuh waktu 2 jam) dan sekaligus akan menjadikan daerah perbatasan khususnya distrik Muara Tami akan semakin cocok jadi tempat tinggal. Pasalnya setelah jembatan Hamadi-Holtekamp selesai dibangun (diperkirakan tahun 2017 atau awal 2018), distrik tersebut akan menjadi tempat hunian menarik bagi masyarakat kota Jayapura. Kini Pemda  tengah berbenah melakukan penyiapan infrastruktur dengan akselerasi yang terukur dan cepat.  Muara Tami akan bisa menjadi penerapan konsep pembangunan infrastruktur modern yang nyaman bagi warganya.

Baca Pula : PLBN Entikong Mmembuka Potensi Ekspor KalBar

Hal lain yang membuat pasar Skouw atau pintu perbatasan jadi objek yang lebih menarik lagi adalah dengan mengembangkan potensi wilayah ini dengan objek menarik di sekitarnya. Bisa lewat jaringan wisata alam atau wisata belanja. Kalu wisata alam tentu dengan mengkoneksikannya dengan lokasi-lokasi wisata alam di sekitarnya, baik dengan pantai Holtekamp, Base-G,  danau Sentani atau Kampung Tablanusu dll. Kalau wisata belanja dengan mengaitkannya dengan lokasi-lokasi belanja yang ada di sekitar Jayapura seperti :  pasar Ampera, pasar Hamadi, pasar Entrop (Kelapa Dua) dan pasar Youtefa tetapi ini harus dimulai dengan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang seperti seperti sarana jalan dan transportasi, air bersih, sanitasi, fasilitas pasar yang baik, serta terminal penghubung, dan lain- lain. Sarana yang memang diperlukan untuk pengembangan sebuah kota yang baik.

Kalau sekarang ini, maka yang jadi penghalang utama berkembangnya pasar Skouw di perbatasan adalah minimnya sarana penunjang. Khususnya sarana air besih, listrik dan terminal. Ketika pasar itu terbakar pada bulan agustus 2016 lalu, nggak ada petugas Damkar yang datang untuk membantu. Mereka ganya bisa menyelamatkan harta dagangan mereka seadanya saja.  Dalam hal seperti ini, kerja sama antar daerah, misalnya antara Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom akan sangat besar manfaatnya khususnya dalam pengembangan pasar Skow di perbatasan.

Membangun Kemampuan Ekonomi Warga Perbatasan

Di tengah berbagai informasi yang menggembirakan terkait pembangunan Perbatasan. Harapan kita sebenarnya juga sederhana, sebelum membuat program yang terintegrasi dan melibatkan berbagai “stake holder”, atau bersamaan dengan program-program seperti itu kita ingin warga perbatasan di beri kemampuan untuk punya kemampuan berproduksi dan punya produksi. Kita ingin pemerintah memberdayakan rakyat perbatasannya terlebih dahulu, memberikan mereka kemampuan untuk berproduksi, jangan lagi hanya jadi “peramu” yang mengandalkan hidupnya pada kemurahan alam? Atau semacam petani nomaden, petani yang sepenuhnya tergantung kemurahan alam.

Caranya? Caranya persis dengan pola transmigrasi itu. Tetapi khusus untuk warga lokal. Warga miskin di desa tertinggal dan desa perbatasan itu diberi lahan pertanian, bisa kebun bisa sawah minimal 2 Ha per KK, di lahan itu dibuatkan rumah untuk mereka, lahannya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit, diberikan pupuk, diberikan obat hama, diberikan alat-alat pertanian atau perkebunan dengan model untuk indipidu, kelompok dll. Sarana jalan di buka, sarana pusar dibuatkan.

Hal seperti inilah yang perlu dikembangkan di desa-desa perbatasan pilihan, desa-desa wilayah perbatasan meliputi 5 Kabupaten di Kalimantan Barat ( Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang,  dan Kapuas Hulu) berbatasan dengan Sarawak Malaysia sepanjang 966 km; satu (1) kabupaten di  Kalimantan Timur ( Kutai Barat) dan (2) kabupaten di Kalimantan Utara (Malinau, Nunukan) berbatasan dengan Sabah, Malaysia sepanjang 1038 km; Lima (5) Kabupaten/Kota di Papua (Kota Jayapura, Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul dan Merauke) berbatasan dengan Papua Nugini sepanjang 820 km ; dan Tiga(3)  kabupaten di Nusatenggara Timur (Belu, Kupang dan Timor Tengah Utara) berbatasan dengan Timor Leste sepanjang ± 300km.

Dalam hati saya selalu bertanya, kenapa Pemda Wilayah Perbatasan, BNPP, Kementerian Desa Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi  dan K/L lainnya tidak membuat program seperti itu. Dalam hati saya juga paham. Karena K/L itu memang mencari atau membuat program yang ada kaitannya dengan K/L mereka. Kalau tidak ada ya tentu tidak ada gunanya K/L bagi pengembangan perbatasan. Karena itu kita setuju. Pemerintah membuat Model pengembangan Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota perbatasan “as it is”. Maksudnya perbatasan sesuai dengan dimana lokasi dan seperti apa kemampuan SDM dan SDA nya. Setelah itu baru di tunjuk satu K/L untuk mengeksekusi dan sekaligus menjadikannya role model percontohan. Kalau ternyata nantinya cocok dan berhasil, maka barulah pembangunan perbatasan di lakukan dalam skala yang lebih besar.