Oleh Harmen Batubara
Pada Desember 2020 ini ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai perkembangan permasalahan terkait OPM. Di satu sisi Pemerintah Indonesia sudah bisa membaca bahwa Desember akan dimanfaatkan oleh OPM untuk berbuat sesuatu demi memperlihatkan eksistensi mereka. Karena itu Pemerintah tidak akan mau melayaninya. Tetapi menjaga dengan ketat posisi posisi tertentu yang akan dipergunakan oleh OPM untuk menjalankan aksinya. Para warga juga menyerukan agar OPM tidak menebar kerusuhan. Sebab yang rugi adalah rugi bersama. Hal itu bisa kita dengar dari Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpaw, ia mengatakan, pemerintah Papua dan Papua Barat tidak mengizinkan adanya kegiatan OPM, termasuk perayaan HUT OPM, karena hal itu menganggu kedaulatan Republik Indonesia, Dia menegaskan pihaknya tidak akan mentolelir adanya aktivitas yang berlawanan dengan kepentingan negara. “Dan akan menindak tegas kalau ada kerumunan massa dalam perayaan HUT 1 Desember, sebab situasinya masih dalam masa pandemi covid 19,” ujar Paulus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/11/2020).
Menurut Paulus, tokoh agama yang berada di Indonesia bagian timur tersebut juga menghimbau masyarakat tidak turut dalam perayaan kegiatan yang melawan kedaulatan Indonesia tersebut. “OPM sebenarnya bukan berjuang atas nama Papua, melainkan mereka adalah segelintir orang yang dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan asing dan menuntut Papua berpisah dari NKRI. Rakyat pun menolak keberadaan kelompok separatis ini,” tegas Paulus. “Rakyat menolak dengan tegas keberadaan kelompok separatis yang sering menyengsarakan masyarakat dan menghambat pembangunan,” tandasnya. Paulus juga meminta masyarakat menjaga Papua untuk tetap berada dalam bingkai NKRI. “NKRI sudah final dan Papua tetap berada di NKRI,” tambahnya. Lebih lanjut Paulus mengajak segenap warga di Provinsi Papua menjaga kedamaian dan hidup rukun. Maka itu, katanya, semua komponen masyarakat harus menghormati aturan dan prosedur yang telah di keluarkan oleh pemerintah daerah agar situasi di Papua akan tetap kondusif.
Baca Juga : Bersinergi Menjaga Kedaulatan Negara
Hal lain yang menarik adalah Deklarasi yang dilakukan Benny Wenda. Pada 1 Desember 2020 Benny mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Interim Papua Barat. Tapi Pendeklarasian pembentukan pemerintah sementara Papua Barat oleh pentolan ULMWP, Benny Wenda, dinilai tak berdasar oleh OPM. Pendeklarasian pembentukan pemerintah sementara Papua Barat itu langsung mendapat respons dari pihak Manajemen Markas Pusat Komnas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM). Mereka menyatakan, tidak mengakui klaim Benny tersebut dan melakukan mosi tidak percaya.
“TPNPB tidak akui klaim Benny Wenda, karena Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat Bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi,” ungkap Juru Bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom, kepada Republika, Rabu (2/12).
Sebby juga mengatakan, klaim Benny sebagai Presiden sementara Papua Barat merupakan bentuk kegagalan ULMWP dan Benny sendiri. TPNPB OPM tidak bisa mengakui klain Benny karena dia warga negara Inggris. Menurut Sebby, warga negara asing tidak bisa menjadi Presiden Papua Barat. OPM bahkan menilai Benny Wenda bertentangan dengan prinsip revolusi bagi Papua Barat. Sebby juga menyatakan, TPNPB OPM mengumumkan MOSI TIDAK PERCAYA kepada Benny karena Benny dinilai merusak persatuan dalam perjuangan bangsa Papua. “Juga diketahui, Benny Wenda kerja kepentingan kapitalis asing Uni Eropa, Amerika dan Australia. Dan hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip revolusi untuk kemerdekaan bagi bangsa Papua,” kata dia.
Dilihat dari Hukum Internasional, masalahnya jadi lebih jelas. “Di dalam hukum internasional, deklarasi ini tidak ada dasarnya. Dan karena itu, tidak diakui oleh negara lain,” ujar pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, dalam keterangan pers yang dikirimkan oleh Pusat Penerangan TNI, Rabu (2/12). Hikmahanto menilai, dukungan negara-negara pasifik yang selama ini ditunjukkan terhadap gerakan mereka tidak dapat menjadi tolok ukur. Menurut dia, hal tersebut akan mengganggu hubungan antar negara. Karena itu, dia menyarankan pemerintah untuk mengabaikan manuver tersebut. “Bahkan, bila perlu, Polri melakukan penegakan hukum, mengingat hal tersebut dikualifikasikan sebagai tindakan makar,” kata dia.
Hal lainnya adalah adanya puluhan orang yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia (AMPTPI), menggelar aksi di sisi barat Monas, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Desember 2020. Aksi ini mereka gelar dalam rangka memperingati ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM), 1 Desember.
“Kami menyerukan pada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua, mengajak rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri,” ujar mereka, dalam keterangan resminya, 1 Desember 2020. Aksi digelar dengan pengamanan dari Polri di sekitar mereka. Hampir semua peserta aksi mengenakan masker. Tak terlihat adanya Bendera Bintang Kejora dikibarkan dalam aksi ini. Namun beberapa peserta, nampak mengenakan atribut yang senada dengan warna bendera simbol kemerdekaan Papua tersebut. Aksi pun dilanjutkan dengan Tarian Wisisi, tarian adat khas Papua. Mereka menari setengah berlari bersama dalam formasi lingkaran, kemudian berkumpul sambil bernyanyi bersama. Acara ditutup dengan pembacaan doa bersama.
Baca Juga : TNI Perlu Punya KoopSus Separatisme
Bagi Polda Papua, Paulus menambahkan ada delapan titik rawan yang akan mendapat perhatian serius dalam proses pengamanan peringatan ulang tahun OPM . “Beberapa daerah yang menjadi atensi kami itu Jayapura karena ibu kota provinsi, Sentani (bandara), kemudian Timika, kemudian Wamena yang kejadian kemarin (kerusuhan), lalu beberapa daerah yang di luar itu, Nabire, Intan Jaya yang kemarin sempat ada konflik sedikit. Juga daerah pedalaman, pegunungan, seperti Puncak Jaya, kemudian Tolikara, juga Yahukimo,” kata Paulus.
Karena itu, menurut Paulus, pihaknya akan menerjunkan kekuatan penuh untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk bantuan lima ribu personel Brimob dari 14 Polda yang diperbantukan sejak kerusuhan melanda Jayapura dan Wamena beberapa waktu lalu. Sehingga total pasukan pengamanan menjelang peringatan ulang tahun OPM sekitar 17 ribu personel.
Paulus menegaskan OPM akan terus berusaha memanfaatkan momentum 1 Desember buat memicu kerusuhan sebagai bagian dari upaya membentuk opini ke masyarakat internasional bahwa ada sekelompok masyarakat Papua yang merayakan kemerdekaan Papua tapi aksi tersebut dihadang oleh petugas.
Dia telah mengimbau kepada para aktivis OPM untuk tidak melakukan tindakan anarkis pada 1 Desember, dan menyerukan untuk menggelar doa bersama dan ibadah terbatas di kelompok mereka saja. Paulus kembali memperingatkan para pendukung OPM untuk tidak mengibarkan bendera Bintang Kejra. Paulus menegaskan akan menangkap siapa saja pengibar Bintang Kejora dan menyita bendera tersebut. Alasannya, pengibaran Bintang Kejora merupakan upaya menyatakan ada negara berdaulat bernama Papua Barat di dalam wilayah Indonesia dan hal itu tidak dapat dibenarkan. Rencana strategis jangka panjang dalam menghadapi gerakan Papua merdeka, Paulus menyatakan akan mengajak bicara dan bertukar pikiran para aktivis dan pendukung OPM. Setelah itu baru membahas hasil tukar pandangan dengan para pendukung OPM tersebut kepada pemerintah daerah dan pusat. Suatu hal yang dianggap bisa menjadi jembatan bagi munculnya semangat kebersamaan dalam kerangkan membangun Papua yang ber NKRI.