Batas Menghadirkan Kemakmuran Di Perbatasan. Miskinnya wilayah perbatasan sesungguhnya bukanlah semata karena lokasi geografisnya yang jauh dari Ibu Kota. Tetapi sejatinya, penyebab kemiskinan dan kemakmuran suatu negara bukan terletak di sana. Bukan karena kondisi tanahnya, bukan karena lokasi geografinya, melainkan pada pelembagaan ekonomi politik yang diciptakan. Pelembagaan ekonomi dan politik inklusif menjadi tantangan bagaimana interaksi kekuatan ekonomi, politik, dan pilihan kebijakan.
Bersinergi membawa perubahan dan inovasi progresif sesuai harapan. Kajian terkait hal itu sudah lama ada dan juga belum menemukan jawaban yang pas. Sebuah negara menjadi miskin bukan lantaran kondisi geografi, bukan karena apa-apa, melainkan karena para pemimpinnya yang tak tahu kebijakan apa yang tepat untuk memberdayakan warga dan wilayahnya. Kemakmuran dan kemiskinan ditentukan insentif kebijakan yang mendukung kemakmuran.
Dalam visi Mahatma Gandhi[1] misalnya. Desa harus mampu menyediakan akses pendidikan, peluang ekonomi, dan menciptakan lapangan pekerjaan yang mendorong pertumbuhan perekonomian. Bukan semata penumpukan modal. Desa pinggiran India yang diimpikan adalah komunitas kecil dengan standar gaya hidup dan layanan peradaban modern yang akrab dengan industri kapitalisme. Tetapi apa yang terjadi? Visi Gandhi tentang bangsa, spiritualitas, dan transformasi sosial dari desa. Tak pernah diimplementasikan secara luas oleh penerus pemerintahannya, dari Nehru hingga Modi.
Menghadirkan Kemakmuran Di Desa Desa Perbatasan.
Prospek desa kalah dengan gebyar kemilau India baru yang melaju dengan kemajuan teknologi informasi, otomotif, dan start-up, bintang-bintang Bollywood, dan konsumen barang mewah. Warga tak lagi bermigrasi dari desa ke kota di India, tetapi dari Punjab ke Paris, dari Bombay ke New York, atau dari Kalkuta ke London. Pertama kali dalam sejarah, separuh populasi dunia sekarang tinggal di kota. Pada 1900 hanya 10 persen, pada 2050 diprediksi mencapai 75 persen.
Baca Juga : Jadikan Produk Indonesia Primadona Di Perbatasan
Membangun Dari Pinggiran Indonesia juga punya impian tentang membangun Desa agar sejahtera, dan yang perlu di implementasikan dengan konsep pembangunan dari pinggiran (perbatasan). Meski Otonomi daerah secara formal telah diterapkan. Namun, nyatanya, sejumlah daerah dan desa terlebih lagi di perbatasan masih miskin. Para “bunga desa” atau kaum perempuannya masih harus merantau ke luar negeri untuk menjadi ASISTEN RUMAH TANGGA. Pemudanya pergi ke kota-kota besar untuk “NGULI”. Sebab, dan selama ini mereka tidak punya pilihan, tak ada perputaran uang di desa. Tak ada harapan di desa, bahkan seolah tak ada kehidupan di desa. Sebab itulah.
Membangun dari pinggiran adalah gagasan yang berpihak pada moral dan keadilan. Namun. Gagasan itu kini masih sebuah perjuangan. Saat ini kondisi faktual memperlihatkan bahwa gagasan membangun dari pinggiran meski belum sepenuhnya terealisasi di daerah dan desa-desa. Sejumlah indikator obyektif menunjukkan adanya indikasi keberhasilan. Indikator pertama pada 2015, tingkat inflasi turun drastis menjadi 3,35 persen, malah pada 2016 mencatatkan tingkat inflasi paling rendah yaitu sebesar 3,02 persen (inflasi 2016) menjadi yang terendah sejak 2010.
Berkolaborasi Menghadirkan Kemakmuran Di Perbatasan.
Indikator Kedua, kesejahteraan petani dan Nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani sudah mulai membaik. Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional, Winarno Tohir, walaupun tingkat kemiskinan stagnasi atau bertambah sedikit. Tapi kemiskinan di pedesaan turun 181,29 ribu orang yaitu 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017. “Itu artinya ada perbaikan kemiskinan di perdesaan yang umumnya merupakan masyarakat petani”, kata Winarno dalam keterangan tertulis dari Kementan, Rabu (19/7/2017).
Ketiga, berdasarkan data Kementerian Desa, pada 2016, dana desa meningkat menjadi Rp 46,98 triliun dan rata-rata dana desa per desa sebesar Rp 643,6 juta. Dalam APBN 2017, alokasi dana mencapai Rp 60 triliun, dengan rata-rata per desa mendapat Rp 800,4 juta. Sementara pada anggaran 2018, alokasi dana desa rencananya meningkat menjadi Rp 120 triliun, dengan rata-rata per desa sebesar Rp 1,4 miliar. Memang kita belum melihat realisasi nya seperti apa. Tetapi dari berbagai upaya pengawasan dan pencegahan diharapkan dana desa ini akan mampu memberikan stimulant dalam menggerakkan ekonomi perdesaan.
Baca Pula : Perkuat Ekonomi Warga Perbatasan
Meski demikian, berdasarkan data Litbang Kompas, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 134 kabupaten/kota di wilayah perbatasan, 74 persen ada di bawah rata-rata IPM nasional tahun 2015 yang ada di angka 69,55. IPM memperhitungkan tiga unsur, yakni usia dan kesehatan, pengetahuan, serta standar hidup layak. Kendati secara umum IPM di daerah perbatasan lebih rendah dibandingkan dengan IPM nasional, kehadiran negara mulai dirasakan warga di tiga perbatasan yang dikunjungi Kompas.
Bersama Menghadirkan Kemakmuran Di Perbatasan.
Di Krayan, pada 2016, depo Pertamina dibangun. Sebelumnya, warga bergantung pada BBM dari Malaysia. Di Skouw, selain membangun PLBN, pemerintah juga memperbaiki jalan menuju kampung-kampung di Distrik Muara Tami yang berbatasan dengan PNG. Sejak tahun 2015, Kampung Skouw Sae, Skouw Yambe, dan Skouw Mabo di Distrik Muara Tami teraliri listrik 24 jam.
Memerlukan Sinergitas Para Pihak Negara kepulauan Indonesia memiliki perbatasan di 134 kabupaten/kota dan sekaligus menjadi wilayah terluar. Batas tersebut terdiri dari batas yang ada di wilayah darat dan laut. Dalam kurun tahun 2015 hingga 2019, pemerintah akan memperbaiki wajah perbatasan Indonesia. Targetnya adalah mengembangkan 10 pusat kawasan strategis nasional (PKSN) dari 26 PKSN, memperbaiki lokasi perbatasan di 41 kabupaten/kota dari 134 kabupaten/kota.
Pemerintah juga sudah dan tengah membangun jalan raya paralel perbatasan. Diharapkan dengan adanya jalan ini, kendaraan logistik bisa melintas dan barang lokal RI bisa dibawa menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Tidak hanya itu, pemerintah kini sudah selesai membangun berbagai infrastruktur di perbatasan. Mulai dari rehabilitasi dan pembaharuan Pos-pos PLBN, Pasar Tradisional, layanan Tol Laut dan Tol Udara. Dalam hal Tol Laut misalnya meski belum optimal, seluruh perbatasan akan terjangkau tol laut. Daerah yang tidak terjangkau tol laut akan dijangkau oleh tol Udara.
Membuka Isolasi Menghadirkan Kemakmuran Di Perbatasan.
Mari kita lihat contohnya. Untuk Sebatik dan Nunukan akan ada dua pelabuhan yang bakal disinggahi tol laut, yakni Pelabuhan SEI NYAMUK, Sebatik dan Pelabuhan TUNON TAKA Nunukan. Untuk wilayah Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) masuk dalam trayek delapan. Mulai dari Surabaya, Tanjung Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik. Nah untuk ke daerah pedalaman, minimal sebelum jalan paralel perbatasan bisa beroperasi maka akan dipakai Tol Udara. Saat ini tol udara masih fokus pada transfortasi BBM, tetapi kalau pemda dan Kemenhub bekerja sama. Maka jelas akan bisa dikembangkan untuk jasa barang. Suatu peluang yang sangat potensil kalau Pemda bisa memanfaatkannya.
Pemerintah juga telah menyelesaikan membangunan tujuh pos lintas batas negara (PLBN) dan hingga tahun 2019 akan dibangun lagi sembilan PLBN. Tujuh PLBN yang sudah dibangun itu adalah PLBN Aruk, Kabupaten Sambas (Kalbar). Pos PLBN Kabupaten Entikong (Kalbar). Sarana PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu (Kalbar). Pos PLBN Motaain, Kabupaten Belu (Nusa Tenggara Timur). Kantor PLBN Motamasin, Kabupaten Malaka (NTT). Sarana PLBN Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT). Dan Pos PLBN Skouw, Kota Jayapura (Papua).
Bukan itu saja pemerintah juga lewat Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) akan merevitalisasi 11 pasar di wilayah perbatasan. Untuk program tersebut, akan dialokasikan anggaran revitalisasi sebesar Rp 950 juta untuk masing-masing pasar.
Kerja Sama Menghadirkan Kemakmuran Di Perbatasan.
Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Setyowati mengatakan, Jakarta,18/1/2017. Sangat penting untuk adanya perbaikan sarana usaha dan pasar yang baik di wilayah perbatasan. Selama ini warga masyarakat di wilayah perbatasan lebih mudah berbelanja kebutuhan sehari-harinya di wilayah negara tetangga dari pada di wilayah sendiri.
Semua upaya ini akan tidak maksimal kalau tidak sinergis dengan peran Pemda setempat atau Pemda perbatasan, maka tentu saja program ini akan berjalan tidak optimal. Harapan kita Pemda melakukan “jemput bola” dan berkoordinasi dengan Kementerian terkait dan saling patungan membangunkan pasar serta sarana penunjangnya, sehingga manfaatnya bisa lebih optimal. Dalam pandangan kita kesempatan seperti ini akan sayang sekali bila Pemda perbatasan hanya berpangku tangan dan sangat disayangkan kalau hanya terbelenggu dengan slogan tidak punya anggaran. Yang jelas, pemerintah sudah melakukan pembangu
nan perbatasan dengan skala dan eskalasi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Pemerintah telah membangun 9 PLBN dengan versi baru yang ramah bagi kegiatan perdagangan di perbatasan di seluruh Indonesia.
Presiden juga ingin agar TNI memperhatikan “gelar kekuatannya” terkait perbatasan. Baik untuk memperkuat efektivitas daya gerak kekuatan TNI sendiri, juga yang tidak kalah pentingnya untuk ikut merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Bila semua ini bisa sinergi maka upaya mewujutkan kesejahteraan di Perbatasan diyakini akan terwujut. [1] Imam Cahyono, Peneliti Senior Maarif Institute for Culture and Humanity Kompas, 29 Agustus 2015