Konflik Laut China Selatan, Bisakah China Dilumpuhkan

Konflik Laut China Selatan, Bisakah China Dilumpuhkan

Oleh  : Harmen Batubara

Apakah AS-China akan tertakdir untuk perang? Apakah Amerika dan sekutunya bisa melihat China jadi kekuatan Ekonomi nomor satu Dunia?  Apakah  munculnya China, ” hanya menjadikan Amerika itu  hanya sekedar  cemburu.” Seperti yang sering disampaikan oleh Mearsheimer  di berbagai forum diskusinya.  Dana Moneter International (IMF) pada 2014 menyatakan, produk domestik bruto (PDB) China berdasarkan purchasing power parity (PPPs) sebesar 17,6 triliun dollar AS, mengalahkan AS dengan PDB 17,4 triliun dollar AS. Kalau China tidak bisa di tekuk di Laut China Selatan, maka ia akan menjadi Negara SuperPower sejati. Masalahnya apakah ia akan memberikan tatanan Dunia baru yang lebih pro kebersamaan? Selama ini dunia barat mengambil “harta kekayaan SDA” Negara miskin tanpa basa basi. Mereka bisa ganti rejimnya kapan saja mereka mau? Apakah China akan datang dengan bantuan Ekonominya? Tetapi kemudian dengan berbagai cara “mengambil alihnya”? Semuanya memang belum terjadi.

Amerika Serikat (AS) menolak klaim maritim China atas kawasan Laut China Selatan (LCS) dan  juga menuduh Beijing telah menindas negara-negara yang memiliki klaim di kawasan tersebut. Penolakan Amerika atas klaim maritim China itu disampaikan Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dalam sebuah pernyataan.”Kami memperjelas; klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan sepenuhnya melanggar hukum, seperti kampanye penindasan untuk mengenda likannya,” kata Pompeo, seperti dikutip NPR, Selasa (14/7/2020). Amerika Serikat, memang telah menandatangani UNCLOS tapi belum meratifikasinya. Selama ini seringkali bergantung pada kesepakatan internasional untuk menyelesaikan sengketa teritorial.

Konflik Laut China Selatan, Bisakah China Diandalkan
Konflik Laut China Selatan, Bisakah China Diandalkan

China mengklaim kedaulatan atas sebagian besar  Laut China Selatan dan dalam beberapa tahun terakhir telah membangun pulau buatan dan memperluasnya untuk memperkuat klaimnya. Beijing juga telah membangun jalur udara, dermaga dan fasilitas militer di beberapa pulau pulau tersebut dan menegaskan klaim maritimnya.

Klaim teritorial Beijing digambarkan pada peta China dengan apa yang disebut “Nine-Dash Line”, garis melengkung putus-putus ke bawah yang meliputi sebagian besar Laut China Selatan.Pada zamannya sesungguhnya cara kalaim suatu wilayah juga masih sederhana.  Pertama temukan wilayahnya, tentukan batas kira-kiranya dan “Declare” umumkan bahwa wilayah tersebut sebagai miliknya. Selesai. Kalau ada yang complain, ya bicarakan kalau tidak ya perang. Itu saja. Hal seperti itu dilakukan oleh Jerman di Papua. Deklare nya juga sederhana. Wilayah Papua yang tidak masuk Inggeris dan Belanda menjadi Wilayah Jerman. Selesai. Jadi “nine dash” China itu sebenarnya ya sah sah saja.

Baca   Juga  :  Pengamanan Perbatasan Menjaga Kedaulatan

Masalahnya pada 2016, pengadilan internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China atas kedaulatan di sepanjang “Nine-Dash Line” tidak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional. Terkait keputusan ini Beijing menolak nya dan  mengatakan pengadilan di Den Hag tidak memiliki yurisdiksi untuk memutuskannya.

Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag menjadi pegangan AS.  AS secara eksplisit mendukung temuan kasus pengadilan 2016, yang diajukan oleh Filipina. “RRC tidak memiliki alasan hukum untuk memaksakan kehendaknya secara sepihak pada kawasan itu,” bunyi pernyataan tersebut, merujuk pada Republik Rakyat China (RRC).  “Beijing menggunakan intimidasi untuk melemahkan hak-hak kedaulatan negara-negara pantai Asia Tenggara di Laut China Selatan, menggertak mereka keluar dari sumber daya lepas pantai, menegaskan kekuasaan unilateral, dan mengganti hukum internasional.”

Klaim China atas wilayah di Laut China Selatan telah lama menjadi sumber konflik dengan sejumlah negara di Asia seperti Malaysia, Vietnam dan Indonesia. China pernah mengirim patroli untuk memperingatkan Malaysia dan Vietnam agar tidak mengeksplorasi minyak dan gas di dalam zona ekonomi eksklusif mereka. China mempergunakan pengaruh, intimidasi, Uang dan Diplomasi agar Negara-negara yang juga mengklaim wilayah LCS mau melepaskan tuntutannya. Hasilnya? Lumayan. Filipina jelas mendukung China dan malah tidak mengizinkan AS untuk memakai pangkalan AU nya. Malaysia sudah bilang tidak mau ikut rebut-ribut terkait LCS. Indonesia jadi Netral dan menekankan perlunya mematuhi UNCLOS. Sementara Vietnam melawan dan Brunai tidak terpantau penolakannya.

Tetangga Kaya Bisakah Diharapkan?

China memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga memperkenalkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, China mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa “One Belt, One Road (OBOR)”. OBOR – juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalur Sutra Baru – adalah membangun infrastruktur lintas benua memperluas jaringan dagangnya ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. OBOR ini adalah pembaharuan atas Jalur Sutra nya Tiongkok masa lalu dengan semangat baru, bersama membangun dunia yang lebih sejahtera. Termasuk di dalamnya jargon Asia untuk warga Asia Dll.

Pada tahun 2014[1], Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru China ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun didsarkan pada “nilai-nilai bersama”. William A Callahan dari London School of Economics mengatakan, “Bisa disimpulkan, Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara China, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok,” katanya. “Jadi, gagasan, nilai-nilai bersama Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia”.Dengan bantuan OBOR, Beijing berusaha memperluas pengaruhnya tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan ideologis.

Tetapi kalau kita melihat pada faktanya, bisa jauh berbeda. Seperti kelakuan para Nelayan China di Laut China Selatan.  Kapal-kapal  penangkap ikan berbendera China secara bebas keluar masuk perairan negara tetangga termasuk Indonesia yang berbatasan dengan tepi Laut China Selatan. Nelayan dari Vietnam dan Filipina juga memprotes larangan penangkapan ikan sepihak oleh Beijing.Tapi Beijing Malah jadi Tuli dan Bisu. Bejing  malah memanfaatkan “Coast Guard”nya sebagai pengawal.

Cara China Menyelesaikan Konflik Batas

Kalau kita melihat cara cara penyelesaian Konflik perbatasan antara China-India kita bisa melihat fakta ini. Kedua Negara sebenarnya tidak memikirkan bagaimana agar persoalan batasnya bisa selesai. Mereka hanya fokus  memanfaatkan pengaruhnya pada Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Hasilnya  Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China. Jadi. bentrok antara tentara China dan India di daerah perbatasan Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya terjadi pada 15 Juni 2020 itu adalah contohnya, hingga menewaskan 20 tentara India. Kedua pihak saling menyalahkan atas insiden itu dan saling klaim sebagai pemilik Lembah Galwan yang sah. Bentrokan perbatasan ini sebenarnya hanya mengulang pengalaman kedua Negara pada tahun 1962. Pada perang tersebut, pasukan China masuk menyerang melalui dua jalur perbatasan yang berbeda yakni melalui Ladakh dekat Kashmir dan McMohan Line yang berada di Arunachal Pradesh yang hingga kini masih disengketakan oleh kedua negara. Perang tersebut menewaskan 1.383 tentara India dan 722 tentara China. Jumlah yang terluka mencapai 1.047 dari pihak India dan 1.697 dari pihak China.

Militer India dan China juga pernah bertempur di Nathu La sebuah jalur perdagangan kuno melalui Himalaya yang merupakan bagian dari Jalur Sutra. Wilayah itu terpaksa ditutup dan dibuka kembali pada 2006. Setelah Insiden Nathu La, China dan India juga terlibat dalam pertempuran di Cho La. Wilayah yang tak jauh dari Nathu La. Ketegangan juga mewarnai perbatasan China dan India di Arunachal Pradesh.

Baca   Juga  :  Perbatasan Darat RI – Timor Leste Disepakati

Boleh dikatakan masalah perbatasan mampu membuat suatu Negara jadi Buta dan Tuli. Seperti konflik perbatasan antara India dan China dipercaya masih akan berlangsung lama. Terlebih lagi kalau kita melihat cara-cara penyelesaian pertiakain perbatasan antara kedua Negara itu dengan Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Misalnya China, mereka mempunyai masalah perbatasan dengan beberapa Negara seperti Jepang, dengan Korea Selatan, bahkan dengan beberapa Negara Asean di Laut China Selatan dan belum ada yang bisa terselesaikan dengan baik. Begitu juga dengan India, mereka bersengketa dengan hampir semua Negara yang berbatasan dengan negaranya dan juga tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.

Kini kedua Negara China dan Amerika boleh dikatakan sudah sampai pada zona dimana kedua Negara “perlu” memperlihatkan Negara mana Yang Unggul, yang Kuat. Dalam hal ekonomi, kelihatan sekali Amerika sedang kedodoran. Dalam hal keunggulan pengaruh atas regional juga tengah menurun. Amerika keluar dari WHO, Dari masalah Iklim, prajuritnya ditarik dari Timur Tngah, Dari Jerman Dll. Konflik Laut China Selatan sejatinya adalah Uji terahir, pakah AS masih mampu mempertahankan supremasinya? Apakah China akan jadi monster di kawasan? Semua itu bisa saja terjadi.

[1] https://internasional.kompas.com/read/2017/04/26/05000021/kehadiran.china.di.asean.berkah.atau.masalah.?page=2