Tokoh OPM Yang Kembali Ke NKRI Membangun Papua

Tokoh OPM Yang Kembali Ke NKRI Membangun Papua

Oleh Harmen Batubara

Nicolaas Jouwe  adalah tokoh intelektual Papua. Tokoh inilah yang telah merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad pada April 1951. Mereka membentuk komite nasional dalam rangka mempersiapkan Negara Papua atau Papua Barat (West Papua). Pada 1 Desember 1961, Bintang Kejora, dikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dengan iringan lagu kebangsaan “HaiTanahku Papua” Nicolaas Jouwe telah berjuang untuk OPM selama puluhan tahun, tetapi  setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969. Menurutnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Dia kembali kepangkuan NKRI.

“Belakangan ini PBB kian jelas terkait peraturan bersidang, khususnya hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum PBB,” Itu kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet, 27/9/2019 malam.  Menurutnya Benny Wenda sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang PBB melalui delegasi Vanuatu. Hal seperti itu pernah dia lakukan dan berhasil. Tapi kini jadi beda; “Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras dan tegas,” ungkap Messet. Sehingga, Benny Wenda tidak lagi bisa ikut delegasi Vanuatu seperti sebelum-sebelumnya.

Nicolaas Jouwe
Nicolaas Jouwe-wilayah Perbatasan Dot Com

Di dalam negeri  Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto juga menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik yang tak kunjung usai di Papua. Aspirasi itu disampaikan oleh DPRD kota/kabupaten di Papua dan Papua Barat. ”Mereka minta pemerintah untuk membuka dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh Papua yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan,” Kelompok atau tokoh yang dimaksud adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Kelompok tersebut teridentifikasi sebagai separatis yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia.

Baca Juga  : Sinergi Bersama Mengikis Kekuatan Separatisme

Jangankan di PBB di Negara tetangga sendiri yakni mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menyatakan “ Papua sah sebagai bagian dari NKRI sehingga tidak akan pernah setuju perjuangan Papua merdeka”. “Kebijakan kami (Timor Leste), tetap mendukung integrasi Papua dalam NKRI. Kami tidak pernah mendukung kelompok perjuangan, baik di dalam dan di luar negeri yang suarakan merdeka,” kata Ramos Horta dalam jumpa pers di Kota Jayapura, Papua, waktu itu hariSelasa (03/5/2016). Ramos yang pernah terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Timor Timur (sekarang disebut Timur Leste) mengatakan, Papua sudah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada hal yang perlu dipersoalkan.

Tokoh-Tokoh OPM Yang Kembali Kepangkuan NKRI

Sebenarnya sudah banyak Tokok OPM yang kembali ke pangkuan NKRI. Tapi kali ini saya ingin memperkenal Nicolaas Jouwe dan Nick Messet. Saya lalu ingat kembali   Nicolaas Jouwe seperti yang dituliskan Muridan Widjojo[1] dalam hubungan pertemanannya dengan Nicolaas Jouwe. Cerita tentang sejarah hidupnya dan sejarah Papua. Sesuai penuturannya, Nicolaas-lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Pada saat itu dia adalah salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang juga menurutnya diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan dipilih secara demokratis di seluruh wilayah Papua. Peristiwa pada1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin OPM Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika dan Belanda.

Sejak 1960-an Nicolaas berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya sekarang ini, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua.

Maridan mempunyai hubungan baik dengan Nicolaas dan juga sempat berkunjung ke rumah tokoh Nieuw Guinea Raad Nicolaas Jouwe di Delft.  Waku itu dia dijemput di stasiun Delft oleh anak lelakinya, Nico Jouwe, Jr. Rumah tokoh Papua 1960-an ini berada di sebuah pemukiman tua dan sederhana. Setelah itu, mengingat usianya yang sudah 85 tahun, dia pasti harus segera masuk rumah jompo (zorg thuis).

Hubungan Maridan dengan keluarga Jouwe dimulai pada awal 2009. Waktu itu, Nancy, anak perempuan Jouwe, menelponnya. Dia meminta pendapat Maridan tentang undangan Presiden SBY. Waktu itu Maridan memberi pandangan, bahwa undangan ini perlu direspons secara positif sebagai tanda perubahan kebijakan politik Papua yang lebih persuasif. Selain itu, keluarga Jouwe mesti paham bahwa dengan kunjungan itu, pemerintah Indonesia berharap Nicolaas Jouwe secara politik dan moral menerima Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Faktanya, pada pertengahan Maret 2009 Nicolaas Jouwe yang ditemani oleh dua anaknya, Nancy dan Nico, memutuskan memenuhi undangan Presiden SBY. Pada 17 Maret 2009 rombongan keluarga Jouwe mendarat di Jayapura, Papua. Ini menandai kepulangan Jouwe setelah hampir 50 tahun meninggalkan kampung halamannya. Dia mencium tanah beraspal bandara udara Sentani sebagai tanda sujud syukur. Nicolaas tua terharu karena rindunya pada kampung halamannya terobati. Sementara itu sejumlah pemuda dan mahasiswa pro OPM berdemonstrasi menentang kepulangan Jouwe dan menganggap Jouwe sebagai pengkhianat.

Ketika Jouwe kembali ke Jakarta dan bersiap-siap menemui Presiden SBY. Maridan diundang untuk bertemu sejenak dengannya. Maridan segera meluncur ke Hotel Nikko. Nancy dan Nico menyambut nya dengan hangat di lobi hotel dan mereka minum kopi di salah satu kafe. Setelah berbincang sejenak, mereka berdiri dan menuju kamar Jouwe senior. Tapi tiba-tiba Nick Messet, bekas eksil Papua pro-Papua merdeka, menghadang dan melarang Maridan  menemui Jouwe. Dengan bahasa Inggris yang kasar Nick Messet  mengusirnya dari hotel. Dia beranggapan, pertemuan Maridan  dengan Jouwe akan merusak rencana mereka, terutama rencana pertemuan dengan presiden.

Pada sekitar September 2009, Maridan mengetahui bahwa rencana Nicolaas Jouwe untuk repatriasi sudah pasti. Satu unit rumah akan disediakan untuknya di Dok V Angkasa Jayapura. Direncanakan, pada sekitar Desember 2009 atau Januari 2010, Nicolaas akan membawa seluruh isi rumah dan kenangannya ke Jayapura. Istrinya (juga 85 tahun) yang sedang sakit akan tetap tinggal di Belanda. Kedua anaknya, Nancy dan Nico, juga akan melanjutkan hidupnya di Belanda. Nicolaas Jouwe akan berpisah dengan mereka dan menghabiskan sisa hidupnya di Jayapura. Katanya, jika wafat, dia tidak ingin dikremasi, dia ingin dikuburkan di Jayapura.

Nicolaas Jouwe pindah dari Delft ke Jayapura. Dia kala itu sedang semangat-semangatnya. Dia yakin bisa menjadi seorang tua yang dapat membantu Gubernur atau pemerintah Indonesia pada umumnya untuk menyukseskan pembangunan, terutama kesejahteraan orang asli Papua di dalam kerangka Otonomi Khusus. Dari percakapan dua jam bersama Maridan, Nicolaas memberikan kesan kuat bahwa dia sudah sangat pasti dengan keputusannya untuk kembali ke tanah kelahirannya dan menjadi warga negara Indonesia.

Nick Messet-wilayahperbatasan dot com
Nick Messet-wilayahperbatasan dot com

Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Di hari tuanya juga berjuang demi kesejahteraan warga Papua NKRI

Mengenal Sosok Nicolaas  Nick Messet

Masih ingat bagaimana Nick Messet menghalangi pertemuan Maridan dan Nicolaas Jouwe saat akan menghadap Presiden SBY di Hotel Niko Jkt pada bulan maret 2009?  Ya hal itu jugalah yang membuat saya menuliskan tulisan ini. Kedua tokoh OPM  itu setelah berjuang 40-50 tahun, tetapi  di hari tuanya justeru bergabung dengan NKRI. Saya percaya sebentar lagi Benny Wenda juga akan melkukan hal yang sama. Apa yang ingin saya tuliskan adalah. Kenapa mereka tidak berjuang membangun Papua dalam bingkai NKRI sejak muda? Karena warga Asli Papua sangat mendambakan pemimpin yang bisa membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik.

Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.

Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.

Baca Pula  : Pusat Kajian Separatisme Dibutuhkan atau Masihkah Relevan ?

Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.

Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan.”Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.

Messet tahun ini  ikut mendampingi Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam Sidang Majelis Umum ke-74 PBB tahun 2019, terkait masalah Papua di PBB yang berlangsung dari tanggal 24 September 2019. Menurutnya kini peraturan dan tata aturan Sidang sudah semakin baik dan tertib. “Saya kira ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum PBB,” ungkap Messet.Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk. “Saya sendiri juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau diperlukan,” ujar Messet.

Messet menambahkan, saat itu dirinya berada di ruang sidang umum ke-74 PBB melalui delegasi RI.“ Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru. Alasannya, hal tersebut bagi dirinya merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum PBB.”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.

Nick Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di Eropa.Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia. Namun, ia kemudian kembali kepangkuan RI. Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak negara yang menanggapi. Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media.  Setiap negara punya persoalannya masing-masing yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit. Sehingga, banyak negara besar tidak ingin mencampuri negara lain. Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di negaranya sendiri.

“They can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain itu, tidak ada yang lain),” katanya. Menurut dia, hanya negara-negara kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB. “Hanya negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,” kata Nick. Nicolas Messet yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan membawa isu Papua dalam SU PBB.

“Negara-negara seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB.  Bosan untuk mendengar, The same old story again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),” kata Meset.

Papua Sudah Final dan Bagian Dari NKRI

Bagi Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua, hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Hal itulah yang perlu didialogkan. Sebagai langkah “mengingatkan kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan kembali bahwa : PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.

PBB melihat hasil dan upaya dari pembangunan Pemerintah pada era Presiden Jokowi di wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis. PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Terkait Vanuatu pihaknya menyadari bahwa sering mengangkat isu Papua dalam beberapa agenda internasional. Selama ini OPM masih tidak bisa menerima Pepera, mereka bilang Pepera itu penentuan pendapat rakyat, dan itu menyangkut self determination lewat semangat “ONE PEOPLE ONE Vote”, satu orang satu suara. Mereka lupa bahwa cara penentuan pendapat atau cara pemilu di Papua adalah dengan sistem budaya yakni yang disebut “sistem Noken”. Suara warga dipercayakan kepada Kepala Suku. Sampai dengan sekarang tahun 2021 cara penentuan pendapat di Papua masih dengan sistem “Noken” atau sistem musyawarah untuk mupakat dimana warga menyerahkan hak pilihnya  kepada kepala Suku. Para pejuang OPM itu tidak mau tahun bahwa pemilihan “One People One Pote” telah dijalankan dengan sistem yang berlaku di daerah itu yakni “Sistem Noken”. Mereka tidak mau tahu bahwa pada waktu itu pilihan hanya dua. Ikut Belanda atau Ikut Indonesia. Ternyata hasilnya milih ikut Indonesia.  Ketika diingatkan bahwa PBB mengakui Pepera adalah referendum. Mereka tetap tidak terima dengan berbagai alasan. Mereka inilah yang membentuk sayap perjuangan bersenjata lewat OPM dan Diplomasi internasional. Mereka layak diusir dari Papua.

[1] sumber: http://geschiedenis.vpro.nl/artikelen/40143317/