TNI Perlu Punya KoopSus Separatisme

TNI Perlu Punya KoopSus Separatisme

Yang menarik adalah media internasional yang mengangkat berbagai kejadian ini, juga pada waktu yang bersamaan Angkatan Bersenjata Australia menggelar latihan bersama dengan Angkatan Bersenjata Papua Niugini (PNG DF) di kawasan Sungai Fly dekat Merauke, di daerah kantong dan jadi jalur pelarian para separatis dari Provinsi Papua ke wilayah Papua Niugini. Kelompok kriminal separatis bersenjata ini telah melakukan 38 kasus penembakan sejak tahun 2018 hingga Agustus 2019. Terdapat  23 warga sipil dan 15 aparat keamanan dari pihak TNI dan Polri meninggal. Korban luka dari warga sipil 7 orang dan aparat keamanan 16 orang.

Oleh Harmen Batubara

Berita tentang prajurit TNI kembali kita dengar dari Nduga. Dua prajurit TNI Angkatan Darat ditembak kelompok kriminal separatis bersenjata di Habema, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Jumat (16/8/2019) sore. Prajurit Satu Panji terluka akibat tembakan di lengan kiri dan Prajurit Satu Sirwandi tertembak di paha kiri tembus pinggang. Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, saat peristiwa itu, kedua korban bersama 10 personel lainnya dalam perjalanan dari Wamena, ibu kota Jayawijaya, ke Distrik Mbua di Kabupaten Nduga. Jalur itu melintasi Habema, wilayah pegunungan di Jayawijaya. Mereka diserang dalam perjalanan membawa logistik makanan bagi anggota yang bertugas di Mbua.

Yang menarik adalah media internasional yang mengangkat berbagai kejadian ini, juga pada waktu yang bersamaan Angkatan Bersenjata Australia menggelar latihan bersama dengan Angkatan Bersenjata Papua Niugini (PNG DF) di kawasan Sungai Fly dekat Merauke, di daerah kantong dan jadi jalur pelarian para separatis dari Provinsi Papua ke wilayah Papua Niugini. Kelompok kriminal separatis bersenjata ini telah melakukan 38 kasus penembakan sejak tahun 2018 hingga Agustus 2019. Terdapat  23 warga sipil dan 15 aparat keamanan dari pihak TNI dan Polri meninggal. Korban luka dari warga sipil 7 orang dan aparat keamanan 16 orang.

Baca Juga : Membangun Kemampuan Mematikan Separatisme

Setiap kali kita membicara perbatasan, khususnya di Papua maka pikiran kita akan selalu teringat OPM? OPM dalam terminologi hukum RI adalah separatism dan wajib hukumnya untuk di punahkan. Tapi ternyata itu tidak mudah. Dalam hal Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad, mengatakan sesuai pengalaman sendiri dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah berdiri sendiri; selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku pada masa lalu, adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon, Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan asing.

Pada prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada aspek psikologis sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata; tidak pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan hanyalah akibat.

TNI Belum Punya KoopsSus Separatisme  

Masalah separatism adalah masalah bangsa yang belum tertuntaskan sejak merdeka. Apa yang ingin kita katakan adalah, kita ingin kemampuan TNI diberi kesempatan yang setara. Kita ingin TNI didukung dalam melakukan upaya merebut hati rakyat. TNI (bersama Kementerian/K/L Lembaga terkait) diberi kemampuan Operasi, Kemampuan Memberdayakan warga maysrakat, serta mengembangkan Pusat Kajian Separatisme. Meski melakukan Operasi terhadap kekuatan bersenjata OPM, tetapi di sisi lain TNI juga tetap memberi jalan  bagi para keluarga OPM untuk memperoleh  kehidupan yang lebih baik. Artinya mesti para suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan. Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka kehidupan yang lebih baik. Misalnya dengan memberikan mereka berbagai fasilitas yang setara dengan yang diterima oleh para transmigran yang sudah kita kenal selama ini. Misalnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi, sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu), diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.

Baca Pula : Semangat Reformasi dan Redislokasi TNI

Pada wilayah atau territorial binaannya praktis TNI memetakan secara telaten dua pola. Pertama terkait pergerakan dan dinamika para anggota separatis itu sendiri, sehingga tahu betul kekuatan dan kemampuan mereka dan secara perlahan “melumpuhkan” kekuatan dan keinginan para separatis itu untuk melakukan perlawanan. Kedua, memastikan keluarga mereka jadi sehatera. Hal itu ditunjukak dengan  keberhasilan usaha pertanian/perkebunan para keluarga separatis itu sendiri. Artinya memastikan bahwa pertanian/perkebunan mereka berhasil dan kegiatan pendidikan atau sekolah anak-anak mereka berjalan dengan baik. Dari hal seperti ini, dipercaya akan ada perubahan yang terjadi di daerah-daerah separatism itu.

Selama ini kita tidak atau belum pernah melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatisme. Polanya hanya sejenis “memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah operasi “penumpasan”, begitu seterusnya.

Di lapangan sebenar diperlukan adanya suatu Komando yang secara khusus menangani Separatisme ini, seperti adanya Detasemen 88 Polri atau seperti  Koopsus TNI. Misalnya kita lihat “Tugas dari Koopssus TNI adalah mengatasi aksi terorisme, baik dalam maupun luar negeri yang mengancam ideologi, kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan segenap bangsa Indonesia.  Koopssus TNI memiliki tiga fungsi dalam pemberantasan terorisme, yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan.

Dari 500 anggota Koopssus, 400 orang di antaranya merupakan personel yang menjalankan fungsi penangkalan terorisme, sedangkan 100 personel lain atau satu kompi melakukan penindakan aksi terorisme. “Penangkal di dalamnya adalah surveillence yang isinya juga intelijen, 80 persen yang laksanakan adalah surveillence atau observasi jarak dekat”. Secara struktural, Koopssus TNI berada di bawah komando Panglima TNI.

TNI Mestinya  Sudah Ahli Dalam Penanganan Saparatisme

TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan sejak lahirnya sudah terbiasa berhadapan dengan tentara penjajah, juga para pemberontak.  TNI sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya itu di dokumentasikan, polanya di pelajari, di teliti dan dianalisis serta di tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi) serta dilatihkan dan diaflikasikan di lapangan maka sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, TNI tidak mempunyai semua upaya yang seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think Tank terkait penangan Saparatisme, baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan ataupun Perguruan Tinggi (Unhan).Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong. Sama seperti tradisi penelitian di Indonesia. Tidak fokus. Semangatnya lebih cenderung bagi bagai dana saja.

Sebagai prajurit penegasan perbatasan, kami sudah terbiasa berada di daerah jantung kehidupan jejaring OPM. Misalnya pada tahun 1995/1996 selama 8 bulan berada diantara Skow dan Waris. Pada waktu itu adalah jalur lintas utama anggota OPM dari Indonesia-PNG dan sebaliknya, untuk kemudian menyebar ke wilayahnya masing-masing baik di Papua maupun di PNG. Karena kepentingan pengamanan Tim kami di amankan oleh dua Regu yang masing-masing dari Dua Batalyon penugasan yang berbeda.

Saya ingin mengatakan setiap Yon itu secara cermat mencatat apa saja kejadian yang terjadi sepanjang hari-hari penugsan mereka di wilayah itu. Mereka juga mengumpulkan berbagai informasi terkait. Dengan demikian selama penugasan mereka di wilayah itu, mereka tahu persis dimana daerah tempat anggota OPM berada, siapa saja pimpinannya, berapa anggotanya. Demikian juga jalur-jalur lalu lintas logistik dan jalur operasional mereka. Informasi ini menurut saya sangat akurat dan bisa jadi referensi yang tepat. Pada masa itu Yon penusan itu sebenarnya tersebar di daerah-daerah yang terpapar OPM. Artinya TNI mempunyai informasi yang akurat terkait kekuata personil, jalur transportasinya, serta kegiatannya. TNI tahu persis, pada hari-hari apa saja, atau momen-momen apa saja kegiatan jaringan OPM itu bergerak dan sangat aktif dan sebaliknya saat-saat tiarap atau tanpa kegiatan yang bermakna sama sekali. Terus terang pada “saat itu”, justeru pikiran saya malah “ngeracau” karena pikiran saya mengatakan “ kalau TNI mau, maka secara fisik OPM” itu pasti bisa dikikis habis. Pikiran saya malah kurang ajar lagi. Malah menuduh oknum TNI justeru yang memelihara adanya OPM. Ya maksudnya biar ada terus “dana” yang bisa dimanfaatkan.

Kalau kita kembali ke permasalahan TNI dan masih menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas “operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya. Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando; seperti saat Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka.

Kembali kepada ide Koopssus Separatisme. Hemat kita Negara membutuhkannya dan perlu. Padahal kita percaya, kalau pengalaman TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani masalah separatisme. Indonesia punya Universitas Pertahanan, punya pUsat pendidikan Infantri, Pusat Pendidikan Zeni, Pusat Pendidikan Topografi (Informasi Medan) Dll. Sayang kalau potensi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dalam membangun bangsa.