Desa Perbatasan, Semangat Membangun Dari Pinggiran

Oleh harmen batubara

Sejak pelantikan Presiden Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden, terus terang berbagai prestasi demi prestasi telah ditunjukkan. Beberapa hal dalam program prioritas Nawacita sedang dan telah diwujudkan. Sementara beberapa hal lainnya sudah digarap tetapi belum terlihat. Beberapa program prioritas yang tampak sudah dijalankan antara lain. Pemerintahan Jokowi-JK terlihat telah berupaya membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan demokratis. Selama tiga tahun ini Jokowi menjalankan salah satu program yang dijanjikannya, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Membangun dari daerah pinggiran dan desa ini juga bertujuan untuk menghilangkan ketimpangan. Langkah-langkah untuk melakukan pembangunan tidak Jawa centris, menggenjot pembangunan di perbatasan, dan memperlakukan Papua sebagai anak kandung Republik merupakan bentuk nyata memerangi ketimpangan. Nah kali ini kita mencoba melihat pembangunan Desa, desa suatu daerah seperti perbatasan yang selama ini seolah terlupakan dan dilupakan. Kini Desa dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan semangat baru,  kesadaran dan harapan baru atas kehidupan warga di pedesaan.

Kenapa tidak? Dengan UU ini pembangunan tak lagi sekadar di lihat sebagai turunnya daftar proyek yang dikerjakan di desa, tetapi kini benar-benar proyek yang lahir  atas kedaulatan desa dalam merumuskan dan memutuskan masa depan warganya sendiri. Di masa lalu, desa dan warganya hanya sekedar menonton berbagai program pembangunan yang datang ke desa mereka sambil berharap proyek itu bisa memanfaatkan tenaga mereka sebagai tenaga kerjanya dan berharap program itu berguna atau bermanfaat bagi penunjang kehidupan mereka. Meski kebanyakan yang terjadi justeru sebaliknya.

Baca Juga : Mewujudkan Kemakmuran Di Perbatasan

UU Desa dengan tegas memastikan bahwa  model  pembangunan model masa lalu sudah tidak zamannya lagi; karena desa kini telah memiliki kewenangan untuk menegakkan kedaulatannya. UU Desa kembali memberikan dua otoritas utama yang dipunyai desa yang selama ini telah hilang, yakni adalah kewenangan desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul (rekognisi). Demikian pula dalam proses pembangunan UU Desa telah meletakkan warga kembali sebagai partisipan gerakan, di mana musyawarah desa (musdes) menjadi forum tertinggi dalam mengambil keputusan. Pelan-pelan tetapi pasti secara politik warga desa diperkuat agar warga sadar atas kekuasaan yang mereka miliki.

Kewenangan lokal berskala desa sebetulnya adalah bahasa lain dari desentralisasi itu sendiri, UU Desa telah memastikan warga desa mandiri dalam hal ekonomi dan politik. UU Desa telah mendesentralisasikan urusan pembangunan sampai ke level pemerintahan desa, bukan cuma di kabupaten. Asas subsidiaritas ini memberikan ruang penuh bagi desa memutuskan serta menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan selama berada dalam skala desa. Jika desa berdenyut dengan berbagai  program pembangunan, itu tak lagi monopoli keputusan pemerintahan di atasnya dalam memasok kebutuhan program, tetapi hasil dari musyawarah atau kolektifitas warga yang dirangkum dalam proses musawarah desa.

UU Desa tidak lagi memperbolehkan pemangku kepentingan lain, termasuk pemerintah pusat, mengambil kebijakan kewenangan itu karena keberadaannya diproteksi UU. Kewenangan ini memastikan desa sebagai pemegang otoritas untuk menjaga suara dan daya hidup warganya di lapangan politik, di mana partisipasi memiliki bobot penuh karena dilatari kewenangan mengambil keputusan, bukan sekadar mengerjakan program.

Kewenangan hak asal-usul menjadikan desa lebih kuat lagi karena pilar terpenting desa sebetulnya terletak pada pengakuan atas  norma, budaya, adat, keyakinan, dan agama yang menjadi dasar konsensus dalam menjaga kehidupan bersama. UU Desa telah menjamin adanya kewenangan desa berdasarkan Hak Asal Usul yakni: Sistem organisasi perangkat desa; Sistem organisasi masyarakat adat ; Pembinaan kelembagaan masyarakat; Pembinaan lembaga dan hukum adat ; Pengelolaan tanah kas Desa ; Pengelolaan tanah Desa atau tanah hak milik Desa yang menggunakan sebutan setempat ; Pengelolaan tanah bengkok ; Pengelolaan tanah Pecatu ; Pengelolaan tanah titisara;  dan Pengembangan peran masyarakat Desa

Desa kini menjadi lebih kuat setelah pemerintah juga memberikan Dana Desa lewat dengan memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain). Dana Desa pemerintah yang diberikan ke Desa jumlahnya juga luar biasa. Pada 2015 total DD Rp 20,7 triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian luas.

Apa yang terjadi ? Hasilnya luar biasa. Berbagai perubahan  kini muncul minimal dalam dua tahun pelaksanaan program DD ini, sekurangnya LIMA HAL POKOK[1] telah dirasakan di lapangan, yakni :

Pertama, desa berdenyut kembali dalam kegairahan pembangunan yang ditandai oleh maraknya kegiatan musdes dan keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan. Salah satu pemandangan lazim saat ini, warga desa berkerumun membahas aneka ikhtiar pembangunan dan pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha milik desa (BUMDesa).

Kedua, transparansi anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggara pemerintahan desa. Di balai desa dipasang baliho APBDesa, demikian pula di lokasi-lokasi strategis atau sarana ibadah. Desa telah memberikan jawaban kontan atas kepercayaan yang diberikan.

Ketiga, keswadayaan dan gotong royong terlihat kokoh karena seluruh program harus dijalankan secara swakelola, tak boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tak jarang, warga desa menyumbangkan apa pun yang dimiliki agar pembangunan berjalan paripurna, misalnya tenaga, tanah, rumah, dan aset fisik lain.

Keempat, ongkos pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas. Pada 2016 saja telah terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368 unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. DD juga dimanfaatkan untuk posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. DD juga digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit, embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah 38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017). Dengan menggunakan ukuran apa pun, efisiensi DD sangat mengagumkan.

Kelima, munculnya aneka upaya untuk memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan basis budaya dan pengetahuan lokal. Banyak desa yang menginisiasi munculnya sekolah desa, sekolah perempuan, peraturan desa untuk memproteksi sumber daya alam dan ekologi, pembuatan almanak desa, balai rakyat, dan masih banyak lagi prakarsa menggetarkan di desa. DD bukan cuma dirayakan sebagai tradisi penyerapan anggaran, melainkan aktivitas berdesa yang mengendap dalam jantung kesadaran kedaulatan desa. Desa memproduksi sejarah!

Meremajakan Kebun Desa Rakyat

Kini kemblai Presiden Joko Widodo memperkuat kemampuan Desa, kini presiden Jokowi merencanakan akan melakukan peremajaan terhadap kebun rakyat. Kebun yang selama ini tidak pernah teremajakan. Sebagai langkah awal presiden Jokowi akan meremajakan kelapa sawit kebun Rakyat. Setelah kelapa sawit, peremajaan perkebunan rakyat juga akan dilakukan untuk kebun KARET, KOPI, KAKAO DAN PALA. Suatu program yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Presiden sudah melakukan penanaman perdana peremajaan kebun kelapa sawit rakyat seluas 4.400 hektare di kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Pada waktu itu presiden memberikan penjelasan “Ini perlu saya ingatkan, hari ini sudah mulai peremajaan, replanting,  setahun lagi atau awal 2019 akan saya cek kembali” kata Presiden Jokowi di Musi Banyuasin, Sumsel, Jumat (13/10/2017). Presiden menyampaikan hal tersebut di hadapan para petani kelapa sawit di Desa Panca Tunggal, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin.

 “Di Musi Banyuasin akan diremajakan 4.400 hektare kebun sawit yang sudah tua, biayanya ditanggung pemerintah, bibitnya diberi, benih untuk palawija jagung juga diberi, kurang apa?” ungkap Presiden. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, produktivitas kelapa sawit Indonesia masih tergolong rendah yaitu hanya 3,7 ton/hektare/tahun, padahal potensi dapat mencapai 8 ton/hektare/tahun. Faktor utamanya adalah kondisi pohon kelapa sawit, khususnya milik rakyat yang sudah tua dan rusak serta penggunaan benih yang bagi sebagian petani belum menggunakan benih unggul bersertifikat sehingga perlu dilakukan peremajaan tanaman kelapa sawit seluas sekitar 2,4 juta hektare. Peremajaan kelapa sawit di Sumsel dilakukan untuk lahan seluas 2.834 hektare untuk 1.308 kepala keluarga.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, biaya peremajaan kebun kelapa sawit akan ditanggung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan ( BPBD) Kelapa Sawit. “Jumlahnya Rp 25 juta per hektar dan itu bukan untuk dikembalikan,” ujarnya dalam acara penanaman perdana program peremajaan kebun kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin, Jumat (13/10/2017). Selain bantuan dana, pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga akan memberikan bantuan benih kelapa sawit berkualitas sehingga hasil panen bisa meningkat dari 2,5 tin CPO per hektar menjadi 8 ton CPO per hektar. Sementara dari sisi hilir, pemerintah menggandeng sejumlah perusahaan besar kelapa sawit untuk menampung hasil CPO dari 4.460 hektar perkebunan kelapa sawit rakyat yang akan diremajakan di Musi Banyuasin.

Baca Pula : Memperkuat Ekonomi Warga Perbatasan

“Dengan begitu petani sawit enggak usah susah-sudah jual hasil panennya,” kata Darmin. Peremajaan kebun kelapa sawit juga melibatkan perbankan nasional. Rencananya perbankan akan ikut memberikan bantuan kepada petani sawit melalui pinjaman.Sebelumnya, peremajaan kebun kelapa sawit pekebun akan dilaksanakan di seluruh provinsi penghasil kelapa sawit yang akan dilaksanakan secara bertahap. Terkait dengan pemanfaatan dana bantuan peremajaan kebun kelapa sawit pekebun 2017, sampai saat ini yang telah mengusulkan seluas 14.574 ha dari 5 provinsi yaitu Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Kita percaya kalau Desa berdenyut kembali dalam kegairahan pembangunan yang bisa dilihat oleh maraknya kegiatan musdes dan keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan. Kita kini mulai melihat kembali warga desa rumbukan membahas aneka ikhtiar pembangunan dan pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha milik desa (BUMDesa). Kita juga percaya adanya para tenaga ahli dan tenaga pendamping Desa maka  transparansi anggaran akan menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggara pemerintahan desa. Di balai desa umumnya sudah ada baliho APBDesa, demikian pula di lokasi-lokasi strategis atau sarana ibadah. Desa telah memberikan jawaban kontan atas kepercayaan yang diberikan. Keswadayaan dan gotong royong kini sudah kembali terlihat ceria karena seluruh program Desa harus dijalankan secara swakelola, tak boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tak jarang, warga desa menyumbangkan apa pun yang dimiliki agar pembangunan berjalan paripurna, misalnya tenaga, tanah, rumah, dan aset fisik lain. Kita percaya Desa kita akan kembali jadi Ikon tempat “melepaskan rindu” khususnya di saat hari raya tiba.

Wilayahperbatasan Tertinggal & Diterlantarkan
Wilayahperbatasan Tertinggal & Diterlantarkan

[1] https://kompas.id/baca/opini/2017/10/23/proklamasi-pembangunan-desa/