Perbatasan Natuna & Klaim Traditional Fishing Ground Tiongkok

Perbatasan Natuna & Klaim Traditional Fishing Ground Tiongkok

Oleh harmen batubara

Kita selalu melihat China tidak punya rasa persahabatan  dalam menyelesaikan persoalan perbatasannya. Lihatlah misalnya peristiwa nentrokan tentara China dan India di daerah perbatasan Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya, hingga menewaskan 20 tentara India. Bentrokan, Senin (15/6/2020) malam. Hal itu terjadi saat mereka  “sesuai kesepakatan bersama”  berperang dengan bersenjatakan batu dan tongkat. Kedua pihak saling menyalahkan atas insiden itu dan saling klaim sebagai pemilik Lembah Galwan yang sah. India menuding China memicu perselisihan karena membangun infrastruktur di wilayah sengketa. Sebaliknya, China tidak merasa salah karena berkeyakinan Lembah Galwan masuk wilayah China. Kedua Negara tidak mempunyai kesepakatan terkait perbatasan. Mereka saling tidak mengakui hak Negara tetangganya.  Ketika India di jajah oleh Inggeris, pernah melakukan kesepakatan batas dengan Tibet yang dikenal dengan Mc Mahon Line. Tetapi garis batas itu tidak diakui oleh China, karena menurut mereka Tibet sebagai bagian dari China tidak punya hal untuk itu.

Hal seperti itu terjadi juga dengan Indonesia. Tiongkok sepertinya hanya peka dengan kepentingan nasionalnya, dan faktanya tidak mengindahkan hak berdaulat negara lain. Padahal kedua negara bersahabat erat. Hal ini terkait dengan penangkapan ikan secara illegal di perairan Natuna, Indonesia. Faktanya bisa dilihat pada saat Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) berhasil menangkap basah pelaku illegal fishing dari Tiongkok yang menggunakan sebuah KM Kway Fey 10078 di Perairan Natuna Indonesia. Penangkapan kapal ini sempat dihalangi oleh Kapal Penjaga Pantai (coastguard) Tiongkok. KP Hiu 11 hanya berhasil menangkap awal kapal tersebut, sementara itu KM Kway Fey 10078 dipertahankan oleh Coastguard Tiongkok pada tanggal 19 Maret 2016. Hal yang sama terulang lagi pada tanggal 17 Juni 2016, kali ini dengan KRI Imam Bonjol-383 dari 12 Kapal hanya berhasil menangkap Satu Kapal berikut awaknya. Sebelumnya KRI Oswald Siahaan-354 juga telah berhasil menangkap kapal nelayan China yang juga melakukan aksi pencurian ikan di wilayah perairan yang sama.

Klaim Tradisional fishing ground
Klaim Tradisional fishing ground

Dilihat dari kacamata UU khususnya UU UNCLOS 1982, dimana Indonesia dan Tiongkok mengakuinya jelas Tiongkok melakukan “pelecehan” atau tidak menghormati “hak berdaulat” RI atas wilayah tersebut. Tiongkok memakai alasan karena wilayah itu merupakan “traditional fishing ground” mereka sejak dahulu kala. Padahal UU UNCLOS sama sekali tidak mengenal “istilah” traditional fishing ground seperti itu. Lalu Apa sebenarnya MAUNYA Tiongkok?

Baca Juga  : Konflik Laut China Selatan, Bisakah China Dilumpuhkan

Sesuai UU, konsep Traditional Fishing Grounds tidak dikenal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) di mana Tiongkok dan Indonesia adalah negara anggota. Dalam konvensi yang dikenal adalah konsep Traditional Fishing Rights (bukan Grounds) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Menurut ketentuan Pasal 51 keberadaan Traditional Fishing Rights harus didasarkan pada perjanjian bilateral. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki perjanjian bilateral terkait Traditional Fishing Rights dengan Malaysia.

Lalu apa yang menjadi dasar bagi Traditional Fishing Grounds? Dasarnya tidak lain adalah klaim Sembilan Garis Putus. Pemerintah Indonesia sejak lama, saat Ali Alatas[1] menjabat Menteri Luar Negeri, mempertanyakan kepada Pemerintah Tiongkok apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus. Namun, hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh Pemerintah Tiongkok. Presiden Joko Widodo pada saat berada di Jepang hendak berkunjung ke Tiongkok (22/3/2015) menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun atas Sembilan Garis Putus.

Sesuai dengan kaidah bernegara yang baik. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah tepat melakukan protes diplomatik atas insiden di Natuna. Protes tidak sekadar ditujukan karena tindakan dari penjaga pantai Tiongkok yang tidak mendukung Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan tanpa izin di ZEE RI, tetapi juga dalam rangka protes atas hendak ditegaskannya Sembilan Garis Putus oleh Pemerintah Tiongkok yang disamarkan sebagai Traditional Fishing Grounds.

Ketegasan dan Kerja Sama

Indonesia punya dana atau tidak maka sesuai amanat UU harus memperkuat kemampuan aparatnya untuk menjaga dan mengawal kedaulatan dan hak berdaulatnya di manapun itu adanya. Tiongkok sebagai negara sahabat, kita harapkan sebenarnya berkenan dan mau menghormati hak berdaulat  Indonesia atas ZEE kita di wilayah tersebut. Kalau Tiongkok mau mengendors konsep 9 Garis Putus-putusnya, maka Tiongkok harus jelas posisinya. Yakni dengan menjawab pertanyaan Indonesia terkait konsep tersebut dan konsekwensinya terhadap wilayah laut ke dua negara. Indonesia dapat mengajak negara itu untuk melakukan Kerja Sama penangkapan Ikan di wilayah tersebut dan membuat perusahaan pabrikan pengelolaan ikan bersama di Natuna dan sekitarnya. Hal seperti ini malah akan mendatangkan kemaslahatan bagi kepentingan bersama.

Kalau hal seperti ini ternyata tidak juga di Indahkan oleh Tiongkok. Maka ada baiknya Indonesia melakukan evaluasi atas keberadaannya sebagai mediator yang tidak berpihak di konflik Laut Tiongkok Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai negara yang bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Namun demikian Indonesia harus tetap konsisten dengan bagian lainnya yakni tetap mempertahankan kerja sama ekonomi, khususnya dalam pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia. Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu perlu tetap dipelihara. Tidak jadi masalah kalau suatu saat kapal TNI dan Tiongkok baku hantam di perairan Natuna, tetapi hubungan baik yang ada tetap dipelihara. Untuk itu TNI AL perlu didukung dengan kapal yang lebih kuat dan modern serta buatan sendiri. Kita ingin jadi suatu negara yang tegas, tetapi juga tidak emosional.

PAKET TIGA BUKU CATATAN BLOG SEORANG PRAJURIT PERBATASAN. Paket ini merupakan sebuah referensi tentang perbatasan. Baik dari sisi sejarah penetapan & Penegasan Batas; pembangunan perbatasan, maupun dari sisi pertahanan perbatasan. Buku Pertama; Ketika Tugu Batas Di Geser. Catatan Blog Seorang Prajurit Perbatasan. Buku ini berisi buliran pemikiran perpaduan, hasil kajian, penelitian diskusi yang diambil dari blog blog www.wilayahperbatasan dan wilayahpertahanan com.

Paket Tiga Buku Perbatasan
Paket Tiga Buku Perbatasan

Idenya sejak awal adalah sebuah upaya untuk ikut memberikan sumbangsih pemikiran terkait strategi pembangunan wilayah perbatasan dari sisi pengembangan ekonomi demi kesejahteraan dengan konsep pertahanannya. Pengalaman penulis selama terlibat dengan perbatasan, baik sebagai teknisi pelaksana, pengeksekusi program hingga terlibat dalam pengagas, pengkaji dan pembuat konsep Kebijakan tentang perbatasan dan pertahanannya meneguhkan penulis untuk membangun blog ini.

[1] Hikmahanto Juwana- http://lphifhui.org/index.php?option=com_content&view=article&id=76:sembilan-garis-putus-tiongkok&catid=43:general&Itemid=60