PulauKarang Paracel&Spratly LCSDari SisiUti Possidetis Juris.

PulauKarang Paracel&Spratly LCSDari SisiUti Possidetis Juris.

Oleh  Harmen Batubara.

Melihat konflik Laut China Selatan dari sisi Sisi Uti Possidetis Juris tentu tidak ada salahnya. Bahkan sebaliknya ia bisa jadi akan menambah pemahaman kita tentang Klaim suatu wilayah, dari sisi yang selama ini kurang kita perhatikan. Prinsip uti possidetis juris[1], yaitu sebuah konsep hukum internasional yang mendefinisikan. Batas-batas suatu negara yang baru berdaulat berdasarkan batas-batas administratif sebelumnya.  Ternyata sangat menarik kalau kita menelusuri akar sejarah dari konsep tersebut, dan melihat serta menganalisis penerapannya di masa lalu dan kini.

Asas uti possidetis secara historis berkembang dalam dua bentuk yaitu uti possidetis juris dan uti possidetis de facto.  Norma pertama adalah norma yang telah digunakan pada zaman modern. Sedangkan norma kedua adalah norma masa lalu, yang asal-usulnya dapat dilacak hingga abad pertengahan. Saat itu, pembagian wilayah berlangsung seperti pembagian kepemilikan pribadi. Contohnya, Paus Alexander VI terkenal karena “issuance of bulls” yang menyebutkan nama pemegang hak suatu wilayah. Kayak atau seperti “ SHM” sertifikat Hak Milik yang kita miliki sekarang.

Melihat PulauKarang Paracel&Spratly LCSDari SisiUti Possidetis Juris.

Hukum Romawilah, yang memperkenalkan prinsip uti possidetis ke dalam hukum internasional. Dekrit Praetorian Republik Roma, yang mengatur kepemilikan pribadi, membedakan antara kepemilikan (possension) dan kepemilikan(ounership). Ketika kepemilikan sesuatu dicapai dengan itikad baik, bukan dengan menggunakan kekerasan atau cara curang apa pun. Para hakim Romawi menerapkan aturan terkenal uti possidetis, ita possideatis (“seperti yang Anda miliki, maka Anda boleh memiliki”). Namun aturan ini tidak berlaku untuk pertanyaan tentang kepemilikan (ounership). Masalah terkait hal seperti itu diputuskan oleh pengadilan.  Evolusi bertahap uti possidetis dari hukum privat ke ranah internasional telah berlangsung dalam dua arah :

Yang pertama mencerminkan implikasi praktis dari penerapan uti possidetis. Yaitu transformasi dari aturan mengenai klaim atas kepemilikan pribadi menjadi norma mengenai kedaulatan negara atau teritorial.

Baca Juga : Peluang Konflik danKolaborasi diLaut China Selatan.

Yang kedua berkaitan dengan transformasi “kepemilikan” sebagai keadaan faktual dan sementara dalam hukum perdata.  Menjadi status hukum tetap berupa hak berdaulat atas wilayah negara tertentu. Transformasi seperti ini tidak mengherankan. Mengingat uti possidetis muncul pada saat penggunaan kekuatan oleh negara-negara yang berkonflik atas wilayah adalah sesuatu yang wajar. Pandangan ini masih bertahan hingga Perang Dunia Kedua.

“Uti possidetis juris, didasarkan pada dua gagasan. Yakni penentuan nasib sendiri dan tidak adanya campur tangan negara lain. Keduanya dapat ditelusuri kembali ke Amerika Latin pada awal abad kesembilan belas. Penerapan formal pertama uti possidetis di Amerika Latin mencerminkan sifat urusan Eropa, di satu sisi.  Dan hubungan antara Eropa dan Amerika Latin setelah Perang Napoleon tahun 1796-1815 di sisi lain.

Posisi PulauKarang Paracel & Spratly LCS Dari Sisi Uti Possidetis Juris.

Eropa terus melakukan intervensi di Amerika Latin untuk mencari terra nullius (tanah tak bertuan), yang kemudian menjadi milik kolonialnya. Setelah kemerdekaan Amerika Latin, yang dicapai pada periode 1810 hingga 1824. Negara-negara Eropa berupaya memindahkan keseimbangan politik kekuasaan dari Eropa ke Amerika Latin. Akibatnya dan untuk mengalihkan campur tangan Eropa yang sering terjadi. Negara-negara Amerika Latin (kecuali Brasil, hingga saat ini) menerima prinsip uti possidetis juris untuk mengatur hubungan mereka.

Sekali lagi, penetapan batas wilayah kedaulatan baru didasarkan pada uti possidetis juris. Bukan uti possidetis de facto. Artinya batas negara negara-negara yang baru merdeka sama dengan perbatasan bekas jajahannya. Sehingga tidak ada TERRA NULLIUS di belahan dunia tersebut. Satu dekade kemudian, prinsip uti possidetis diperkuat oleh Doktrin Monroe tahun 1823. Yang menuntut tidak adanya campur tangan urusan dalam negeri Amerika Latin. Pada saat yang sama, meskipun penerimaan uti possidetis juris oleh negara-negara Amerika Latin dirancang untuk mencegah konflik perbatasan. Hal ini tidak menghentikan campur tangan Eropa maupun sengketa wilayah. Uti possidetis juris, serta konsep non-intervensi dalam urusan internal negara-negara berdaulat. Baru bisa menjadi prinsip-prinsip yang diterapkan secara umum terjadi  setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.  Selama proses dekolonisasi.

Memperhatikan PulauKarang Paracel&Spratly LCSDari SisiUti Possidetis Juris.

Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua dan ketika proses dekolonisasi di Afrika. Para pemimpin Afrika juga bersikeras untuk mempertahankan perbatasan administratif kolonial yang sudah ada. Kasus Afrika berakar kuat pada sejarah Konferensi Berlin-Kongo (1884-1885), yang ditandatangani pada tanggal 26 Februari 1885. Pada intinya fokus untuk  melarang perdagangan budak, dan mengatur pergerakan bebas barang dan orang di dalam wilayah kedaulatan negara kolonial (Inggris, Prancis, Jerman, Portugal, dan Belgia). Hak kedaulatan negara-negara ini atas wilayahnya masing-masing tidak didasarkan pada kendali administratif yang efektif. Seperti yang biasa terjadi di Eropa, namun berdasarkan GARIS BUJUR dan GARIS LINTANG yang dimulai dari pantai Afrika. Faktanya, Pasal 35 Undang-Undang Umum menyebutkan tentang pembentukan garis kendali dasar di sepanjang pantai benua saja.

Baca Juga  : Kogabwilhan Tri Matra Pertahanan diPerbatasan.

Undang-Undang Terakhir juga menetapkan bahwa negara mana pun yang akan mengambil sebidang tanah Afrika. Harus memberi tahu negara kolonial lainnya untuk mencegah konflik perebutan wilayah. Bahkan pada saat itu, pemerintah kolonial tidak diperbolehkan untuk mendirikan pemerintahan yang efektif di wilayah tersebut. Yang bisa mereka lakukan hanyalah membangun kontrol minimal yang efektif. Mengatur pergerakan barang dan orang, dan mengontrol perdagangan budak. Untuk mengatur hubungan dengan penduduk setempat, penjajah mendirikan berbagai protektorat, zona netral dan “penyangga”, serta kedaulatan. Mereka tidak pernah berusaha mendirikan pemerintahan politik modern dalam bentuk apa pun di wilayah yang mereka kuasai. Sesuatu yang berbeda dengan di Asia. Umumnya para kolonial sudah dari jauh-jauh hari telah mempersiapkan wilayah kolonialnya untuk bisa berdiri sendiri.

Faktanya PulauKarang Paracel & Spratly LCS Pernah Dikuasai Jepang.

Dengan runtuhnya kekuasaan kolonial. Sebagian besar garis abstrak yang mengatur batas batas wilayah negara lewat garis bujur dan lintang tertentu. Garis yang membagi “wilayah jajahan” kolonial diubah menjadi batas internasional berdasarkan prinsip uti possidetis juris. Dan terlepas dari kenyataan bahwa 40 persen perbatasan penduduk Afrika adalah garis lurus yang membagi sejumlah kelompok etnis yang jadi berbeda. Tetapi dan ternyata  perbatasan tersebut telah terbukti stabil dan dapat bertahan dalam banyak kasus.  Kalau tadinya para pemimpin Afrika sering mengklaim bahwa perbatasan mereka.  Dibuat sekenanya dan seenaknya, serta diberlakukan secara sewenang-wenang oleh kekuatan asing. Namun, sejak kemerdekaan, para pemimpin ini telah menerima kenyataan bahwa perbatasan eperti itu adalah satu-satunya solusi yang layak bagi benua ini. Organisasi Persatuan Afrika (OAU) menekankan pada tahun 1964, setahun setelah pembentukannya.  Menyatakan bahwa perbatasan Afrika mencerminkan “realitas nyata.” Para pemimpinnya membuat komitmen untuk menghormati perbatasan yang ada pada saat kemerdekaan (uti possidetis juris ).

Negara-negara Afrika yang menyatakan klaim teritorial atas dasar yang berbeda dari prinsip uti possidetis juris. Seperti hak etnis atau sejarah, secara bertahap kehilangan kedudukannya. Kasus Maroko dan Somalia[2] adalah contoh yang paling mencolok. Dengan cara yang sama, kelompok etnis yang berusaha memisahkan diri dari negara induknya mendapat perlawanan keras dari komunitas internasional. Seperti dalam kasus Katanga (Zaire/Kongo) dan Biafra (Nigeria).

Siapa Pemilik PulauKarang Paracel&Spratly LCSDari SisiUti Possidetis Juris.

Di sisi lain, negara-negara kolonial yang mencoba dengan paksa menghalangi negara-negara bekas jajahannya untuk merdeka – seperti dalam kasus Aljazair atau Guinea Bissau – mempunyai risiko dikecam melalui apa yang disebut “pengakuan dini atas negara-negara baru.” Dan gerakan-gerakan yang memperjuangkan pembebasan nasional.”  Sebuah konsep yang dirancang terutama untuk membantu proses kemerdekaan negara-negara bekas jajahan.

Terkait LCS Jepang tidak mampu menjajah seluruh wilayah China, tetapi secara fakta Jepang lah yang menjajah wilayah China di Laut China Selatan. Khususnya di “pulau” karang paracel dan Spratly. Juga jelas terbaca bahwa  kepemilikannya atas “ pulau karang paracel dan Spratly” jelas pernah di duduki oleh Jepang dan kemudian diserahkan kembali ke China Taiwan. Sementara pada masanya China (ROC) jelas-jelas menerbitkan Peta dengan Sembilan garis putus-putus Tahun 1947 itu diperuntukkan untuk kebesaran RRC atau China Daratan. Deklarasi  peta Tahun 1947 itu dari sejarah Deklarasi wilayah memang menarik. Tapi dari segi teknik pembuatan Peta, maka cara penarikan Sembilan garis putus-putus itu tidak lazim dilakukan karena tidak berdasarkan koordinat seperti Lintang dan Bujur atau kedalaman laut. Jadi klaimnya tidak bisa di baca secara benar. Tetapi kepemilikan “ pulau karang paracel dan spratly”, dari sisi Uti Possidetis Juris tidak terbantahkan.

[1] Saya banyak terinspirasi oleh tulisan Hasani dan mengambil esensi pemikirannya.  Enver Hasani, 2003, 85 Uti Possidetis Juris: From Rome To Kosovo, International Law under Fire, Fletcher Forum of World Affairs, Summer/Fall, 2003. Copyright © 2003 by Fletcher Forum of World Affairs; Enver Hasani.

[2] Hal seperti ini juga bisa kita lihat  coba dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang pada tahun 1949 berjanji akan memberikan kemerdekaan untuk etnis Papua di Papua. Belanda secara sadar telah meletakkan Bom waktu di tanah Papua, yang sewaktu waktu bisa meletus. Sejarak mencatat bahwa klaim wilayah dengan alasan etnis sama sekali tidak bisa diterima masyarakat Internasionl, termasuk dalam kasus Kosovo pecahan dari Uni Soviet.