Sinergi Bersama Mengikis Kekuatan Separatisme

Sinergi Bersama Mengikis Kekuatan Separatisme

Oleh Harmen Batubara

Setiap kali mendengarkan berita tentang separatisme, tentang KKSB Papua, ada beberapa hal yang selalu mengganjal dalam pikiran Saya. Pertama pemerintah sepertinya tidak mengoptimalkan upaya menumpas gerombolan KKSB ini lewat “senjata”. Faktanya pemerintah tidak pernah membentuk semacam KoopsSus Separatisme atau yang sejenis untuk menanganinya. Kedua pemerintah juga tidak pernah serius “merawat” para anggota KKSB yang telah bergabung kembali ke pangkuan RI. Tidak ada program khusus yang diperuntukkan untuk memberikan mereka ketrampilan atau usaha lain untuk mengangkat ke mampuan kondisi ekonomi mereka. Demikian juga anak-anak mereka tidak ada upaya khusus untuk menyekolahkannya secara lebih terencana.

Kemudian entah karena alasan apa, pemerintah masih memberi tempat untuk orang melakukan Unjuk Rasa atas nama OPM yang jelas-jelas separatisme dan tidak diakui di NKRI. Semestinya  jangan lagi ada wacana atau bicara tentang DIALOG terkait OPM. Karena bagi warga Papua Dialog itu ya membicarakan hak untuk merdeka. Padahal masalah itu sudah jadi sejarah. Papua adalah bagian Indonesia yang tidak terpisahkan dari NKRI.  Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menolak usulan yang menghendaki adanya dialog antara pemerintah dan kelompok separatis di Papua sebagai cara untuk mengatasi konflik yang tak kunjung usai di Papua pada saat siding PBB bulan sepetember 2019. Hal yang sama juga disampaikan  oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, pemerintah tidak boleh menyerah dengan tuntutan apa pun, termasuk bertemu dengan kelompok separatis. Menurut Hikmahanto, kelompok separatis adalah pemberontak dan musuh negara. ”Jangan pernah mau bernegosiasi dengan pemberontak. Akan jadi blunder kalau pemerintah menuruti ajakan untuk bertemu ULMWP,” ujarnya.

Bagi Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua, hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Sebagai langkah “mengingatkan kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan kembali bahwa :

PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.

PBB melihat hasil dan upaya dari pembangunan Pemerintah pada era Presiden Jokowi di wilayah Papua dan Papua Barat. Namun, perlu diperkuat dengan hal-hal simbolis. PBB memahami adanya kelompok separatis yang terus-menerus membuat berita hoax dan demo anarkis dan tindak kekerasan. Terkait Vanuatu pihaknya menyadari bahwa sering mengangkat isu Papua dalam beberapa agenda internasional.

Selama ini, kalau kegiatan KKSB itu muncul maka dilakukan pula operasi untuk menghadapinya. Sepertinya hal-hal seperti itulah yang selalu berulang. Yang kita lihat para pihak sebenarnya mempunyai program kerja terkait mensejahterakan OAP atau Orang Asli Papua ini. Di lingkungan TNI ada yang namanya TNI Masuk Desa, di PolRi ada Binmas Noken, Binmas Pioneer. Di Pemda sendiri sebenarnya sudah ada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung atau BPMK. Juga sudah ada Satuan Tugas Dana Desa bentukan pemerintah pusat yang bersinergi antara Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Sayangnya program yang mempunyai anggaran itu, belum terlihat hasilnya di tengah warga.

Upaya Merangkul KKSB

Yang sering kita perhatikan dan membuahkan hasil, seperti upaya TNI AD merintis perdamaian dengan melaksanakan berbagai kegiatan sosial di sejumlah daerah rawan KKSB di Papua sering membuahkan hasil. Hal seperti itu pulalah yang mendorong empat anggota kksb di Kabupaten Puncak Jaya dengan sukarela menyerahkan diri kepada TNI. Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Muhammad Aidi, minggu (9/6/2019), mengatakan, empat anggota kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) itu menyerahkan diri kepada pihak Kodim Puncak Jaya di Kampung Wurak, Distrik Ilu, pada Sabtu, 8 Juni. Mereka adalah Telangga Gire, (30), Piningga Gire (25), Tekiles Tabuni (30), dan Perengga (27). Keempatnya adalah anggota KKSB pimpinan Goliath Tabuni yang selama ini bersembunyi di Puncak Jaya. Salah satu anggota KKSB yang menyerahkan diri itu, yakni Telangga, adalah ajudan Goliath.

”Mereka juga menyerahkan satu pucuk senjata jenis Mauser dan sejumlah butir amunisi kaliber 7,62 milimeter yang dirampas dari penyerangan Polsek Karubaga, Kabupaten Tolikara, pada 2013 lalu,” kata Aidi. Ia menuturkan, keempat anggota KKSB itu mau menyerahkan diri karena melihat tak ada aksi kekerasan dari TNI selama bertugas di Puncak Jaya. Selain itu, mereka juga mengapresiasi upaya TNI yang terlibat dalam sejumlah kegiatan sosial, seperti membangun jalan dan rumah warga.”Mereka juga mengaku sudah lelah bersembunyi di hutan dengan kondisi kelaparan karena minim makanan, layanan pendidikan, dan kesehatan. Karena itulah, mereka memutuskan untuk tak lagi bergabung dengan kelompok itu,” tutur Aidi. Ia pun berharap, anggota KKSB lain di Puncak Jaya dan daerah lain di Papua segera menyerahkan diri secara sukarela. ”Kami berjanji tak akan menyakiti anggota KKSB yang menyerahkan diri secara sukarela. Tak boleh lagi terjadi konflik yang menyebabkan jatuh korban di antara kedua pihak,” ujarnya.

Selama ini hal seperti ini sepertinya berlalu begitu saja. Belum terlihat upaya konkrit dan terprogram dari Pemerintah Pusat dan Pemda untuk kembali memberdayakan kemampuan ekonomi warga eks KKSB ini. Karena itu kita senang dengan saran anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, berpendapat, penyerahan diri empat anggota Goliath di Puncak Jaya itu merupakan upaya jangka pendek untuk menciptakan perdamaian di Papua. ”Langkah ini merupakan salah satu upaya persuasif untuk mencegah konflik di Papua. Namun, diperlukan upaya jangka panjang untuk mencegah mereka kembali ke kelompok tersebut,” katanya. Ia menyebutkan, warga yang sudah menyerahkan diri kepada pemerintah harus mendapatkan jaminan kesejahteraan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan bagi keluarganya. Tujuannya, agar warga itu tak kembali lagi ke kelompoknya karena kecewa. Dari kajian LIPI, sejumlah faktor penyebab kekerasan di Papua adalah masalah kemiskinan, persoalan marjinalisasi, perbedaan ideologi, dan minimnya akses layanan publik.   (Kompas.id, 9 Juni 2019)

Dalam hal Saparatisme Kiky Syahnakri mantan Wakasad, mengatakan sesuai pengalaman Indonesia sendiri dan beberapa negara lain menunjukkan bahwa gerakan separatis tidak pernah berdiri sendiri; selalu ada link antara kaum separatis dan gerakan klandestin lokal, nasional, ataupun internasional. Benar bahwa keadilan politik dan ekonomi yang dirasakan daerah, terutama sebagai warisan sistem yang berlaku pada masa lalu, adalah (salah satu) penyebab separatisme. Namun, kasus Ambon, Aceh, dan Papua tidak hanya karena ketidakpuasan semata, di sana terdapat pula masalah lain yang lebih fundamental, yaitu masalah ideologi dan kepentingan asing.

Pada prinsipnya, separatisme harus ditumpas sampai ke akarnya dalam arti sampai hilangnya niat/hasrat untuk merdeka. Dalam konteks ini penekanannya lebih pada aspek psikologis sebagaimana filosofi perang gerilya “memperebutkan hati dan pikiran rakyat”. Dari perspektif ini, kata “tumpas” sama sekali tidak mengandung arti penindakan dengan menggunakan laras senjata semata; tidak pernah dan tidak mungkin ada penanganan separatisme yang tuntas di ujung bayonet. Separatisme pasti berlatar belakang multi-aspek menyangkut ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, sedangkan masalah pertahanan dan keamanan hanyalah akibat.

TNI Ahlinya Penanganan Saparatisme

TNI lahir dari rakyat, tentara Rakyat dan sejak lahirnya sudah terbiasa berhadapan dengan para pemberontak, dan bahkan banyak dari mereka yang merasakan sendiri bagaimana rasanya jadi bangsa yang selalu rebutan “kuasa” antar sesame anak bangsa. TNI sudah kenyang menghadapi para pemberontak, dan tidak pernah berhenti menangani kasus separatisme. Kalau semua pengalamannya itu di dokumentasikan, polanya di pelajari, di teliti dan dianalisis serta di tungkan dalam konsep OLI ( Operasi Lawan Insurjensi) serta dilatihkan dan diaflikasikan di lapangan maka sudah pasti hasilnya akan terlihat sangat berbeda. Menakjubkan. Tetapi nyatanya, TNI tidak mempunyai semua upaya yang seperti itu. Tidak ada yang namanya Pusat Kajian, pusat penelitian dan think Tank terkait penangan Saparatisme, baik itu di lingkungan pusat Kesenjataan ataupun Perguruan Tinggi (Unhan).Kalaupun ada, adanya hanya sepotong-sepotong.

Dalam hal seperti ini, dan masih menurut Kyki Syahnakri, TNI tidak pernah diberi kemampuan untuk menjalankan strategi “merebut hati rakyat” secara sungguh-sungguh. Yang ada baru sebatas “operasi Teritorial” dengan penekanan berbuat baik dan berbaik-baik dengan rakyat. Demikian pula dalam hal Komando. Dipercaya untuk penanganan separatisme harus dengan konsep dan implementasi yang terpadu, meliputi aspek intelijen, pertahanan dan keamanan, hukum, politik, ekonomi, dan juga sosio-budaya. Kegiatan multi-aspek tersebut dapat efektif apabila berada dalam manajemen yang terkoordinasi. Dengan kata lain, berada dalam satu komando; seperti saat Inggris menangani separatisme di Irlandia Utara. Semua kegiatan operasi berada di bawah satu manajemen yang dipimpin Menteri Dalam Negeri. Prinsip “satu komando” sangat penting karena perkembangan satu aspek harus diimbangi dengan aspek lainnya. Sebaliknya, kegagalan salah satu aspek akan berdampak pula terhadap aspek lainnya. Keberhasilan operasi akan menurunkan motivasi separatis. Sebaliknya, kegagalan dapat mendongkrak motivasi mereka.

Apa yang ingin kita katakan adalah, kita ingin kemampuan TNI didukung dalam melakukan upaya merebut hati rakyat; yakni dengan jalan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warga saparatis. Artinya mesti para suami mereka di perangi, akan tetapi sebaliknya keluarganya tetap diberdayakan. Maksudnya TNI dan Kementerian terkait berkenan membangunkan mereka dengan berbagai fasilitas yang diterima oleh para transmigran. Misalnya setiap keluarga akan mendapatkan lahan 2 Ha, di lahannya dibuatkan rumah, tanahnya di olah hingga siap tanam, diberikan bibit (terserah mau kopi, sahang, karet, dll yang sesuai dengan jenis tanahnya dan laku di daerah itu), diberikan pupuk, diberikan obat hama dan diberikan tenaga penyuluh yang bisa membimbing mereka bertani. Intinya mereka diberdayakan dan anak-anak mereka di sekolahkan, dan kesehatannya di perhatikan. Idenya adalah membuat warga di daerah saparatis itu jauh lebih sejahtera dan secara nyata.

Pada wilayah atau territorial binaannya praktis TNI memetakan secara telaten dua pola. Pertama terkait pergerakan dan dinamika para anggota separatis itu sendiri, sehingga tahu betul kekuatan dan kemampuan mereka dan secara perlahan “melumpuhkan” kekuatan dan keinginan para separatis itu untuk melakukan perlawanan. Kedua, terkait keberhasilan usaha pertanian/perkebunan para keluarga separatis itu sendiri. Artinya memastikan bahwa pertanian/perkebunan mereka berhasil dan kegiatan pendidikan atau sekolah anak-anak mereka berhasil dengan baik. Dari hal seperti ini, dipercaya aka nada perubahan yang terjadi di daerah-daerah separatism itu.

Selama ini kita tidak melihat sesuatu yang khas serta dikemas untuk diperuntukkan bagi penanganan para penggiat separatism. Polanya hanya sejenis “memadam kebakaran”. Kalau persoalannya lagi “mengendap” maka semua berjalan sebagaimana biasa. Tetapi kalau separatism itu muncul, maka dilakukan pulalah operasi “penumpasan” teroris, begitu seterusnya. Padahal kita percaya, kalau pengalaman TNI dan berbagai elemen bangsa lainnya dimanfaatkan dengan tepat, kita percaya Indonesia mempunyai kemampuan yang tidak terbantahkan dalam hal menangani masalah separatism. Sayang kalau potensi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk kebaikan bersama dalam membangun bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *