Perbatasan : Membangun Negeri Dari Pinggiran

Perbatasan : Membangun Negeri Dari Pinggiran

Oleh Harmen Batubara

Pembangunan pedesaan adalah pembangunan berbasis Desa dengan mengedepankan kearifan lokal kawasan pedesaan yang mencakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial budaya, karakterisktik fisik/geografis, pola kegiatan usaha pertanian, pola keterkaitan ekonomi desa-kota, sektor kelembagaan desa, dan karakteristik kawasan pemukiman. Fenomena kesenjangan perkembangan antar wilayah di suatu negara, meliputi wilayah-wilayah yang sudah maju dan wilayah-wilayah yang sedang berkembang memicu kesenjangan sosial antar wilayah. Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota karena pembangunan ekonomi sektor industri & Jasa yang terus dikembangkan. Akibatnya sektor pertanian yang identik dengan ekonomi perdesaan mengalami kemerosotan. Dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa, yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektor pertanian menjadi semakin tertinggal.

Strategi Jokowi Membangun Desa Dari Pinggiran
Strategi Jokowi Membangun Desa Dari Pinggiran

Faktor-faktor kemiskinan yang terjadi di masyarakat pedesaan cenderung lebih bersifat struktural dibandingkan bersifat kultural. Yang terjadi sesungguhnya. Massyarakat desa sulit menerima modernisasi, karena memang mereka tidak punya sarana untuk itu. Mereka tidak punya infrastruktur desa yang bisa membuat mereka maju, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana- sarana lain yang dibutuhkan. Sementara pemerintah kesulitan untuk melakukan pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh penjuru negeri. Dalam realisasinya, pembangunan pedesaan tidak memungkinkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan. Kecuali ada strategi yang pas, yang bisa memanfaatkan potensi perdesaan dengan ekonomi perkotaan.

Secara empirik Desa jadi menarik didiskusikan karena dua misteri modal sosial di Indonesia yang sungguh berbeda dengan keyakinan teoritik. Pertama, desa-desa di Indonesia sebenarnya sangat kaya modal sosial tetapi juga rentan secara sosial. Di satu sisi masyarakat desa sudah lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat, sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama “otonomi asli” desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level desa, swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi. Di luar swadaya dan gotong-royong, masyarakat desa mempunyai tradisi to¬long-tolong menolong, bahu-membahu dan saling membantu antar sesama, apalagi ketika terjadi musibah yang mereka lihat secara dekat.

Tetapi di balik ikatan sosial dan solidaritas sosial yang menyenangkan itu, masyarakat desa sering menghadapi berbagai kerentanan sosial (social vulnerability) yang menyedihkan, bahkan bisa melumpuhkan ketahanan sosial (social security) mereka. Status desa condong menjadi sekadar ”ruang hidup sementara”, yang sewaktu-waktu bisa dibongkar, digusur, dan bahkan dihapuskan ketika negara atau korporasi membutuhkannya untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif demi peningkatan pendapatan. Indikasinya, desa-desa penuh dengan izin investasi pertambangan, perkebunan sawit, properti, atau izin eksploitatif lainnya. Desa menjadi area perebutan sumber daya alam dan arena konflik agraria.

Langkah Perubahan Di Desa

Malah seperti kata Sri Palupi[1]  Area desa bisa dengan mudah berpindah menjadi area konsesi korporasi atau lokus proyek strategis pemerintah, sementara warganya tak berdaya ketika dipaksa melepaskan hak mereka atas lahan dan ruang kehidupannya. Desa-desa di lingkar industri pertambangan dan perkebunan sawit, misalnya, kebanyakan warganya kehilangan lahan dan berubah status dari petani mandiri menjadi buruh. Ada desa yang keberadaannya dihapuskan karena areanya dikuasai korporasi atau menjadi lokus proyek strategis pemerintah. Bahkan desa-desa yang lahan pertaniannya sudah bersertifikat sekalipun, warganya bisa dengan mudah kehilangan haknya. Juga ada banyak desa yang kehilangan sebagian atau seluruh ruang hidupnya karena pemerintah secara sewenang-wenang menetapkan wilayah desa sebagai kawasan hutan. Padahal, warga sudah tinggal di desanya jauh sebelum republik ini berdiri. Ada lebih dari 30.000 desa yang berada di kawasan hutan tanpa akses atas sumber daya agraria.

Ketahanan sosial masyarakat desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar, mulai dari regulasi dan kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, wabah penyakit menular, narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi. Bahkan bantuan dari pemerintah seperti BLT kompensasi BBM juga memunculkan kerawanan sosial dalam masyarakat, misalnya dalam bentuk pertikaian antara warga dan aparat setempat.

Kedua, desa kaya modal sosial tetapi tidak kaya modal ekonomi. Dengan kalimat lain, modal sosial itu tidak mengalami transformasi menjadi modal ekonomi. Studi Edward Miguel, Paul Gertler, dan David I. Levine (2005) di 274 daerah industri di Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa modal sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan industri. Karena itu, wajar jika Prof. Robert Lawang, pernah mengajukan pertanyaan: mengapa modal sosial yang kaya tidak menghasilkan modal ekonomi?

Tetapi sepertinya semua itu kini sudah pasti akan berbeda, dan ini tidak lepas dari Strategi Pembangunan Desa Jokowi. Terutama setelah munculnya politik pembangunan desa[2] yang ditandai oleh kelahiran UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 segera menyergap menjadi kesadaran dan harapan baru atas kejumudan kemajuan desa. Pembangunan tak lagi sekadar dirayakan sebagai turunnya daftar proyek yang dikerjakan di desa, tetapi dipestakan atas kedaulatan desa dalam merumuskan dan memutuskan masa depannya sendiri. Di masa silam, desa dan warganya menonton dengan khidmat deru pembangunan dari pagar rumah sambil berharap proyek itu tak menjadi onggokan monumen karena tidak bersenyawa dengan kebutuhan warga.

UU yang baru memastikan dikuburnya model itu karena desa memiliki kewenangan untuk menegakkan kedaulatannya. Dua otoritas vital yang dipunyai desa itu adalah kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul (rekognisi). Demikian pula proses pembangunan meletakkan warga sebagai partisipan gerakan, di mana musyawarah desa (musdes) menjadi forum tertinggi dalam mengambil keputusan. Pelan-pelan literasi politik diperkuat agar warga sadar atas kekuasaan yang dimilikinya.

Kewenangan lokal berskala desa sebetulnya menjadi bahasa desentralisasi dalam literatur ekonomi dan politik. UU Desa telah mendesentralisasikan urusan pembangunan sampai ke level pemerintahan desa, bukan cuma di kabupaten. Asas subsidiaritas ini memberikan ruang penuh bagi desa memutuskan serta menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan selama berada dalam skala desa. Jika desa berderu dengan aneka program pembangunan, itu tak lagi monopoli keputusan pemerintahan di atasnya dalam memasok kebutuhan program, tetapi hasil dari sikap kolektif warga yang dirangkum dalam proses musdes.

Baca Juga : Membaca Strategi Perbatasan Jokowi

Tak dibenarkan pemangku kepentingan lain, termasuk pusat, mengambil arena kewenangan itu karena keberadaannya diproteksi UU. Kewenangan ini menahbiskan desa sebagai pemegang otoritas untuk menjaga suara dan daya hidup warganya di lapangan politik, di mana partisipasi memiliki bobot penuh karena dilatari kewenangan mengambil keputusan, bukan sekadar mengerjakan program.

Kewenangan hak asal-usul menjadikan desa lebih tangguh lagi karena pilar terpenting desa sebetulnya terletak pada tiang pancang sosial. Desa hidup berdasarkan dinamika norma, budaya, adat, keyakinan, dan agama yang menjadi mata air pengetahuan serta konsensus dalam menjaga kehidupan bersama. Desa di masa lalu mengendalikan seluruh perkara kehidupan bersandarkan pada aturan main informal tersebut sebelum tahap demi tahap direnggut oleh formula aturan main formal (hukum negara). Desa dapat mengelola harmoni hidup secara ritmis karena mereka adalah agregasi komunitas yang terpaut dengan nilai-nilai setempat. Ini beda halnya dengan desa masa kini yang digiring menjadi unit administrasi pemerintahan sehingga seluruh aturan perilaku hidup mesti dikelola dengan hukum formal yang kadang jauh dari nilai adat desa.

Implikasinya, salah satu tiang penyangga roboh dan “surau” desa menjadi nyaris ambruk. Untungnya, jaminan penyelenggaraan asas rekognisi ini mendirikan kembali pilar tersebut sehingga desa tegak lagi. Kemenangan merawat kekayaan ini akan menjadi penanda kekuatan bantalan sosial desa. Desa punya daya hidup!

Aneka kewenangan penting itu tak akan menjelma jadi daya dorong perubahan jika tak disertai sumber daya. Itulah yang dibaca oleh pemerintah sehingga politik fiskal digeser dengan memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain).

Pada 2015 total DD Rp 20,7 triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian luas.

Sejauh yang sudah tercapai selama dua tahun pelaksanaan program DD ini, sekurangnya lima hal pokok telah dirasakan di lapangan. Pertama, desa berdenyut kembali dalam kegairahan pembangunan yang ditandai oleh maraknya kegiatan musdes dan keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan. Salah satu pemandangan lazim saat ini, warga desa berkerumun membahas aneka ikhtiar pembangunan dan pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha milik desa (BUMDesa).

Baca Pula : NawaCita Mewujudkan Kemakmuran di Perbatasan

Kedua, transparansi anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggara pemerintahan desa. Di balai desa dipasang baliho APBDesa, demikian pula di lokasi-lokasi strategis atau sarana ibadah. Desa telah memberikan jawaban kontan atas kepercayaan yang diberikan. Ketiga, keswadayaan dan gotong royong terlihat kokoh karena seluruh program harus dijalankan secara swakelola, tak boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tak jarang, warga desa menyumbangkan apa pun yang dimiliki agar pembangunan berjalan paripurna, misalnya tenaga, tanah, rumah, dan aset fisik lain.

Keempat, ongkos pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas. Pada 2016 saja telah terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368 unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. DD juga dimanfaatkan untuk posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. DD juga digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit, embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah 38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017). Dengan menggunakan ukuran apa pun, efisiensi DD sangat mengagumkan.

Kelima, munculnya aneka upaya untuk memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan basis budaya dan pengetahuan lokal. Banyak desa yang menginisiasi munculnya sekolah desa, sekolah perempuan, peraturan desa untuk memproteksi sumber daya alam dan ekologi, pembuatan almanak desa, balai rakyat, dan masih banyak lagi prakarsa menggetarkan di desa. DD bukan cuma dirayakan sebagai tradisi penyerapan anggaran, melainkan aktivitas berdesa yang mengendap dalam jantung kesadaran kedaulatan desa. Desa kini tengah Mngukir Sejarahnya.

Paket Tiga Buku Perbatasan
Paket Tiga Buku Perbatasan

[1]  Sri Palupi, Refleksi Tiga Tahun UU Desa, Kompas.id, 14 Februari 2018 [2] Ahmad Erani Yustika,  Proklamasi Pembangun Desa, kompas.id, 23 oktober 2017. Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa/PPMD (2015-2017); Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi